Thursday, October 4, 2012

Implementasi Metode Inkuiri dalam Pembelajaran Membaca al-Qur'an


IMPLEMENTASI METODE INKUIRI
DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA AL-QUR’AN
Oleh: Wenny Nurul ‘Aini*
(Isteri Tarqum Aziz, SHI)

 A.    Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an sebagai salah-satu di antara dua kekuatan sumber Islam (sebelum hadits) oleh seorang pemikir kontemporer asal Pakistan yang bernama Fazlurrahman (1996: 1), dianggap sebagai dokumen untuk manusia. Hal ini dikarenakan al-Qur’an bukan hanya memuat kandungan hukum normatif dan sejarah an-sich, tetapi lebih jauh di dalamnya juga memuat berbagai konsep-konsep kehidupan, salah-satunya menyentuh tentang ilmu pengetahuan.
Asumsi Islam sebagai pengangkis umat dari kehidupan yang gelap ke arah kehidupan yang bercahaya merupakan lukisan konkret tentang pemaknaan tertinggi kedatangan Islam. Rasulullah yang dalam hal ini bertindak sebagai penerima al-Qur’an, berperan untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk tersebut yaitu menyucikan dan mengajarkan manusia. Menurut Quraish Shihab (1996: 172), konsep al-Qur’an tentang menyucikan di sini dapat diidentikkan dengan mendidik, sedangkan mengajar tidak lain kecuali mengisi anak didik dengan pengatahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta fisika.
Kedua diktum yang diproklamirkan oleh al-Qur’an adalah untuk menyucikan dan mengajarkan kitab Allah kepada umat manusia. Oleh karena itu, tugas utama yang harus diperankan oleh seorang guru adalah mentransformasikan ilmu pengatahuan kepada anak didik. Hal ini mengingat sebagian besar waktu dalam kehidupan siswa di sekolah adalah bersama guru, sehingga dalam konteks ini tidak mengherankan jika tuntutan kapabilitas, profesionalitas, kompetensi dan kemapanan serta kesiapan secara personal (life skill personality) menjadi suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk diaplikasikan..
Hasil penelitian tokoh pendidikan dari USA, John Goodlad menunjukkan bahwa peran guru amat signifikan bagi setiap keberhasilan proses pembelajaran dan prestasi mereka (Trianto, 2005: 36). Pendapat ini jelas dapat diterima karena ketika para guru telah memasuki ruang kelas dan menutup pintu kelas, maka kualitas pembelajaran akan lebih banyak ditentukan oleh para guru. Alsan tersebut pun sangat logis karena ketika proses pembelajaran berlangsung, guru dapat melakukan apa saja di kelas. Ia dapat tampil sebagai sosok yang menarik siswa sehingga perannya dapat menebarkan motivasi prestasi.
Pada hakikatnya, dalam proses interaksi belajar mengajar, guru adalah sosok yang memegang peranan penting dalam memberikan pelajaran dan siswa adalah anak yang menerima pelajaran. Oleh karena itu, kegiatan dalam mentransfer pengetahuan kepada siswa diperlukan pengetahuan atau kecakapan atau keterampilan sebagai guru. Tanpa ini semua, tidak mungkin proses interaksi belajar mengajar dapat berjalan secara kondusif dan profesional. Disinilah posisi idealisme kompetensi (kemampuan) guru mutlak diperlukan dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, sebagaimana ungkapan dalam kitab al-Tarbiyatu wa al-Ta’lim yang berbunyi:
فَالتَّرْ بِيَةُ بِاْلمَعْنَ اْلعَامِ هِىَ كُلُّ مُؤَ ثِّرٍ فىِ تَكْوِيْنِ الشَخْصِ الجَسْمَانِىِّ وَاْلجَسْمَانىِ وَاْلخُلُقِىَّ مِنْ حَيْنَ وِلاَدَتِهِ إِلىَ مَوْتِهِ, وَتَشْمِلُ جَمِيْعُ الْعَوَامِلِ سَوَاءٌ أَكَانَتْ مَقْصُوْدَةٌ كَالتَرْ بِيَةِ وَاْلمَتْرِلِيَّةِ وَاْلمَدْرَسِيَّةِ, اَمْ غَيْرُمَقْصُوْدَةٌ كَالتَرْبِيَةِ الَّتِى تَجِيْئُ عَرْضًاوَمَنْ تَأ ثِيْرِ البِيْئَةِ الطَبِيْعِيَّةَ وَاْلاِجْتِمَاعِيَّةِ وَغَيْرِذَلِكَ        

