Monday, July 23, 2012

Spirit Ramadhan nan Sejati

Spirit Ramadhan nan Sejati
Oleh : Duski Samad
Ketua MUI Kota Padang

Jelang puasa Ramadhan setiap tahunnya, pemerintah disibukkan dengan persiapan pemenuhan kebutuhan pokok (sembako) masyarakat. Berita di media juga tidak ketinggalan menginformasikan bahwa harga kebutuhan pokok di pasar-pasar tradisional dan swalayan mulai merangkak naik. Bahkan, ada informasi yang mencemaskan tentang adanya sekelompok orang yang memanfaatkan peluang pasar ini dengan cara tidak wajar, misalnya berita Waspadai Aksi Spekulan (Padek, Rabu 11 Juli 2012, hl. 16).  

Kenyataan tingginya permintaan akan kebutuhan harian di bulan Ramadhan secara kasat mata dapat dimaklumi. Namun bila direnungkan dengan pesan yang dituju dari ibadah Ramadhan, maka hati menjadi sedih, karena Ramadhan belum mampu mengubah pola hidup umat.

Bulan Ramadhan yang dika­ta­kan sebagai bulan di mana umat Islam berpuasa, tentu ha­rus­nya akan mengurangi pema­kaian kebutuhan harian (sem­bako), karena jam makan me­reka dikurang sedemikian rupa. Rea­litasnya, justru terbalik di bu­lan Ramadhan tingkat ke­butu­han umat Islam begitu me­ning­kat tajam.

Kenyataan bulan Ramadhan be­lum dapat menahan laju syah­wat dan nafsu—khususnya nafsu dan syahwat hedonis (mau nik­mat)—adalah pekerjaan rumah dan mestinya menjadi renungan un­tuk mereka yang ingin meraih ke­takwaan melalui jalur puasa. Pa­tut diingatkan kepada mereka yang ingin mendapat piala takwa di bulan nan suci, hendaklah me­reka mampu hidup lebih sed­er­hana dan prihatin, seba­gaimana orang-orang mis­kin yang sudah la­zim tak makan, karena kepa­paannya. Membatasi diri dari ma­kanan, minuman dan kebu­tu­han puasa yang berlebihan ada­lah cara terbaik untuk men­dapat nilai puasa itu.

Sambut nan Suci dengan Suci

Dalam percakapan sehari-hari, Ramadhan dikatakan seba­gai bulan suci. Selamat datang bu­lan suci Ramadhan 1433 H, Mar­haban ya Ramadhan, mari kita sambut bulan maghfirah dan rahmah! Begitu di antara bu­nyi spanduk penyambutan Ra­­madhan di jalan-jalan dan mas­jid. Mengatakan Ramadhan se­bagai bulan suci adalah bentuk peng­hargaan terhadap penting­nya Ramadhan bagi umat Islam. Kehadiran Ramadhan setiap ta­hunnya disambut gegap gem­pita dan suka ria oleh umat Islam, karena memang begitu sabda Ra­sul, siapa saja yang menyam­but kedatangan Ramadhan de­ngan suka cita, maka akan diha­ram­kan tubuhnya dari api nera­ka, begitu hadis sebagai­mana di­sampaikan para mubalig men­jelang Ramadhan tiba.

Pengakuan bahwa Ra­mad­han bulan suci sudah dekat dan le­kat di hati umat Islam, mes­ki­pun itu baru dalam artifi­sial dan belum menyentuh segi fun­da­mental dari hakekat kesu­cian Ra­madhan itu. Ibadah Ra­mad­han—puasa, Shalat Tara­wih, men­d­engar pengajian Ramad­han, berinfak dan ibadah lain­nya—pada dasarnya adalah media pelatihan jiwa dan rohani umat menuju kehidupan yang ber­­kualitas. Kualitas yang diha­rap­kan tentu meningkatnya mu­tu sebagai manusia yang tetap fi­trah di saat kejahiliyaan hampir m­e­rata di seluruh penjuru, upa­ya penjagaan diri dari ber­bagai bentuk kemaksiatan, kesia-siaan dan kerendahan terasa lebih bu­tuh untuk ditekankan.

Upaya menjaga kesucian Ra­madhan dengan menjaga ke­su­cian diri dengan segala per­bua­tan yang menyertainya da­lam kajian ilmu akhlak itu puncak akhlak mulia, yaitu iffah. Iffah ada­lah bahasa yang lebih akrab untuk menyatakan upaya pen­ja­gaan diri ini. Iffah sendiri me­mi­liki makna usaha meme­lihara dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak halal, makruh dan ter­cela. Ada beberapa hal yang bisa me­numbuhkan iffah, yang se­wa­jarnya diusahakan oleh se­orang muslim atau muslimah yang sedang menyambut keda­ta­­ngan Ramadhan, di antaranya: men­jemput takwa dan budaya malu.

