Sunday, July 29, 2012

Bercinta Seperti Rasulullah


Bercinta Seperti Rasulullah (Bagian I)

Perihal hubungan seksual (bercinta), Rasulullah SAW memberi petunjuk yang sangat sempurna, beralas etika dan estetika Rabbaniyah (ketuhanan). Bercinta tidak saja untuk menyehatkan jiwa, namun juga memberi kepuasan serta kenikmatan jiwa. Pitutur Rasulullah SAW tentang bercinta (senggama) adalah nasehat paripurna, utamanya demi menjaga kesehatan tubuh, mental, dan spiritual, berikut mewujudkan tujuan bersenggama itu sendiri. Diantara tujuan hubungan seksual menurut ajaran Islam ialah:
  1. Melahirkan dan menjaga kelangsungan keturunan. Dengan kelahiran putra-putri buah senggama, nantinya diharapkan akan lahir generasi penerus bagi keluarga dan kommunitas serta kesinambungan suatu bangsa;
  2. Mengeluarkan air (sperma) berdampak positif bagi tubuh. Sebab apabila iar sperma dibiarkan mengendap di dalm tubuh tanpa disalurkan ke ladang tempat bercocok tanam (fitrah penyaluran), akan berdampak buruk bagi tubuh maupun mental seseorang;
  3. Media untuk menyalurkan hajat, guna merengkuh kenikmatan surga duniawi. Bedanya, bersenggama di dunia bisa melahirkan anak, sedang di surga keabadian tidak akan membuahkan anak, semua itu harus dilakukan dengan cara yang benar dan baik, sesuai dengan etika dan estetika, serta aturan luhur yang selaras dengan nilai-niilai ajaran Islam.
Etika Sebelum BercintaAjaran Islam mengajarkan etika senggama, yang harus dipahami setiap Muslim. Ada banyak ayat al-Quaran dan Sunnah Nabi yang menuturkan masalah etika bercinta ini. Karenanya, sebelum bercinta, setiap Muslim harus memperhatikan etika (adab) dan prasyarat bersenggama sebagai berikut:

PertamaTidak Menolak Ajakan Bercinta. Secara tabiat maupun fitrah, para lelaki lebih agresif, tidak memiliki energi kesabaran, serta kurang bisa menahan diri dalam urusan making loveini. Sebaliknya, para wanita cenderung bersikap pasif, pemalu, dan kuat menahan diri. Oleh sebab itu, diharuskan bagi wanita menerima dan mematuhi ajakan suami untuk bercinta. Dalam sebuah hadis dituturkan, Rasulullah SAW bersabda: Jika seorang istri dipanggil oleh suaminya karena hajat biologisnya, maka hendaknya segera datang, meski dirinya sedang sibuk(HR Turmudzi). Ajaran Islam tidak membenarkan perilaku para istri yang menolak ajakan suami mereka untuk bercinta. Dalam sebuah hadis riwayat Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda: Allah melaknat wanita yang menunda-nunda, yaitu seorang istri ketika diajak suaminya ke tempat tidur, tetapi ia berkata, 'nanti dulu', sehingga suaminya tidur sendirian (HR Khatib). Dalam hadis lain dituturkan: Jika suami mengajak tidur istrinya, lalu sang istri menolak, yang menyebabkan sang suami marah kepadanya, maka malaikat akan melaknat istri tersebut sampai pagi tiba (HR Bukhari dan Muslim).

KeduaBersih dan Suci. Haid adalah penyakit bulanan yang tidak suci, wanita yang sedang haid berarti tidak suci. Karenanya, para suami yang istri mereka sedang mengalami datang bulan dilarang mensetubuhinya selama waktu haid. Manakala darah haid sudah berhenti, maka wajib bagi wanita membersihkan tubuhnya dengan air. Kemudian mengambil 'secuil' kapas atau kain, lalu melumurinya dengan kasturi atau bahan pewangi lainnya yang beraroma semerbak menawan, kemudian membilas bagian tubuh yang terlumuri darah saat haid, sehingga tidak ada lagi bau tak sedap pada tubuh sang wanita. Dalam sebuah riwayat dari Aisyah Ra dituturkan, suatu hari, ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah SAW, tentang cara bersuci (membersihkan diri) sehabis datang bulan. Rasulullah SAW bertutur kepada wanita tersebut: Ambillah bahan pewangi dari kasturi. Bersihkan dirimu dengannya. Wanita itu bertanya: Bagaimana caraku membersihkan tubuh? Rasulullah SAW menjawab:Bersihkan tubuhmu dari noda haid. Wanita itu bertanya lagi: Bagaimana caranya? Rasulullah SAW menjawab: Subhanallah, bersihkan dirimu! Aisyah Ra melanjutkan penuturannya: Aku lantas membisiki wanita itu, 'Bilas tubuhmu yang terlumuri darah haidmu dengan pewangi kasturi' (HR Bukhari).

Allah Azza wa Jalla juga menyatakan di dalam firman-Nya, bahwa syarat untuk melakukan hubungan badan ialah harus dalam kondisi suci. Kesucian tubuh dari 'penyakit' haid adalah demi mewujudkan seks sehat, sebagaimana firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah. Haid itu adalah kotoran (penyakit). Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri (QS. al-Baqarah/2: 222).

Rasulullah SAW juga mengingatkan kepada para suami, agar tidak menyetubuhi istri mereka dalam keadaan nifas dan haid. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang bersenggama dengan wanita yang sedang haid, atau menyetubuhi wanita dari dubur (lubang anus)-nya, atau mendatangi paranormal (ahli tenung), dan mempercayai ramalannya, Maka sejatinya ia telah kufur (ingkar) dengan apa-apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW(HR Abu Daud). Dalam riwayat lain dituturkan, Rasulullah SAW bersabda: Datangilah istrimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi awas (jangan menyetubuhi) pada dubur dan (jangan pula) dalam keadaan haid (HR Akhmad dan Tirmidzi). Lain daripada itu, selain harus suci - tidak haid dan nifas - pasangan Muslim harus bersih-bersih diri sebelum bercinta, agar tubuh mereka bersih dan percintaan yang dilakukan sehat.

KetigaBercinta Sesuai Aturan Syariat. Salah satu tujuan making love (bercinta) adalah untuk melahirkan keturunan. Dan proses kelahiran hanya terjadi manakala terjadi pembuahan sperma laki-laki dan perempuan dalam rahim. Karenanya, bercinta harus dilakukan dengan cara yang benar, yatitu melalui tempat yang semustinya, bukan melalui anus (dubur) maupun lisan (oral sex) - sebagaimana yang jamak dilakukan orang-orang yang memiliki kelainan seksual, serta orang yang tidak paham niali-nilai agama. Lain daripada itu, bersenggama tidak sesuai aturan sama halnya menafikan kehormatan wanita yang disetubuhinya. Dan cara seperti itu mustahil bisa melahirkan keturunan. Ajaran Islam memberi syarat, bahwa senggama harus ditempatkan pada tempat yang semustinya, yaitu vagina wanita, bukan melalui anus (dubur) atau mulut wanita (seks oral). Sebab percintaan yang dilampiaskan pada tempat selain vagina, mustahil dapat membuahkan keturunan. Oleh sebab itu, Allah Azza wa Jalla berfirman: Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki (QS. al-Baqarah/2: 223).