Guru adalah sosok arsitektur yang dapat membentuk dan membangun kepribadian anak didik menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Tugas guru tidak hanya berputar dalam skop sebagai tenaga profesi yaitu mendidik (mentransfer nilai-nilai hidup), mengajar (mengembangkan disiplin ilmu pengetahuan) dan melatih (mengembangkan keterampilan), tetapi juga sebagai tugas kemanusiaan dan kemasyarakatan yang ikut proaktif terhadap kebutuhan masyarakat, bangsa dan agama (Djamarah, 2008: 37). Sedangkan ruh sebuah lembaga pendidikan adalah kualitas proses belajar-mengajar yang diciptakan dan kualitas produks yang dihasilkan. Sebuah upaya membangun lembaga pendidikan yang efektif dan bonavid, apapun bentuknya, menjadi tidak bermakna bila tidak diikuti dengan upaya menciptakan suasana belajar yang kondusif bagi setiap siswa. Sebab suasana kundusif itu-lah merupakan bagian dari embrio pendidikan yang akan berakibat pada prestasi belajar.
Guru adalah semua orang yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap pendidikan siswa, baik secara individual atau-pun kolektif-klasikal, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Semua ini berarti memberi penegasan bahwa seorang guru minimal memiliki dasar-dasar kompetensi (kecakapan) sebagai wewenang dan kemampuan dalam menjalankan tugas (Djamarah, 2000: 33). Guru adalah ujung tombak kegiatan pengajaran di sekolah yang langsung berhadapan dengan peserta didik. Tanpa adanya peranan guru maka kegiatan belajar mengajar tidak bisa berjalan dengan semestinya. Dengan demikian, keberhasilan suatu pembelajaran berakar kuat pada proses substansial bagaimana metode dan model pembelajaran yang dikembangkan sehingga mampu menghasilkan sesuatu yang menakjubkan, terutama dalam mencapai target kunci membangun manusia yang seutuhnya.
Tugas utama guru adalah membelajarkan siswa, yaitu mengkondisikan siswa agar belajar aktif sehingga potensi dirinya (kognitif, afektif, dan konatif) dapat berkembang dengan maksimal. Dengan belajar aktif, melalui partisipasi dalam setiap kegiatan pembelajaran, akan terlatih dan terbentuk kompetensi yaitu kemampuan siswa untuk melakukan sesuatu yang sifatnya positif yang pada akhirnya akan membentuk life skill sebagai bekal hidup dan penghidupannya. Agar hal tersebut di atas dapat terwujud, guru semestinya mengetahui bagaimana cara siswa belajar dan menguasai berbagai cara membelajarkan siswa. Inilah yang menjadi eksistensi guru profesional dibutuhkan untuk melakukan sebuah terobosan baru bagi proses pembelajaran siswa.
Statemen di atas selaras dengan ungkapan Syaikh Az-Zarnujiy dalam kitabnya Ta'limul Muta'alim yang menyatakan:

وَأَمَّا اخْتِيَا رُاْلأُسْتَاذِ، فَيَنْبَغِى أَنْ يَخْتَارَاْلأَ عْلَمَ وَاْلأَوْرَعَ وَاْلأَسَنَّ، كَامَا اخْتَارَأَبُوْ حَنِيْفَةَ حِيْنَئِذٍ حَمَّادَبْنَ أَبِى سُلَيْمَانَ بَعْدَ التَّأَمُّلِ وَالتَّفَكُّرِ

Seorang guru seharusnya memiliki pemahaman-pemahaman yang dalam tentang pengajaran. Mengajar bukanlah kegiatan yang mudah melainkan suatu kegiatan dan tugas yang berat dan penuh dengan permasalahan. Kemampuan dan kecakapan sangat dituntut bagi seorang guru. Oleh karenanya, seorang guru harus memiliki kecakapan dan keahlian tentang keguruan. Kemampuan dan kecakapan merupakan modal dasar bagi seorang guru dalam melakukan kegiatan atau tugasnya. Mengajar adalah membimbing kegiatan siswa, mengatur dan mengorganisasikan lingkungan yang ada disekitar siswa sehingga dapat mendorong dan menumbuhkan semangat siswa untuk melakukan kegiatan belajar, terutama sekali untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam.
Salah satu aspek pendidikan Agama yang kurang mendapatkan perhatian adalah pendidikan membaca al-Qur’an. Pada umumnya orang tua lebih menitik beratkan pada pendidikan umum sehingga banyak anak muslim yang belum bisa membaca dan menulis al-Qur’an. Sebagai langkah awal adalah meletakkan dasar agama yang kuat pada anak sebagai persiapan untuk mengarungi hidup dan kehidupannya kelak
Mengajar adalah tugas yang begitu kompleks dan maha sulit, terutama sekali untuk guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang memfokuskan pada pemahaman tentang membaca al-Qur’an secara baik dan benar, sehingga tidak dapat dilakukan dengan baik oleh seorang guru tanpa persiapan. Perencanaan pengajaran, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dan kegiatan evaluasi pengajaran merupakan serangkaian kegiatan dalam mengelola pembelajaran yang dikuasai dan dimiliki oleh seorang guru merupakan bagian dari kompetisi guru itu sendiri.
Kompetensi dalam proses interaksi belajar mengajar dapat pula menjadi alat motivasi ekstrinsik, guna memberikan dorongan dari luar diri siswa. Oleh karena itu, membaca al-Qur’an perlu diajarkan di sekolah-sekolah umum, mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Lanjutan Atas mengingat masih banyak para siswa di sekolah umum yang belum bisa baca tulis al-Qur’an. Dengan demikian, setiap sekolah umum perlu memasukan pelajaran membaca al-Qur’an dalam mata pelajaran secara khusus.
Berpijak dari berlangsungsungya proses belajar-mengajar Pendidikan Agama Islam, khususnya membaca al-Qur’an sebagaimana telah disebutkan di atas, maka sangat diperlukan suatu metode yang dapat memberdayakan siswa. salah satunya adalah metode inkuiri.