Menjemput Takwa

Takwa adalah asas paling fun­damental dalam mengu­sa­hakan iffah pada diri seseo­rang. Ke­takwaan adalah pengekang se­seorang dari perbuatan-per­bua­tan tercela yang dilarang aga­ma Islam. Takwa akan me­nye­babkan seseorang selalu ber­hati da­lam melakukan ber­bagai per­bua­tan, baik di kala sendirian ma­u­­pun keramaian m­e­nga­mal­kan sabda Nabi, “Bertakwalah ke­pada Allah di mana pun ka­mu berada…” segala anggota tu­buh akan selalu terjaga jangan sam­pai melanggar larangan Allah, sehingga terjerumus dalam ke­­murkaan-Nya. Mulutnya ter­jaga dari pembicaraan yang ber­mua­tan dosa, baik dosa ke­pada Allah, maupun dosa ke­pada ma­nusia seperti gibah, fitnah, adu domba, berdusta, me­ngum­pat kepada takdir, mencela za­man dan lain sebagainya.

Tangannya pun terjaga dari hal yang dilarang seperti me­ngambil yang bukan haknya, me­mukul tanpa kebenaran, ber­sentuhan dengan yang bukan ma­h­ram dan lainnya. Mata pun de­mikian, tak kalah dengan ang­gota tubuh yang lain tak ingin ter­­jerumus dalam mengumbar pan­dangan yang diharamkan, dan seluruh anggota tubuh yang lain­nya selalu terjauh dari lara­ngan Allah azza wa jalla. Sung­guh ketika takwa berdiam pada diri seseorang, maka munculah pri­badi yang penuh dengan hia­san yang tak tertandingi ke­indahannya. Mengalahkan ke­indahan mutiara, emas, perak, ber­l­ian dan hiasan dunia yang lain­­nya. Takwa tak sebatas ha­nya di masjid, atau di tempat ka­jian saja, namun ia melekat di ma­na pun dan kapan pun. Di rumah, tempat belajar, sekolah, kantor dan di segala tempat.

Budaya Malu

Pendidikan yang sangat pen­ting yang harus dibiasakan di bulan Ramadhan adalah budaya ma­lu. Malu adalah sifat yang agung dan terpuji. Dengan rasa ma­lu, seorang akan terhindar dari berbagai perbuatan yang keji, tidak pantas, mengandung do­sa dan kemaksiatan. Ia men­jadi bertambah indah ketika me­lekat pada diri seorang mus­li­mah. Dengan malu, se­orang muslimah akan selalu nampak dalam fitrah kewanitaannya, tak mau mengumbar aurat tubuh­nya, tak mau mengeraskan suara yang tak diperlukan di tengah kumpulan manusia, tak tertawa de­ngan selepas-lepasnya dan yang lain sebagainya. Orang yang awam sekalipun bila disu­ruh untuk memberikan peni­laian terhadap dua orang, yang se­orang adalah wanita yang men­­jaga rasa malunya. Seorang lagi tak pedulian, tak punya rasa malu terhadap orang, bicara se­enaknya duduk seenaknya, se­galanya seenaknya tentu orang akan memberikan penilaian tinggi pada wanita yang pertama daripada wanita yang kedua.

Rasa malu ini benar-benar akan menjadi penjaga yang baik ba­gi seorang muslimah. Ia akan me­nyedikitkan beraktivitas ke­luar rumah yang tanpa faedah, ia akan menjaga diri ketika berbicara dengan orang terlebih laki-laki yang bukan mahram. Ten­tu hal ini akan lebih menjaga ke­­hormatannya. Tentu sifat ma­lu akan sangat besar artinya ba­gi orang-orang yang melak­sa­na­kan ibadah di bulan Ra­madhan di saat orang men­didik diri­nya untuk meraih hidup takwa.

Sejatinya, pesan suci yang di­hembuskan oleh bulan Ra­madhan sudah sejak lama ter­ngiang di telinga umat, namun mereka sering kalah oleh badai hi­dup hedonis dan materialistik. Ra­yuan iklan, godaan reklame dan suguhan infotaiment yang di­lakoni selebritis dan artis, benar-benar sudah menjadi virus ganas yang mematikan ruh bu­lan nan suci ini. Kemasan aca­ra buka bersama dengan segala tawaran wah-wahnya, atas nama kesehatan dalam mela­ku­kan puasa, dan alasan klise lain­nya, telah menjadikan iba­dah puasa Ramadhan men­jadi ritual yang kering makna. Semoga umat terus mendidik diri, keluarga dan lingkungan, se­hingga keda­ta­ngan Ra­mad­han dapat mem­bawa peru­bahan perilaku dan gaya hidup yang iffah, takwa dan ber­mar­tabat. Selamat ber­juang me­raih hidup takwa. Amin.  
(Dikutip dari Harian Pagi Padang Expres pada hari senin, 23 Juli 2012)


No comments:

Post a Comment

Pendaftaran Santri Baru PM Insan al-Muwahhid Purwokerto

SELAMAT DATANG SANTRI BARU TAHUN 2021/2022

 SELAMAT DATANG CALON SANTRI BARU PESANTREN INSAN AL-MUWAHHID PURWOKERTO Ayo daftar sekarang juga tinggal klik 👉 http://bit.ly/PSBAlmuwahhi...