KeempatBerhias Diri. Diantara syarat bercinta ialah masing-masing pasangan - suami istri - harus berhias diri untuk menyenangkan dan menggairahkan percintaan yang hendak dilakukan. Diantara cara berhias diri dalam bercinta adalah:
  1. Mambagusi bagian tubuh, yang merupakan lima organ fitrah, sebagaimana dituturkan Rasulullah SAW: Lima hal yang termasuk fitrah (sesuci), yakni mencukur kumis, mencukur bulu ketiak, memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, dan khitan.
  2. Menggunakan wewangian, yang paling utama adalah kasturi. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa tatkala seorang sahabat yang memberitahu Rasulullah SAW tentang adanya seorang wanita yang memerciki cincinnya dengan kasturi, Rasulullah SAW bersabda: Kasturi adalah sebaik-baik wewangian.
  3. Memakai celak, dan jenis celak terbaik ialah yang terbuat dari bahan itsmid. Abdullah bin Abbas meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya sebaik-baik celak kalian adalah yang terbuat dari bahan itsmid. Ia dapat menajamkan penglihatan, serta menumbuhkan rambut. Al-Qur'an juga mengisyaratkan anjuran berhias diri bagi kaum wanita, sebagaimana firman-Nya: Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber-'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. (QS. al-Baqarah/2: 234) Sayyid Qutub dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa redaksi al-Qur'an membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut adalah bukti otentik, dibolehkannya bagi kaum wanita untuk berhias diri, hal mana yang demikian itu dilakukan dengan tujuan agar datang lelaki meminangnya.
KelimaBerdoa. Diantara etika seks dalam Islam ialah membaca doa sebelum melakukan persetubuhan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Abbas dituturkan, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Jika salah seorang diantara kalian hendak mencampuri istrinya, maka hendaknya sebelum senggama membaca doa: Bismillah, Allahumma jannibnaa asy-syaithan, wa jannib asy-syaithana ma ruziqnaa (Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah jauhkanlah kami dari Setan. Dan jauhkan setan dari apa-apa yang Engkau karuniakan kepada kami (anak keturunan). Dengan memanjatkan doa, diharapkan anak yang lahir dari buah percintaan tidak goyah diperdaya setan, akan tetapi serta selalu dekat kepada Allah.

KeenamMencari tempat bercinta yang nyaman dan merahasiakan apa yang terjadi diantara suami istri pada waktu bercinta. Diantara syarat bercinta dalam Islam ialah mencari tempat yang nyaman dan merahasiakan apa yang terjadi pada saat bercinta, baik istri maupun suami, tidak diperkenankan menceritakan 'geliat' percintaan yang dilakukannya kepada orang lain. Dalam sebuah hadis riwayat Abu Said Khudri, ia menuturkan, Rasulullah SAW bersabda: Selazimnya bagi kaum lelaki diantara kalian yang hendak memenuhi hajat biologisnya, mencari tempat yang nayaman, jauh dari hiruk pikuk keluarganya, dan menutup pintu rapat-rapat, serta mengenakan sehelai kain, barulah bercinta (bersetubuh). Kemudian apabila telah selesai bercinta, hendaknya tidak menceritakan hubungan badannya kepada orang lain. Selazimnya bagi kaum wanita diantara kalian, yang hendak memenuhi hajat biologis, mencari tempat yang nyaman, menutup pintu rapat-rapat, dan mengenakan sehelai kain untuk menutup tubuhnya. Dan jika selesai memuaskan dahaga cinta, hendaknya tidak menceritakan hubungan intimnya kepada yang lain. Salah seorang wanita berujar: Demi Allah, wahai utusan Allah, kebanyakan daripada kaum wanita menceritakan apa yang mereka alami saat senggama kepada yang lain, serta jamak melakukan percintaan di tempat terbuka. Rasulullah SAW berkata tegas. Janganlah kalian melakukan hal seperti itu - menceritakan sesuatu saat senggama dan bersetubuh di tempat terbuka, serta bertelanjang bulat. Sebab perbuatan seperti itu, sama persisnya dengan perbuatan setan pria bertemu dengan setan wanita di tengah jalan, lalu bersetubuh di tempat terbuka, setelah setan pria selesai melampiaskan dahaga seksnya, lantas meninggalkan si wanita begitu saja. Rasulullah SAW juga meyerukan untuk mengenakan kain saat bercinta, sebagaimana sabdanya: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla adalah maha lembut, maha malu, maha menutup diri. Dia mencintai rasa malu dan menutup aurat. Menutup aurat, tidak saja dalam 'laku' kehidupan di ruang publik, tetapi juga saat bercinta.

KetujuhTidak bercinta saat melakukan iktikaf atau sedang dalam kondisi berihram. Orang yang sedang menjalankan iktikaf di masjid tidak boleh bersenggama, demikian pula orang yang sedang berihram, juga tidak boleh bercampur dengan pasangannya, sebagaimana diwartakan al-Qur'an: Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka jangnlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa (QS. al-Baqarah/2: 187). Usman bin Affan meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah SAW bertutur: Orang yang sedang melaksanakan ibadah Ihram tidak boleh bersenggama, maupun menikah atau melamar(HR Muslim). Dalam riwayat Turmudzi disebut dengan redaksi: Saat berihram dilarang bersetubuh.

Kedelapantidak bercinta dengan istri yang sedang datang bulan (haid). Ajaran Islam melarang pasangan suami istri bercinta saat sang istri sedang datang bulan. Sebab haid adalah penyakit, dikhawatirkan bayi yang lahir dari buah senggama pada kondisi seperti itu akan tidak sempurna (cacat). Allah menjelaskan dalam al-Qur'an: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereke, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan meyukai orang-orang yang mensucikan diri (QS. al-Baqarah/2: 222). Ajaran Islam juga melarang suami menggauli istrinya ketika dalam keadaan nifas - usai melahirkan. Alasannya jelas, bahwa bercinta dalam ajaran Islam adalah termasuk laku ibadah, karenanya harus dilakukan pada waktu kondisi baik.

Kesembilanmemperhatikan kondisi fisik. Waktu yang paling tepat untuk melakukan hubungan badan adalah saat kondisi fisik dalam keadaan fit (segar bugar), yakni pencernaan makanan lancar, tensi tubuh seimbang antara panas dan dingin, kondisi perut tidak kenyang dan tidak lapar. Sebab bersenggama dalam keadaan tubuh tidak fit, pencernaan makanan tidak lancar, tensi tubuh terlalu panas maupun terlalu dingin, perut terlalu lapar maupun kenyang, akan membuat hububgan badan kehilangan maknanya, dan tidak bisa dinikmati bahkan melahirkan madharat (mara bahaya). Bersenggama dalam keadaan perut lapar lebih berbahaya ketimbang perut dalam keadaan kenyang. Lain daripada itu, tidak akan bisa merengkuhi nikmat senggama, lebih-lebih memberi kepuasan seksual kepada pasangan hidup. Rasulullah SAW bersabda: Jika seseorang diantara kamu bersenggama dengan istrinya, hendaklah ia lakukan dengan penuh kesungguhan. Kemudian, kalau ia telah menyelesaikan kebutuhannya sebelum istri mendapatkan kepuasan, maka janganlah ia buru-buru mencabut (kemaluannya), sampai istrinya menemukan kepuasan (HR Abdul Razaq).

Disadur dari : Buku Bercinta Seperti Rasulullah, Dr. Abdurrahman Thalib al-Jazairi, Januari 2009, Cahaya Hati

Hubungan Suami Istri menurut Etika Islam


Hubungan Suami Istri menurut Etika Islam
Oleh : Buya H. Mas’oed Abidin
Jodoh adalah Qadha’ (ketentuan) Allâh, di mana manusia tidak punya andil menentukan, manusia hanya dapat berusaha mencari jodoh yang baik menurut Islam. Untuk itu perlu diperhatikan sungguh-sungguh watak dan ciri-ciri dari pasangan hidup yang sewajarnya akan menjadi pendamping (suami-isteri).
Tercantum dalam Al Qur’ân: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini kecuali dengan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini kecuali oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang mukmin. (QS. Al-Nûr/24: 3).
A.     Sebelum Melakukan Hubungan Seks (Coitus)
Pengantin atau suami isteri sebelum melakukan hubungan biologis (coitus) penganten atau suami-isteri mesti melaksanakan hal-hal berikut ini:
1.        Wajib memberikan mahar terlebih dulu (bagi pengantin baru) jika maharnya di utang, harus dibayarkan maharnya dulu, sabda Rasul Allâh, SAWIbnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi SAW, melarang Ali menggauli Fatimah sampai ia memberikan sesuatu (mahar) kepadanya. Lalu jawab Ali: “Saya tidak punya apa-apa.” Maka sabda Rasul Allâh, “Dimana baju besi ‘Hutamiyahmu? Lalu berikanlah barang itu kepadanya. (HR. Abu Dâud, Al-Nasâ’iy dan Hakim)
2.        Membersihkan badan (mandi) dari hadas dan najis serta hal-hal berbau tak sedap.[1]
3.        Setelah bersih, hendaklah berwudhu’, yang termasuk padanya membersihkan mulut, hidung, tangan, muka dan lainnya anggota wudhu’.
4.        Pakailah cahaya remang-remang atau gelap, karena dalam suasana demikian akan meningkatkan konsentrasi, sehingga segala kekurangan jasmaniah dapat diatasi.
5.        Berdo’a kepada Allâh (semoga Allâh melimpahkan nikmat-Nya), seperti do’a diajarkan[2]
عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ قَالَ لَوْ أَنَّكُمْ إِذَا آتَى أَهْلَهُ قَالَ : بِسْمِ اللهِ، اَللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَقُضِىَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌلَمْ يَضُرُهُ.
“Dari Ibnu Abbas r.a. ia menyampaikan apa yang diterima dari Nabi SAW. Beliau bersabda, “Andaikata seseorang diantara kamu semua mendatangi (menggauli) isterinya, ucapkanlah, “Bismi Allâhi, Allâhumma Jannibnâ Syaithânâ wajannibi al-syaithânâ mâ razaqtanâ.” (dengan nama Allâh. Ya Allâh, hindarilah kami dari syetan dan jagalah apa yang engkau rizkikan kepada kami dari syetan.” Maka apabila ditakdirkan bahwa mereka berdua akan mempunyai anak, syetan tidak akan pernah bisa membahayakannya.” (HR. Bukhâriy dalam Kitab Shahihnya pada Kitab Wudhuk Hadits ke-141). 
6.        Mulailah coitus dengan awal lembut dan harmonis tanpa paksaan. Lakukan jima’ pada sepertiga malam (pukul 10 keatas), atau pada tiga waktu yang nyaman yaitu, sebelum shalat subuh, tengah hari, dan sesudah shalat isya’, sebagaimana disebut dalam wahyu ;

” Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan perempuan) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar) mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya’. (Itulah) tiga `aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allâh menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allâh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Nûr/24: 58).
Sabda Rasul Allâh SAW“Siapa pun diantara kamu, janganlah menyamai isterinya seperti seekor hewan bersenggama, tapi hendaklah ia dahului dengan perentaraan. Selanjutnya, ada yang bertanya: Apakah perantaraan itu ?
Rasul Allâh SAW bersabda, “yaitu ciuman dan ucapan-ucapan romantis”. (HR. Bukhâriy dan Muslim).
7.        Dilakukan dalam kondisi yang sehat dan menyenangkan bagi kedua pasangan. Dalam keadaan beginiinsyâ Allâh akan sama menikmati dan dilakukan dalam keadaan siap fisik dan psychis kedua pasangan.[3]
8.        Setelah selesai melakukan hubungan intim, hendaknya membaca do`a,
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيْرًا.
“Segala puji bagi Allâh yang telah menjadikan manusia dari air (mani), lalu menjadikan pertalian darah, dan hubungan perkawinan. Dan Allâh adalah Maha Berkuasa”.  
9.        Apabila ingin memulai yang kedua atau seterusnya lebih afdhallah melakukan wudhu’, sekurang-kurangnya membasuh faraj dengan bersih.

B.    Sesudah Melakukan Hubungan Seks

Suami-isteri yang baru saja melakukan hubungan seks (coitus, jima’) dalam fiqh thaharah disebut dengan istilah junub (berjunub), maka ia wajib mandi (QS. Al-Mâidah/5: 6).
Agama Islam menetapkan ada beberapa macam yang menyebabkan seseorang wajib mandi dalam fiqh Islam sebagai ijtihad al-thathbiqy (penerapan hukum):
1.      Karena melakukan hubungan seksual (coitus/jima’)
2.      Keluarnya mani (sperma), (bermimpi, senggama, sengaja atau tidak sengaja). Rasul Allâh SAW bersabda, Apabila air (sperma) itu terpancar keras, maka mandilah. (HR. Abu Dâud). Kalau tidak keluar mani, maka Rasul Allâh SAW. menerangkan, dalam hadits berikut,
عَنْ أُبَىَّ ابْنِ كَعْبٍ أَنَّهُ قَالَ: يَارَسُوْلَ اللهِ إِذَا جَامَعَ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ فَلَمْ يُنْزِلْ. قَالَ “يَغْتَسِلُ مَا مَسَّ الْمَرْأَةَ مِنْهَ ثُمَّ يَتَوَضَّاءُ وَيُصَلِّى”. قَالَ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ: الْغَسَلَ اَحْوَطُ وَذَاكَ اْلآخِرُوَإِنَّمَا بَيْنَا ِلإِخْتِلاَفِيْهِمْ. ( رَوَاهُ الْبُخَارِى فِى الْكِتَابِ الْصَّحِحِهِ/كِتَابٌ الْغُسْلِ–حَدِيْثٌ- 290 )
116
“Dari Ubai bin Ka`ab bahwasanya ia berkata : “Wahai Rasul Allâh, apabila ia seorang laki-laki menyetubuhi isterinya, tetapi tidak mengeluarkan mani, apakah yang diwajibkan olehnya? Beliau bersabda, ”Hendaknya dia mencuci bagian-bagian yang berhubungan dengan kemaluan perempuan, berwudhu’ dan lalu shalat”. Abu `Abd Allâh berkata, “mandi adalah lebih berhati-hati dan merupakan peraturan hukum yang terakhir. Namun mengetahui tidak wajibnya mandi kamu uraikan juga untuk menerangkan adanya perselisihan pendapat antara orang `alim.” (HR. Bukhâriy dalam Kitab Shahihnya/Kitab Mandi, hadits ke-290)
3.      Berhenti Haid dan Nifas
Rasul Allâh SAW“Dari Fatimah binti Abi Hubaisy, Rasul Allâh SAW bersabda, Apabila haidmu datang maka tinggalkanlah shalat dan apabila haid tersebut telah selesai maka mandilah kemudian shalat.”
4.      Karena Meninggal Dunia.
Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW bersabda, “Mandikanlah olehmu dengan air dan bidara …. (HR. Mutafaqq ‘alaih)

C.    Hubungan Seks yang Dilarang Islam

Banyak buku-buku Islam mengenai Rumah Tangga, Kebahagiaan Rumah Tangga yang membahas masalah senggama, dalam Bâb al-Jima’, ada beberapa yang mesti dihindari dan dapat menjauh dari etika religi menurut agama Islam. Hal yang melanggar adab Jima` dalam Islam, antara lain ;
1.      Berbugil (kecuali dalam selimut).
2.      Oral sex.
3.      Bersetubuh lewat dubur.

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قال رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَلْعُوْنٌ مَنْ اَتَى إِمْرَأَةً مِنْ دُبُوْرِهَا (رَوَاهُ اَبُوْدَاوُدْ وَ النَّسَاءِى)

“Dari Abu Hurairah radhiy Allâhu `anhu, Rasul Allâh SAW bersabda, “Terkutuklah siapa saja yang menggauli isterinya melalui duburnya”. (HR. Abu Dâud dan al-Nasâ’iy)
4.      Menyakiti/berlaku kasar terhadap pasangan (QS. Al-Nisâ’/4 : 14).
5.      Bersetubuh waktu perempuan haid, seperti firman Allâh berikut;
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَأَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ.
118
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari perempuan di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allâh kepadamu. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah/2: 222)
Imam Al-Ghazali16 dalam Ihya’ `Ulumuddin mengulas lengkap masalah ini berdasarkan Al-Qur’ân, Hadis dan Ijtihadnya.
Beliau menyebutkan misalnya di mana saja dari bagian tubuh perempuan itu yang sensitif dan yang sangat sensitif, yang berbeda pada setiap perempuan, maka sangat perlu ada komunikasi intim.

[1] Dr. H. Ali Akbar, menambahkan bahwa pada tahap mandi bersih-bersih ini hendaklah dikosongkan kantong kencing, dan membersihkan penis (alat kelamin laki-laki) dan vagina (alat kelamin perempuan).
[2] رَوَاهُ الْبُخَارِى فِى اْلكِتَابِ الصَّحِيْحِهِ/كِتَابُ الْوُضُوْءِ- حَدِيْثٌ- 141
[3] Selanjutnya dalam masalah ini Ali Akbar berpesan, “Bagi kita kaum muslimin, adab seksual yang baik dan terpuji adalah adab seksual Islam, yang ditauladankan oleh Nabi Muhammad SAW. Kesenangan dari aktivitas seksual itu sebenarnya adalah tergantung dari keadaan mental kedua belah pihak.