B.     Implementasi Metode Inkuiri

Metode inkuiri adalah “metode belajar yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif menguji dan menafsirkan problema secara saintifik yang memberikan konklusi berdasarkan pembuktian. Menurut Roestiyah ( 2008: 75), metode inkuiri adalah istilah dari bahasa Inggris inquiry yang berarti suatu teknik atau cara yang digunakan guru untuk mengajar di depan kelas dimana dalam pelaksanaannya siswa dibagi menjadi beberapa kelompok dan masing-masing kelompok mendapat tugas tertentu yang harus dikerjakan. Dengan demikian, metode inkuiri dapat mendorong dan mengarahkan siswa untuk melibatkan diri secara aktif dalam proses belajar-mengajar dengan melakukan berbagai kegiatan belajar. Kegiatan tersebut dapat berupa mengumpulkan data melalui pengamatan, memberikan hipotesa, mencatat dan menafsirkan data serta mengambil kesimpulan. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri.
Pada metode inkuiri, guru hanya menampilkan faktor atau kejadian atau demonstrasi. Siswa berusaha mengumpulkan informasi dan mencari sendiri dari buku, teks, dokumen, data statistik, publikasi dan sebagainya. Mengajar bukan sekedar ceramah dan berdiri di depan kelas, akan tetapi bagaimana teknik dan strategi guru dalam mengkomunikasikan pesan/materi pengajaran, berinteraksi, mengorganisir dan mengelola siswa sehingga dapat berhasil dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Salah-satu kunci keberhasilan suatu proses pembelajaran adalah bilamana guru memiliki dan menguasai metodologi pengajaran secara baik. Oleh karenanya, dalam sub bab ini penulis akan menguraikan tentang langkah-langkah dan proses aplikatif metode inkuiri sebagaimana dijabarkan oleh Suryobroto (1990: 46-47) berikut ini:
1.                                                                   Mengidentifikasi kebutuhan siswa.
2.      Menyeleksi pendahuluan terhdap prinsip-prinsip, pengertian konsep dan generalisasi yang akan dipelajari.
3.      Menyeleksi bahan dan problem.
4.      Membantu memperjelas tugas atau problem yang akan dipelajari dan peranan-peranan masing-masing siswa.
5.      Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan.
6.      Mengecek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan tugas-tugas siswa.
7.      Memberi kesempatan pada siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan tugas-tugas siswa.
8.      Memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan penemuan.
9.      Membantu siswa dengan informasi data jika diperlukan oleh siswa.
10.  Memimpin analisa sendiri (self analiysis) dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi proses.
11.  Merangsang terjadinya interaksi antar siswa dengan siswa yang lain.
12.  Memuji dan membesarkan siswa yang aktif dan giat dalam penemuan.
13.  Membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi atas hasil penemuannya.

