Spirit Ramadhan nan Sejati
Oleh : Duski Samad
Ketua MUI Kota Padang
Jelang puasa Ramadhan
setiap tahunnya, pemerintah disibukkan dengan persiapan pemenuhan
kebutuhan pokok (sembako) masyarakat. Berita di media juga tidak
ketinggalan menginformasikan bahwa harga kebutuhan pokok di pasar-pasar
tradisional dan swalayan mulai merangkak naik. Bahkan, ada informasi
yang mencemaskan tentang adanya sekelompok orang yang memanfaatkan
peluang pasar ini dengan cara tidak wajar, misalnya berita Waspadai Aksi Spekulan (Padek, Rabu 11 Juli 2012, hl. 16).
Kenyataan tingginya permintaan akan
kebutuhan harian di bulan Ramadhan secara kasat mata dapat dimaklumi.
Namun bila direnungkan dengan pesan yang dituju dari ibadah Ramadhan,
maka hati menjadi sedih, karena Ramadhan belum mampu mengubah pola hidup
umat.
Bulan Ramadhan yang dikatakan sebagai
bulan di mana umat Islam berpuasa, tentu harusnya akan mengurangi
pemakaian kebutuhan harian (sembako), karena jam makan mereka
dikurang sedemikian rupa. Realitasnya, justru terbalik di bulan
Ramadhan tingkat kebutuhan umat Islam begitu meningkat tajam.
Kenyataan bulan Ramadhan belum dapat
menahan laju syahwat dan nafsu—khususnya nafsu dan syahwat hedonis (mau
nikmat)—adalah pekerjaan rumah dan mestinya menjadi renungan untuk
mereka yang ingin meraih ketakwaan melalui jalur puasa. Patut
diingatkan kepada mereka yang ingin mendapat piala takwa di bulan nan
suci, hendaklah mereka mampu hidup lebih sederhana dan prihatin,
sebagaimana orang-orang miskin yang sudah lazim tak makan, karena
kepapaannya. Membatasi diri dari makanan, minuman dan kebutuhan
puasa yang berlebihan adalah cara terbaik untuk mendapat nilai puasa
itu.
Sambut nan Suci dengan Suci
Dalam percakapan sehari-hari, Ramadhan dikatakan sebagai bulan suci. Selamat datang bulan suci Ramadhan 1433 H, Marhaban ya Ramadhan,
mari kita sambut bulan maghfirah dan rahmah! Begitu di antara bunyi
spanduk penyambutan Ramadhan di jalan-jalan dan masjid. Mengatakan
Ramadhan sebagai bulan suci adalah bentuk penghargaan terhadap
pentingnya Ramadhan bagi umat Islam. Kehadiran Ramadhan setiap
tahunnya disambut gegap gempita dan suka ria oleh umat Islam, karena
memang begitu sabda Rasul, siapa saja yang menyambut
kedatangan Ramadhan dengan suka cita, maka akan diharamkan tubuhnya
dari api neraka, begitu hadis sebagaimana disampaikan para mubalig
menjelang Ramadhan tiba.
Pengakuan bahwa Ramadhan bulan suci
sudah dekat dan lekat di hati umat Islam, meskipun itu baru dalam
artifisial dan belum menyentuh segi fundamental dari hakekat
kesucian Ramadhan itu. Ibadah Ramadhan—puasa, Shalat Tarawih,
mendengar pengajian Ramadhan, berinfak dan ibadah lainnya—pada
dasarnya adalah media pelatihan jiwa dan rohani umat menuju kehidupan
yang berkualitas. Kualitas yang diharapkan tentu meningkatnya mutu
sebagai manusia yang tetap fitrah di saat kejahiliyaan hampir merata
di seluruh penjuru, upaya penjagaan diri dari berbagai bentuk
kemaksiatan, kesia-siaan dan kerendahan terasa lebih butuh untuk
ditekankan.
Upaya menjaga kesucian Ramadhan dengan
menjaga kesucian diri dengan segala perbuatan yang menyertainya
dalam kajian ilmu akhlak itu puncak akhlak mulia, yaitu iffah. Iffah adalah bahasa yang lebih akrab untuk menyatakan upaya penjagaan diri ini. Iffah
sendiri memiliki makna usaha memelihara dan menjauhkan diri dari
hal-hal yang tidak halal, makruh dan tercela. Ada beberapa hal yang
bisa menumbuhkan iffah, yang sewajarnya diusahakan oleh
seorang muslim atau muslimah yang sedang menyambut kedatangan
Ramadhan, di antaranya: menjemput takwa dan budaya malu.