16 Dalam kitab ini beliau membahas masalah hubungan suami-isteri secara gamlang, sehingga jelas etika bagaimana berhubungan intim yang sesuai syari`at Islam, paling tidak menggambarkan keluesan Islam mengajarkan kepada kita untuk melakukannya dengan nyaman. Walaupun Syaikh Shalih Al-Fauzhan mengkritisi banyak hadits-hadits dha`if dalam kitab tersebut, dan sampai ada ungkapan, “Ilmu Hadits yang dimiliki Imam Al-Ghazali seperti orang mencari kayu bakar dimalam hari.” Namun kekurangan tersebut dapat diatasi dengan mengedit beberapa hal yang perlu oleh penerusnya dengan tidak merobah kandungan aslinya, mesti proposional. Masalah tentang hubungan intim itu dibahas oleh Imam Ghazali dalam Ihya’ `Ulumuddin, penerjemah: Ahmad Rofi` Usmani, (Bandung: Pustaka, 2005), Cet. I. Jilid 4, hal. 130-181. Dalam keterangan lain Felyx Bryk menyelidiki dengan kesimpulan bahwa “berkhitan dapat memperlambat ejaculatio seminis (memperlambat/memperpanjang persenggamaan).” Sejarah berkhitan ini, terdapat semenjak purba, pada bangsa Semit, Mesir, berbagai bangsa Amerika, Afrika, Melanesia, Polynesia, Australia dan Indonesia. Hanya pada bangsa Indo-Jerman, Mongol dan Fin yang tiada kebiasaan ini (kecuali yang dipengaruhi kebudayaan Islam).
Menurut Riwayat, yang mula berkhitan ialah Nabi Adam `alaihi salam, dan mewariskan kepada keturunannya. Dan diteruskan oleh Nabi Ibrahim `alaihi salam. Akan tetapi oleh Penganut Kristen, syari`at berkhitan itu dibatalkan. Bacalah: 1 Korintus 7: 18-19 juncto Galitia 5: 2, Galitia 6: 15. Inilah yang menjadi syari`at Nabi sebelum Nabi Muhammad yang disyari`atkan juga pada umatnya. Khitan, pada anak laki-laki adalah sebelum akhir baligh dan perempuan secepatnya pada umur tujuh hari sesudah kelahirannya dan biasanya paling lambat selagi balita. (Panji Masyarakat No. 619, 1989, hal. 36-37).

Ummi


Sebelum menerbitkan mentari
pertemuan pertama di sujud malam-mu
menitikan buliran seribu linangan
renyuh aku dalam doanya
sebelum memunculkan mentari
senyum pertama ada dalam nikmatnya masakan
ketulusan tak tergantikan di teduhnya himbauan
nak, sarapan dulu sayang
begitu diterangi mentari
doa sejalan ku diiringi
sampai pada perjuanganku
demi cita-cita putra-putrimu itu
keringat bermula di terpaan pertama
pertama hingga entah sampai berapa
sampai umi tak menyadarinya
peluh luluh untuk putra-putrinya
di tengah terikan mentari
sanubarinya lebih cerah dari matahari
tuturkan keikhlasan dan rangkaikan doa
demi keselamatan putra-putrimu itu
sampai pada senja bertepi
umi guratkan pertanyaan kasih
umi lukiskan pernyataan lirih
sampai pada merdu di hati
putramu melawan dengan nada gemuruh
putrimu tak segan dengan sikap yang keruh
namun sabar engkau dalam pandangan yang teduh
mengingatkan pesan Allah tentang santun tertabuh
sampai pada bulan di perapiannya
umi kisahkan hidup matinya
melahirkan insan yang dicintanya
menafikan jeritan dan darah sesungguhnya
kini ku sudah besar
namun terus-menerus menyusahkannya
umi
sendu nadiku
semerdu doaku
tak sebanding tulusmu
membimbing diriku

Mengawal Pintu Nafsu


Mengawal Pintu Nafsu


Pergaulan bebas adalah punca utama penzinaan. Ketahuilah bahawa seorang lelaki yang mendekati wanita pada dasarnya ia telah mendekati pintu perzinaan. Seorang lelaki yang memberi tumpuan penuh pandangan kepada wanita bererti ia telah mendekati perzinaan. Begitu pula dengan mereka yang senang melayari gambar-gambar porno di internet, menonton video lucah, filem yang menghairahkan, hiburan melampau adalah mendorong kepada perzinaan. Termasuk juga mereka yang bukan muhrim berdua-duan di tempat yang sunyi akan mendatangkan kemaksiatan pada dirinya. Firman Allah dalam surah al-Israa’ ayat 32:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Yang bermaksud: “Dan janganlah kamu menghampiri zina, sesungguhnya zina itu adalah satu perbuatan yang keji dan satu jalan yang jahat.”

Kita perlu ingat bahawa orang yang berzina akan menerima azab siksa yang sangat pedih di neraka Jahannam. Kepanasan api neraka adalah 70 kali ganda kepanasan api yang ada di atas dunia ini. Dalam beberapa hadith disebutkan, di akhirat kelak, Allah SWT tidak menegurnya, tidak menyapanya dan tidak memandangnya. Ketika perbuatan berzina berleluasa dan pintu-pintu menuju perzinaan juga terbuka luas yang kelihatan sukar disekat, maka ketahuilah bahawa musibah bersiap sedia datang menerpa kita. Seberapa dekat kita dengan pinti-pintu menuju perzinaan, sedekat itu lah musibah yang akan diturunkan oleh Allah SWT. Musibah mungkin tidak menimpa diri kita tetapi akan menimpa anak cucu kita misalnya turut terjebak dengan amalan perzinaan (mudah-mudahan Allah melindungi kita dari itu).

Selari dengan mengawal pintu nafsu, maka pada dasarnya hukum perkahwinan yang ditetapkan Islam adalah wajib kepada mereka yang berkemampuan dan menpunyai nafsu yang kuat sehingga boleh menjerumus ke lembah maksiat. Berdasarkan kepada pandangan ahli-ahli fiqh dan hadith Rasulullah SAW bahawa mereka yang berkemampuan dari segi zahir dan batin, hendaklah mendahulukan perkahwinan dari ibadah yang lain kerana dikuatiri maksiat akan berlaku pada dirinya. Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: “Wahai golongan pemuda! Sesiapa yang berkemampuan untuk al-baah (mampu menyediakan nafkah perkahwinan) maka hendaklah dia berkahwin kerana sesungguhnya perkahwinan itu lebih menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Sesiapa yang tidak mampu maka hendaklah dia berpuasa kerana puasa itu penghalang baginya daripada syahwat.”(Riwayat Bukhari dan Muslim). Menurut pandangan Imam al-Nawawi dan al-Shafie golongan pemuda yang dimaksudkan di dalam hadith tersebut ialah mereka yang sudah baligh dan belum mencapai usia 30 tahun. Penekanan kepada usia ini kerana ianya berada pada peringkat segala-gala memuncak kecuali kematangan. Kebiasaan pada peringkat umur ini, nafsunya tinggi, semangatnya kuat, tenaganya berlebihan, hasrat ingin mencuba timbul di dalam pelbagai perkara namun malangnya kebanyakan perhitungan mereka itu singkat belaka.

Justeru berdasarkan kepada tuntutan kehidupan ini, ibu-bapa yang mempunyai anak-anak yang seusia sebegini memberi perhatian kepada keperluan mereka. Ingatlah bahawa dasar hukum perkahwinan yang ditetapkan Islam adalah tidak membebankan. Berdasarkan sirah Rasulullah  SAW bahawa sekurang-kurangnya majlis walimah atau kenduri kahwin adalah menyembelih seekor kambing, kadar mas kahwin dan hantaran yang rendah adalah dituntut kerana membawa keberkatan dalam perkahwinan dan perlu mengelakkan pembaziran. Begitu juga kepada pihak berkuasa agar dipermudahkan segala urusan bagi pasangan yang telah mencukupi segala syaratnya demi menutup segala pintu  kemaksiatan.

Apabila seseorang itu berkemampuan membina rumah tangga maka hendaklah ianya bersegera bernikah. Perkataan al-nikah itu sendiri sebenarnya daripada lafaz yang mengandungi maksud mengharuskan bersuka-suka pasangan suami isteri dalam bentuk yang diizinkan syarak. Justeru, tekanan perasaan keinginan dan nafsu yang terkumpul dalam diri dapat diluahkan dengan cara yang diredai Allah SWT. Oleh itu dengan kewujudan pasangan yang sah dapatlah memelihara larangan Allah SWT dari segala kemungkaran yang bersangkutan dengan kemaluan dan mata serta dapat mengawal pintu nafsu.

Ingatlah bahawa Islam mengharamkan penzinaan tetapi mengizinkan perkahwinan secara yang sah. Marilah sama-sama kita merenung firman Allah SWT dalam surah al-Ruum, ayat 21:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَ‌ٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ﴿٢١﴾
Maksudnya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, bahawa Ia menciptakan untuk kamu, isteri-isteri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu bersenang hati dengannya, dan dijadikan di antara kamu perasaan kasih sayang. Sesungguhnya yang demikian itu mengandungi keterangan-keterangan bagi orang yang berfikir”.

Seminggu menjelang Ramadan : 9 perkara amalan sunnah mengisi Ramadan.

Oleh: Farid Nu’man Hasan

Berikut ini adalah amalan yang sesuai sunah Nabi, baik sunah qauliyah dan fi’liyah yang boleh kita lakukan selama bulan Ramadhan.

1. Bersahur

Dalilnya:

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً

“Bersahurlah kalian, karena pada santap sahur itu ada keberkahan.” (HR. Bukhari No. 1923, Muslim No. 1095)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

وقد أجمعت الامة على استحبابه، وأنه لا إثم على من تركه

Umat telah ijma’ atas kesunnahannya, dan tidak berdosa meninggalkannya. (Fiqhus Sunnah, 1/455)

Beliau menambahkan:

وسبب البركة: أنه يقوي الصائم، وينشطه، ويهون عليه الصيام.

Sebab keberkahannya adalah karena sahur dapat menguatkan orang yang berpuasa, menggiatkannya, dan membuatnya ringan menjalankannya. (Ibid, 1/456)

Keutamaannya:

Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ، فَلَا تَدَعُوهُ، وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ

Makan sahur adalah berkah, maka janganlah kalian meninggalkannya, walau kalian hanya meminum seteguk air, karena Allah ‘Azza wa Jalla dan para malaikat mendoakan orang yang makan sahur. (HR. Ahmad No. 11086, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: sanadnya shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 11086)

Dari Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السُّحُور

“Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab adalah pada makan sahur.” (HR. Muslim No. 1096)

Dari hadits dua ini ada beberapa faedah:

- Anjurannya begitu kuat, sampai nabi meminta untuk jangan ditinggalkan
- Sahur sudah mencukupi walau dengan seteguk air minum
- Allah ‘Azza wa Jalla dan para malaikat mendoakan (bershalawat) kepada yang makan sahur
- Orang kafir Ahli Kitab juga berpuasa, tapi tanpa sahur
- Berpuasa tanpa sahur secara sengaja dan terus menerus adalah menyerupai Ahli kitab

Disunnahkan menta’khirkan sahur:

Dari ‘Amru bin Maimun Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كان أصحاب محمد صلى الله عليه و سلم أعجل الناس إفطارا وأبطأهم سحورا

Para sahabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling bersegera dalam berbuka puasa, dan paling akhir dalam sahurnya. (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7916. Al Faryabi dalam Ash Shiyam No. 52. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 9025)

Imam An Nawawi mengatakan: “sanadnya shahih.” (Lihat Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 6/362), begitu pula dishahihkan oleh Imam Ibnu Abdil Bar, bahkan menurutnya keshahihan hadits tentang bersegera buka puasa dan mengakhirkan sahur adalah mutawatir. (Lihat Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 17/9. Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/199)

2. Tadarus Al Quran dan Mengkhatamkannya

Bulan Ramadhan adalah bulan yang amat erat hubungannya dengan Al Quran, karena saat itulah Al Quran diturunkan. Oleh karenanya aktifitas bertadarus (membaca sekaligus mengkaji) adalah hal yang sangat utama saat itu, dan telah menjadi aktifitas utama sejak masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan generasi terbaik.

Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma menceritakan:

وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ

Jibril menemuinya pada tiap malam malam bulan Ramadhan, dan dia (Jibril) bertadarus Al Quran bersamanya. (HR. Bukhari No. 3220)

Faedah dalam hadits ini adalah:

- Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga melakukan tadarus Al Quran bersama Malaikat Jibril
- Beliau melakukannya setiap malam, dan dipilihnya malam karena waktu tersebut biasanya waktu kosong dari aktifitas keseharian, dan malam hari suasana lebih kondusif dan khusyu.’

Bukan hanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tetapi ini juga perilaku para sahabat dan generasi setelah mereka.

Imam An Nawawi Rahimahullah menceritakan dalam kitab At Tibyan fi Aadab Hamalatil Quran, bahwa diriwayatlan oleh As Sayyid Al Jalil Ahmad Ad Dawraqi dengan sanadnya, dari Manshur bin Zaadaan, dari para ahli ibadah tabi’in – semoga Allah meridhainya- bahwasanya pada bulan Ramadhan dia mengkhatamkan Al Quran antara zhuhur dan ashar, dan juga mengkhatamkan antara maghrib dan isya, dan mereka mengakhirkan isya hingga seperampat malam.

Imam Abu Daud meriwayatkan dengan sanad yang shahih, bahwa Mujahid mengkhatamkan Al Quran antara maghrin dan isya. Dari Manshur, katanya bahwa Al Azdi mengkhatamkan Al Quran setiap malam antara maghrib dan isya pada bulan Ramadhan.

Ibrahim bin Sa’ad menceritakan: bahwa ayahku kuat menahan duduk dan sekaligus mengkhatamkan Al Quran dalam sekali duduk. Ada pun yang sekali khatam dalam satu rakaat shalat tidak terhitung jumlahnya karena banyak manusia yang melakukannya, seperti Utsman bin ‘Affan, At Tamim Ad Dari, Sa’id bin Jubeir –semoga Allah meridhai mereka- yang khatam satu rakaat ketika shalat di dalam Ka’bah.

Ada juga yang khatam dalam sepekan, seperti Utsman bin ‘Affan, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab, dan segolongan tabi;in seperti Abdurrahman bin Yazid, Al Qamah, dan Ibrahim – semoga Allah merahmati mereka semua. (Lingkapnya lihat Imam An Nawawi, At Tibyan, Hal. 60-61)

3. Bersedekah

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai teladan kita telah mencontohkan akhlak yang luar biasa yaitu kedermawanan. Hal itu semakin menjadi-jadi ketika bulan Ramadhan.

Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, menceritakan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَأَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling dermawan, dan kedermawanannya semakin menjadi-jadi saat Ramadhan apalagi ketika Jibril menemuinya. Dan, Jibril menemuinya setiap malam bulan Ramadhan dia bertadarus Al Quran bersamanya. Maka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam benar-benar sangat dermawan dengan kebaikan laksana angin yang berhembus. (HR. Bukhari No. 3220)

4. Memberikan makanan buat orang yang berbuka puasa

Dari Zaid bin Khalid Al Juhani Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

Barang siapa yang memberikan makanan untuk berbuka bagi orang berpuasa maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana orang tersebut, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang itu. (HR. At Tirmidzi No. 807, katanya: hasan shahih. Ahmad No. 21676, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 3332. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3952. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 6415. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan lighairih. Lihat ta’liq Musnad Ahmad No. 21676, Al Bazzar dalam Musnadnya No. 3775)

Para ulama berbeda pendapat tentang batasan “memberikan makanan untuk berbuka”. Sebagian menilai itu adalah makanan yang mengenyangkan selayaknya makanan yang wajar. Sebagian lain mengatakan bahwa hal itu sudah cukup walau memberikan satu butir kurma dan seteguk air. Pendapat yang lebih kuat adalah –Wallahu A’lam- pendapat yang kedua, bahwa apa yang tertulis dalam hadits ini sudah mencukupi walau sekedar memberikan seteguk air minum dan sebutir kurma, sebab hal itu sudah cukup bagi seseorang dikatakan telah ifthar (berbuka puasa).