Menjemput Takwa
Takwa adalah asas paling fundamental dalam mengusahakan iffah pada
diri seseorang. Ketakwaan adalah pengekang seseorang dari
perbuatan-perbuatan tercela yang dilarang agama Islam. Takwa akan
menyebabkan seseorang selalu berhati dalam melakukan berbagai
perbuatan, baik di kala sendirian maupun keramaian mengamalkan
sabda Nabi, “Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada…”
segala anggota tubuh akan selalu terjaga jangan sampai melanggar
larangan Allah, sehingga terjerumus dalam kemurkaan-Nya. Mulutnya
terjaga dari pembicaraan yang bermuatan dosa, baik dosa kepada
Allah, maupun dosa kepada manusia seperti gibah, fitnah, adu domba,
berdusta, mengumpat kepada takdir, mencela zaman dan lain sebagainya.
Tangannya pun terjaga dari hal yang
dilarang seperti mengambil yang bukan haknya, memukul tanpa kebenaran,
bersentuhan dengan yang bukan mahram dan lainnya. Mata pun
demikian, tak kalah dengan anggota tubuh yang lain tak ingin
terjerumus dalam mengumbar pandangan yang diharamkan, dan seluruh
anggota tubuh yang lainnya selalu terjauh dari larangan Allah azza wa jalla.
Sungguh ketika takwa berdiam pada diri seseorang, maka munculah
pribadi yang penuh dengan hiasan yang tak tertandingi keindahannya.
Mengalahkan keindahan mutiara, emas, perak, berlian dan hiasan dunia
yang lainnya. Takwa tak sebatas hanya di masjid, atau di tempat
kajian saja, namun ia melekat di mana pun dan kapan pun. Di rumah,
tempat belajar, sekolah, kantor dan di segala tempat.
Budaya Malu
Pendidikan yang sangat penting yang
harus dibiasakan di bulan Ramadhan adalah budaya malu. Malu adalah
sifat yang agung dan terpuji. Dengan rasa malu, seorang akan terhindar
dari berbagai perbuatan yang keji, tidak pantas, mengandung dosa dan
kemaksiatan. Ia menjadi bertambah indah ketika melekat pada diri
seorang muslimah. Dengan malu, seorang muslimah akan selalu nampak
dalam fitrah kewanitaannya, tak mau mengumbar aurat tubuhnya, tak mau
mengeraskan suara yang tak diperlukan di tengah kumpulan manusia, tak
tertawa dengan selepas-lepasnya dan yang lain sebagainya. Orang yang
awam sekalipun bila disuruh untuk memberikan penilaian terhadap dua
orang, yang seorang adalah wanita yang menjaga rasa malunya. Seorang
lagi tak pedulian, tak punya rasa malu terhadap orang, bicara seenaknya
duduk seenaknya, segalanya seenaknya tentu orang akan memberikan
penilaian tinggi pada wanita yang pertama daripada wanita yang kedua.
Rasa malu ini benar-benar akan menjadi
penjaga yang baik bagi seorang muslimah. Ia akan menyedikitkan
beraktivitas keluar rumah yang tanpa faedah, ia akan menjaga diri
ketika berbicara dengan orang terlebih laki-laki yang bukan mahram.
Tentu hal ini akan lebih menjaga kehormatannya. Tentu sifat malu
akan sangat besar artinya bagi orang-orang yang melaksanakan ibadah
di bulan Ramadhan di saat orang mendidik dirinya untuk meraih hidup
takwa.
Sejatinya, pesan suci yang dihembuskan
oleh bulan Ramadhan sudah sejak lama terngiang di telinga umat, namun
mereka sering kalah oleh badai hidup hedonis dan materialistik. Rayuan
iklan, godaan reklame dan suguhan infotaiment yang dilakoni
selebritis dan artis, benar-benar sudah menjadi virus ganas yang
mematikan ruh bulan nan suci ini. Kemasan acara buka bersama dengan
segala tawaran wah-wahnya, atas nama kesehatan dalam melakukan puasa,
dan alasan klise lainnya, telah menjadikan ibadah puasa Ramadhan
menjadi ritual yang kering makna. Semoga umat terus mendidik diri,
keluarga dan lingkungan, sehingga kedatangan Ramadhan dapat
membawa perubahan perilaku dan gaya hidup yang iffah, takwa dan bermartabat. Selamat berjuang meraih hidup takwa. Amin.
(Dikutip dari Harian Pagi Padang Expres pada hari senin, 23 Juli 2012)
No comments:
Post a Comment