5. Memperbanyak doa

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوم

Ada tiga manusia yang doa mereka tidak akan ditolak: 1. Doa orang yang berpuasa sampai dia berbuka, 2. Pemimpin yang adil, 3. Doa orang teraniaya. (HR. At Tirmidzi No. 2526, 3598, katanya: hasan. Ibnu Hibban No. 7387, Imam Ibnul Mulqin mengatakan: “hadits ini shahih.” Lihat Badrul Munir, 5/152. Dishahihkan oleh Imam Al Baihaqi. Lihat Shahih Kunuz As sunnah An Nabawiyah, 1/85. Sementara Syaikh Al Albani mendhaifkannya. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2526)

Berdoa diwaktu berbuka puasa juga diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Berikut ini adalah doanya:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika sedang berbuka puasa dia membaca: “Dzahaba Azh Zhama’u wab talatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah.” (HR. Abu Daud No. 2357, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7922, Ad Daruquthni, 2/185, katanya: “isnadnya hasan.” An Nasa’i dalam As sunan Al Kubra No. 3329, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1536, katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari- Muslim”. Al Bazzar No. 4395. Dihasankan Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 4678)

Sedangkan doa berbuka puasa: Allahumma laka shumtu ... dst, dengan berbagai macam versinya telah didhaifkan para ulama, baik yang dari jalur Muadz bin Zuhrah secara mursal, juga jalur Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas. (Lihat Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 2/444-445. Imam An Nawawi, Al Adzkar, 1/62. Imam Abu Daud, Al Maraasiil, 1/124, Imam Al Haitsami, Majma’ Az Zawaid, 3/371. Syaikh Al Albani juga mendhaifkan dalam berbagai kitabnya)

6. Menyegerakan berbuka puasa

Dari ‘Amru bin Maimun Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كان أصحاب محمد صلى الله عليه و سلم أعجل الناس إفطارا وأبطأهم سحورا

Para sahabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling bersegera dalam berbuka puasa, dan paling akhir dalam sahurnya. (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7916. Al Faryabi dalam Ash Shiyam No. 52. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 9025)

Imam An Nawawi mengatakan: “sanadnya shahih.” (Lihat Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 6/362), begitu pula dishahihkan oleh Imam Ibnu Abdil Bar, bahkan menurutnya keshahihan hadits tentang bersegera buka puasa dan mengakhirkan sahur adalah mutawatir. (Lihat Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 17/9. Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/199)

7. I’tikaf di - ‘asyrul awakhir

Dalilnya berdasarkan Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’, yakni sebagai berikut:

- Al Quran

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

Janganlah kalian mencampuri mereka (Istri), sedang kalian sedang I’tikaf di masjid. (QS. Al Baqarah : 187)

- As Sunnah

Dari ‘Aisyah Radiallahu ‘Anha:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatka Allah, kemudian istri-istrinya pun I’tikaf setelah itu.(HR. Bukhari, No. 2026, Muslim No. 1171, Abu Daud No. 2462. Ahmad No. 24613, dan lainnya)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam I’tikaf di setiap Ramadhan 10 hari, tatkala pada tahun beliau wafat, beliau I’tikaf 20 hari. (HR. Bukhari No. 694, Ahmad No. 8662, Ibnu Hibban No. 2228, Al Baghawi No. 839, Abu Ya’la No. 5843, Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan, 2/53)

- Ijma’

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menceritakan adanya ijma’ tentang syariat I’tikaf:

وقد أجمع العلماء على أنه مشروع، فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يعتكف في كل رمضان عشرة أيام، فلما كان العام الذي قبض فيه اعتكف عشرين يوما.

Ulama telah ijma’ bahwa I’tikaf adalah disyariatkan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf setiap Ramadhan 10 hari, dan 20 hari ketika tahun beliau wafat. (Fiqhus Sunnah, 1/475)

Hukumnya

Hukumnya adalah sunnah alias tidak wajib, kecuali I’tikaf karena nazar. Kesunahan ini juga berlaku bagi kaum wanita, dengan syarat aman dari fitnah, dan izin dari walinya, dan masjidnya kondusif.

Imam Asy Syaukani Rahimahullah mengatakan:

وقد وقع الإجماع على أنه ليس بواجب ، وعلى أنه لا يكون إلا في مسجد

Telah terjadi ijma’ bahwa I’tikaf bukan kewajiban, dan bahwa dia tidak bisa dilaksanakan kecuali di masjid. (Fathul Qadir, 1/245)

Namun jika ada seorang yang bernazar untuk beri’tikaf, maka wajib baginya beri’tikaf.

Khadimus Sunnah Asy Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:

الاعتكاف ينقسم إلى مسنون وإلى واجب، فالمسنون ما تطوع به المسلم تقربا إلى الله، وطلبا لثوابه، واقتداء بالرسول صلوات الله وسلامه عليه، ويتأكد ذلك في العشر الاواخر من رمضان لما تقدم، والاعتكاف الواجب ما أوجبه المرء على نفسه، إما بالنذر المطلق، مثل أن يقول: لله علي أن أعتكف كذا، أو بالنذر المعلق كقوله: إن شفا الله مريضي لاعتكفن كذا.
وفي صحيح البخاري أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: " من نذر أن يطيع الله فليطعه "

I’tikaf terbagi menjadi dua bagian; sunah dan wajib. I’tikaf sunah adalah I’tikaf yang dilakukan secara suka rela oleh seorang muslim dalam rangka taqarrub ilallahi (mendekatkan diri kepada Allah), dalam rangka mencari pahalaNya dan mengikuti sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hal itu ditekankan pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sebagaimana penjelasan sebelumnya.
I’tikaf wajib adalah apa-apa yang diwajibkan seseorang atas dirinya sendiri, baik karena nazar secara mutlak, seperti perkataan: wajib atasku untuk beri’tikaf sekian karena Allah. Atau karena nazar yang mu’alaq (terkait dengan sesuatu), seperti perkataan: jika Allah menyembuhkan penyakitku saya akan I’tikaf sekian ..
Dalam shahih Bukhari disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barang siapa yang bernazar untuk mentaati Allah maka taatilah (tunaikanlah).” (Fiqhus Sunnah, 1/475)

Wallahu A’lam

8. Qiyamur Ramadhan (Shalat Tarawih)

- Keutamaannya:

Shalat Tarawih memiliki keutamaan dan ganjaran yang besar, sebagaimana yang disebutkan oleh berbagai hadits shahih, yakni di antaranya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang shalat malam pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap ganjaran dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 37, Muslim No. 759)

Hadits lain:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِ

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dia bersabda: “Barangsiapa yang shalat malam ketika lailatul qadar karena iman dan mengharap ganjaran dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 1901, Muslim No. 760, ini lafaz Bukhari)

Mengomentari hadits di atas, Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

أَنْ يُقَال قِيَام رَمَضَان مِنْ غَيْر مُوَافَقَةِ لَيْلَة الْقَدْر وَمَعْرِفَتهَا سَبَب لِغُفْرَانِ الذُّنُوب ، وَقِيَام لَيْلَة الْقَدْر لِمَنْ وَافَقَهَا وَعَرَفَهَا سَبَب لِلْغُفْرَانِ وَإِنْ لَمْ يَقُمْ غَيْرهَا

“Bahwa dikatakan, shalat malam pada bulan Ramadhan yang tidak bertepatan dengan lailatul qadar dan tidak mengetahuinya, merupakan sebab diampunya dosa-dosa. Begitu pula shalat malam pada bulan Ramadhan yang bertepatan dan mengetahui lailatul qadar, itu merupakan sebab diampuni dosa-dosa, walau pun dia tidak shalat malam pada malam-malam lainnya.”(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/41)

Imam Abu Thayyib Muhammad Syamsuddin Abadi Rahimahullah berkata dala kitabnya, ‘Aunul Ma’bud:

إِيمَانًا ) : أَيْ مُؤْمِنًا بِاللَّهِ وَمُصَدِّقًا بِأَنَّهُ تَقَرُّب إِلَيْهِ ( وَاحْتِسَابًا ) : أَيْ مُحْتَسِبًا بِمَا فَعَلَهُ عِنْد اللَّه أَجْرًا لَمْ يَقْصِد بِهِ غَيْره

“(Dengan keimanan) maksudnya adalah dengan keimanan kepada Allah, dan meyakini bahwa hal itu merupakan taqarrub kepada Allah Ta’ala. (Ihtisab) maksudnya adalah mengharapkan bahwa apa yang dilakukannya akan mendapat pahala dari Allah, dan tidak mengharapkan yang lainnya.” (‘Aunul Ma’bud, 4/171)

Begitu pula yang dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah:

وَالْمُرَاد بِالْإِيمَانِ الِاعْتِقَاد بِحَقِّ فَرْضِيَّةِ صَوْمِهِ ، وَبِالِاحْتِسَابِ طَلَب الثَّوَابِ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى

“Yang dimaksud ‘dengan keimanan’ adalah keyakinan dengan benar terhadap kewajiban puasanya, dan yang dimaksud dengan ‘ihtisab’ adalah mengharap pahala dari Allah Ta’ala.”(Fathul Bari, 4/115)

- Hukumnya

Hukum shalat tarawih adalah sunah bagi muslim dan muslimah, dan itu merupakan ijma’ (kesepakatan) para ulama sejak dahulu. Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

وَاجْتَمَعَتْ الْأُمَّة أَنَّ قِيَام رَمَضَان لَيْسَ بِوَاجِبٍ بَلْ هُوَ مَنْدُوب

“Umat telah ijma’ bahwa qiyam ramadhan (tarawih) tidaklah wajib, melainkan sunah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/40, Imam Abu Thayyib, ‘Aunul Ma’bud, 4/171)

Sunahnya tarawih, karena tak lain dan tak bukan adalah ia merupakan tahajudnya manusia pada bulan Ramadhan, oleh karena itu ia disebut Qiyam Ramadhan, dan istilah tarawih baru ada belakangan. Sedangkan tahajjud adalah sunah (mustahab/ mandub/ tathawwu’/nafilah).

Allah Ta’ala berfirman:

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ

“Dan pada sebagian malam, lakukanlah tahajjud sebagai nafilah (tambahan) bagimu.” (QS. Al Isra’ (17): 79)

Imam Qatadah Radhiallahu ‘Anhu berkata tentang maksud ayat “ nafilah bagimu”:

تطوّعا وفضيلة لك.

“Sunah dan keutamaan bagimu.” (Imam Abu Ja’far Ath Thabari, Jami’ Al Bayan Fi Ta’wil Al Quran, 17/526)

- Boleh dilakukan sendiri, tapi berjamaah lebih afdhal

Shalat terawih dapat dilakukan berjamaah atau sendiri, keduanya pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Berkata Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

قيام رمضان يجوز أن يصلى في جماعة كما يجوز أن يصلى على انفراد، ولكن صلاته جماعة في المسجد أفضل عند الجمهور.

“Qiyam Ramadhan boleh dilakukan secara berjamaah sebagaimana boleh pula dilakukan secara sendiri, tetapi dilakukan secara berjamaah adalah lebih utama menurut pandangan jumhur (mayoritas) ulama.” (Fiqhus Sunnah, 1/207)

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di masjid, lalu manusia mengikutinya, keesokannya shalat lagi dan manusia semakin banyak, lalu pada malam ketiga atau keempat mereka berkumpul namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak keluar bersama mereka, ketika pagi hari beliau bersabda:

قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ

“Aku melihat apa yang kalian lakukan, dan tidak ada yang mencegahku keluar menuju kalian melainkan aku khawatir hal itu kalian anggap kewajiban.” Itu terjadi pada bulan Ramadhan.(HR. Bukhari No. 1129, Muslim No. 761)

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

فَفِيهِ : جَوَاز النَّافِلَة جَمَاعَة ، وَلَكِنَّ الِاخْتِيَار فِيهَا الِانْفِرَاد إِلَّا فِي نَوَافِل مَخْصُوصَة وَهِيَ : الْعِيد وَالْكُسُوف وَالِاسْتِسْقَاء وَكَذَا التَّرَاوِيح عِنْد الْجُمْهُور كَمَا سَبَق

“Dalam hadits ini, menunjukkan bolehnya shalat nafilah dilakukan berjamaah, tetapi lebih diutamakan adalah sendiri, kecuali shalat-shalat nafilah tertentu (yang memang dilakukan berjamaah, pen) seperti: shalat ‘Ied, shalat gerhana, shalat minta hujan, demikian juga tarawih menurut pandangan jumhur, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/41)

Di dalam sejarah, sejak saat itu, manusia melakukan shalat tarawih sendiri-sendiri, hingga akhirnya pada zaman Umar Radhiallahu ‘Anhu, dia melihat manusia shalat tarawih sendiri-sendiri dan semrawut, akhirnya dia menunjuk Ubay bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu untuk menjadi imam shalat tarawih mereka, lalu Umar berkata:

نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

“Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari No. 2010)

- Jumlah Rakaat

Masalah jumlah rakaat shalat tarawih sejak dahulu telah menjadi polemik hingga hari ini. Antara yang menganjurkan 8 rakaat dengan 3 rakaat witir, atau 20 rakaat dengan 3 rakaat witir, bahkan ada yang lebih dari itu. Manakah yang sebaiknya kita jadikan pegangan? Ataukah semuanya benar, karena memang tak ada ketentuan baku walau pun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sepanjang hidupnya hanya melaksanakan 11 rakaat? Dan apakah yang dilakukan oleh nabi tidak berarti wajib, melainkan hanya contoh saja?

Tarawih Pada Masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata:

مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة

“Bahwa Rasulullah tidak pernah menambah lebih dari sebelas rakaat shalat malam, baik pada bulan Ramadhan atau selainnya.” (HR. Bukhari No. 2013, 3569, Muslim No. 738)

Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

جاء أبي بن كعب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، إن كان مني الليلة شيء يعني في رمضان ، قال : « وما ذاك يا أبي ؟ » ، قال : نسوة في داري ، قلن : إنا لا نقرأ القرآن فنصلي بصلاتك ، قال : فصليت بهن ثمان ركعات ، ثم أوترت ، قال : فكان شبه الرضا ولم يقل شيئا

Ubay bin Ka’ab datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, semalam ada peristiwa pada diri saya (yaitu pada bulan Ramadhan).” Rasulullah bertanya: “Kejadian apa itu Ubay?”, Ubay menjawab: “Ada beberapa wanita di rumahku, mereka berkata: “Kami tidak membaca Al Quran, maka kami akan shalat bersamamu.” Lalu Ubay berkata: “Lalu aku shalat bersama mereka sebanyak delapan rakaat, lalu aku witir,” lalu Ubay berkata: “Nampaknya nabi ridha dan dia tidak mengatakan apa-apa.” (HR. Abu Ya’la dalam Musnadnya No. 1801. Ibnu Hibban No. 2550, Imam Al Haitsami mengatakan: sanadnya hasan. Lihat Majma’ az Zawaid, Juz. 2, Hal. 74)

Dari keterangan dua hadits di atas, kita bisa mengetahui bahwa shalat tarawih pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih hidup adalah delapan rakaat, dan ditambah witir, dan tidak sampai dua puluh rakaat. Oleh karena itu Syaikh Sayyid Sabiq berkomentar:

هذا هو المسنون الوارد عن النبي صلى الله عليه وسلم ولم يصح عنه شئ غير ذلك

“Inilah sunah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan tidak ada sesuatu pun yang shahih selain ini.” (Fiqhus Sunnah, 1/206)

Imam Ibnu Hajar Al Asqalani berkata:

وَأَمَّا مَا رَوَاهُ اِبْنُ أَبِي شَيْبَةَ مِنْ حَدِيث اِبْن عَبَّاسٍ " كَانَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي رَمَضَان عِشْرِينَ رَكْعَة وَالْوِتْرَ " فَإِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ ، وَقَدْ عَارَضَهُ حَدِيثُ عَائِشَة هَذَا الَّذِي فِي الصَّحِيحَيْن

“Dan ada pun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dari hadits Ibnu Abbas, “Bahwa dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan ditambah witir” maka sanadnya dha’if, dan telah bertentangan dengan hadits dari ‘Aisyah yang terdapat dalam shahihain (Bukhari dan Muslim).” (Fathul Bari, 4/253) Imam Al Haitsami juga mengatakan: Dhaif. Lihat Majma’ Az Zawaid, 3/ 172)

Demikian keadaan shalat Tarawih pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih hidup.

Tarawih Pada masa Sahabat Radhiallahu ‘Anhum dan generasi setelahnya

Pada masa sahabat, khususnya sejak masa khalifah Umar bin Al Khathab Radhilallahu ‘Anhu dan seterusnya, manusia saat itu melaksanakan shalat tarawih dua puluh rakaat.

وصح أن الناس كانوا يصلون على عهد عمر وعثمان وعلي عشرين ركعة، وهو رأي جمهور الفقهاء من الحنفية والحنابلة وداود، قال الترمذي: وأكثر أهل العلم على ما روي عن عمر وعلي وغيرهما من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم عشرين ركعة، وهو قول الثوري وابن المبارك والشافعي، وقال: هكذا أدركت الناس بمكة يصلون عشرين ركعة

“Dan telah shah, bahwa manusia shalat pada masa Umar, Utsman, dan Ali sebanyak 20 rakaat, dan itulah pendapat jumhur (mayoritas) ahli fiqih dari kalangan Hanafi, Hambali, dan Daud. Berkata At Tirmidzi: ‘Kebanyakan ulama berpendapat seperti yang diriwayatkan dari Umar dan Ali, dan selain keduanya dari kalangan sahabat nabi yakni sebanyak 20 rakaat. Itulah pendapat Ats Tsauri, Ibnul Mubarak. Berkata Asy Syafi’i: “Demikianlah, aku melihat manusia di Mekkah mereka shalat 20 rakaat.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/206

Imam Ibnu Hajar menyebutkan:

وَعَنْ يَزِيد بْن رُومَانَ قَالَ " كَانَ النَّاس يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَر بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ " وَرَوَى مُحَمَّد بْن نَصْر مِنْ طَرِيق عَطَاء قَالَ " أَدْرَكْتهمْ فِي رَمَضَان يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَة وَثَلَاثَ رَكَعَاتِ الْوِتْر "

“Dari Yazid bin Ruman, dia berkata: “Dahulu manusia pada zaman Umar melakukan 23 rakaat.” Dan Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari Atha’, dia berkata: “Aku berjumpa dengan mereka pada bulan Ramadhan, mereka shalat 20 rakaat dan tiga rakaat witir.”(Fathul Bari, 4/253)

Beliau melanjutkan:

وَرَوَى مُحَمَّد اِبْن نَصْر مِنْ طَرِيق دَاوُدَ بْن قَيْس قَالَ " أَدْرَكْت النَّاس فِي إِمَارَة أَبَانَ بْن عُثْمَان وَعُمْر بْن عَبْد الْعَزِيز - يَعْنِي بِالْمَدِينَةِ - يَقُومُونَ بِسِتٍّ وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثٍ " وَقَالَ مَالِك هُوَ الْأَمْرُ الْقَدِيمُ عِنْدَنَا . وَعَنْ الزَّعْفَرَانِيِّ عَنْ الشَّافِعِيِّ " رَأَيْت النَّاس يَقُومُونَ بِالْمَدِينَةِ بِتِسْعٍ وَثَلَاثِينَ وَبِمَكَّة بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ ، وَلَيْسَ فِي شَيْء مِنْ ذَلِكَ ضِيقٌ "

Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari jalur Daud bin Qais, dia berkata: “Aku menjumpai manusia pada masa pemerintahan Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz –yakni di Madinah- mereka shalat 39 rakaat dan ditambah witir tiga rakaat.” Imam Malik berkata,”Menurut saya itu adalah perkara yang sudah lama.” Dari Az Za’farani, dari Asy Syafi’i: “Aku melihat manusia shalat di Madinah 39 rakaat, dan 23 di Mekkah, dan ini adalah masalah yang lapang.” (Ibid)

Sementara itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika mengomentari tarawih-nya Ubay bin Ka’ab yang 20 rakaat, beliau berkata:

فَرَأَى كَثِيرٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ أَنَّ ذَلِكَ هُوَ السُّنَّةُ ؛ لِأَنَّهُ أَقَامَهُ بَيْن الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَلَمْ يُنْكِرْهُ مُنْكِرٌ . وَاسْتَحَبَّ آخَرُونَ : تِسْعَةً وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً ؛ بِنَاءً عَلَى أَنَّهُ عَمَلُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ الْقَدِيمِ .

“Kebanyakan ulama berpendapat bahwa itu adalah sunah, karena itu ditegakkan di antara kaum Muhajirin dan Anshar dan tidak ada yang mengingkarinya. Sedangkan ulama lainnya menyunnahkan 39 rakaat, lantaran itu adalah perbuatan penduduk Madinah yang telah lampau.” (Majmu’ Al Fatawa, 23/112)

Lalu, yang lebih baik dari semua ini? Imam Ibnu Taimiyah berkata:

وَالصَّوَابُ أَنَّ ذَلِكَ جَمِيعَهُ حَسَنٌ كَمَا قَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ الْإِمَامُ أَحْمَد رَضِيَ اللَّهُ عَنْه

“Yang benar adalah bahwa itu semua adalah baik, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam Ahmad Radhiallahu ‘Anhu.” (Ibid). Semoga Allah merahmati Imam IbnuTaimiyah.

Telah masyhur dalam madzhab Imam Malik adalah 39 rakaat, demikian keterangannya:

وذهب مالك الى أن عددها ست وثلاثون ركعة غير الوتر.
قال الزرقاني: وذكر ابن حبان أن التراويح كانت أولا إحدى عشرة ركعة، وكانوا يطيلون القراءة فثقل عليهم فخففوا القراءة وزادوا في عدد الركعات فكانوا يصلون عشرين ركعة غير الشفع والوتر بقراءة متوسطة، ثم خففوا القراءة وجعلوا الركعات ستا وثلاثين غير الشفع والوتر، ومضى الامر على ذلك.

“Dan madzhab Imam Malik adalah 39 rakaat belum termasuk witir. Berkata Imam Az Zarqani: ‘Ibnu Hibban menyebutkan bahwa shalat Tarawih dahulunya adalah sebelas rakaat, mereka membaca surat yang panjang dan itu memberatkan bagi mereka, lalu mereka meringankan bacaan namun menambah rakaat, maka mereka shalat 20 rakaat belum termasuk witir dengan bacaan yang sedang-sedang, kemudian mereka meringankan lagi bacaannya dan rakaatnya menjadi 39 rakaat belum termasuk witir, dan perkara ini telah berlangsung sejak lama.”(Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/206, cat kaki no. 2)

Jadi, para imam ini, tidak mempermasalahkan banyak sedikitnya rakaat. Namun mereka melihat pada esensinya yakni ketenangan dan kekhusyu’an. Jika mereka ingin membaca surat yang panjang, mereka menyedikitkan jumlah rakaat, jika mereka memendekkan bacaan, maka mereka memperbanyak jumlah rakaat.

Berkata Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu:

إِنْ أَطَالُوا الْقِيَامَ وَأَقَلُّوا السُّجُودَ فَحَسَنٌ ، وَإِنْ أَكْثَرُوا السُّجُود وَأَخَفُّوا الْقِرَاءَةَ فَحَسَنٌ ، وَالْأَوَّل أَحَبُّ إِلَيَّ

“Sesungguhnya mereka memanjangkan berdiri dan menyedikitkan sujud maka itu baik, dan jika mereka memperbanyak sujud dan meringankan bacaan, maka itu juga baik, dan yang pertama lebih aku sukai.” (Fathul Bari, 4/253)

Demikianlah pandangan bijak para imam kaum muslimin tentang perbedaan jumlah rakaat tarawih, mereka memandangnya bukan suatu hal yang saling bertentangan. Tetapi, semuanya benar dan baik, dan yang terpenting adalah mana yang paling dekat membawa kekhusyuan dan ketenangan bagi manusianya.

9. Menjauhi perbuatan yang merusak puasa

Perbuatan seperti menggunjing (ghibah), adu domba (namimah), menuruti syahwat (rafats), berjudi, dan berbagai perbuatan fasik lainnya, mesti dijauhi sejauh-jauhnya agar shaum kita tidak sia-sia.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ

Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar saja. (HR. Ahmad No. 9685, Ibnu Majah No. 1690, Ad Darimi No. 2720)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 9685), Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: hadits ini shahih. (Sunan Ad Darimi No. 2720. Cet. 1, 1407H. Darul Kitab Al ‘Arabi, Beirut)

Sekian. Wallahu A’lam

Pendaftaran Santri Baru PM Insan al-Muwahhid Purwokerto

SELAMAT DATANG SANTRI BARU TAHUN 2021/2022

 SELAMAT DATANG CALON SANTRI BARU PESANTREN INSAN AL-MUWAHHID PURWOKERTO Ayo daftar sekarang juga tinggal klik 👉 http://bit.ly/PSBAlmuwahhi...