Berpijak dari teori di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa untuk mengaplikasikan metode inkuiri membutuhkan beberapa langkah yang harus dipersiapkan oleh guru agar proses belajar mengajar dapat berjalan secara efektif-efesien, optimal dan totalitas. Adapun langkah-langkah tersebut yang sudah dijabarkan di atas, menurut penulis yang paling urgen adalah obsevasi, bertanya, mengajukan dugaan atau hipotesis, mengumpulkan data dan yang terakhir adalah menyimpulkan atau membrikan konklusi.
Pendekatan inkuiri dalam mengajar mencakup pendekatan modern yang sangat didambakan untuk dilaksanakan di setiap sekolah. Adanya tuduhan bahwa sekolah menciptakan “kultur bisu” tidak akan terjadi apabila pendekatan ini digunakan. Pendekatan inkuiri dapat dilaksanakan apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.    guru harus terampil memilih persoalan yang relevan untuk diajukan kepada kelas (persoalan besumber dari bahan pelajaran yang menantang siswa atau yang problematis) dan sesuai dengan daya nalar siswa;
b.    guru harus terampil menumbuhkan motivasi belajar siswa dan menciptakan situasi belajar yang menyenangkan;
c.    adanya fasilitas dan sumber belajar yang cukup;
d.   adanya kebebasan siswa untuk berpendapat, berkarya, berdiskusi;
e.    partisipasi setiap siswa dalam setiap kegiatan belajar; dan
f.     guru tidak banyak intervensi terhadap kegiatan siswa (Nana Sudjana, 1995: 74).

Pembelajaran inkuiri merupakan pengajaran dimana guru dan siswa menpelajari gejala-gejal ilmiah dengan pendekatan dan jiwa ilmuwan. Dengan demikian, metode inkuiri menuntut siswa untuk mengembangkan aktivitasnya sendiri baik secara berkelompok atau secara sendiri-sendiri tergantung pada setting yang ditentukan sebelumnya.
Keberhasilan suatu apapun adalah tergantung pada metode yang digunakan. Sebab jika metode yang digunakan tidak realibel dan aplikatif, maka apa saja yang kita harapkan tidak akan berhasil. Demikian pula halnya dengan proses belajar mengajar yang dalam hal ini bagaimana dan metode apa yang digunakan serta bagaimana pula metode tersebut digunakan oleh guru dalam proses belajar mengajar.
Adapun peranan guru ketika menggunakan metode inkuiri adalah sebagai berikut:
a.                                                                                Guru sebagai Fasilitator
Tugas guru sebagai fasilitator adalah dituntut untuk mempunyai kapabilitas dalam mengupayakan fasilitas sumber pelajaran yang akan diterapkan untuk dijadikan bahan motivasi dalam mencapai tujuan proses belajar mengajar yang baik dalam bentuk keynote speaker, buku, majalah, koran dan lain sebagainya. Demikian pula, tugas guru sebagai fasilitator dalam metode inkuiri adalah menyiapkan tugas atau problem yang akan dipecahkan oleh siswa, memberikan klarifikasi-klarifikasi, menyiapkan setting kelas, menyiapkan alat-alat dan fasilitas belajar yang diperlukan, memberikan kesempatan pelaksanaan, sumber informasi jika diperlukan dan membantu siswa agar dapat sendiri merumuskan kesimpulan dan implikasi-implikasinya.
b.                                                                               Guru sebagai Dinamisator
Adapun tugas guru sebagai dinamisator dalam metode inkuiri adalah merangsang terjadinya self analysis, merangsang terjadinya interaksi, memuji dan membesarkan hari siswa untuk lebih bergairah dalam kegiatan-kegiatannya. Hal ini sejalan dengan ungkapan Sahad (1987: 14) yang menyatakan:
Teacher are responsible for guiding, moulding and improving the career of the community. They are like torch-light in darkness. As the earth derives tight and energy from the sun, similiarly the pupils receive knowledge and guidence from their teacher. The teacher are like the moon and the students are just like the star so the seekers of  knowledge and the learned teacher accupy on exceptionally prominent place in society

Variasi-variasi metode yang dapat diterapkan dalam proses belajar al- Qur’an dirumuskan sebagai berikut:
  1. Menggunakan buku pada saat klasikal peraga
Murid dengan gaya belajar visual membutuhkan visualisasi tulisan yang jelas dan terjangkau. Guru memberikan toleransi bagi murid dengan gaya belajar visual untuk melihat tulisan di buku pada saat klasikal. Ini akan mempermudah murid untuk mengakses tulisan dengan baik, jika visualisasi pada alat peraga kurang memadai. Langkah ini bisa diterapkan untuk murid yang kesulitan membaca dengan alat peraga karena faktor tulisan kecil atau jauh.
  1. Pengulangan
Murid dengan gaya belajar auditori membutuhkan suara bacaan yang jelas dan terjangkau. Maka guru dapat melakukan pengulangan-pengulangan pada Teknik 1 jika membaca kalimat-kalimat yang panjang dan kompleks, dengan catatan tetap memperhatikan manajemen waktu. Pengulangan dapat dilakukan oleh guru atau oleh murid yang menguasai bacaan dengan baik untuk memotivasi murid yang lain. Pengulangan juga berfungsi untuk membantu murid memahami konsep yang sedang dipelajari.
  1.  Pelibatan Murid.
Murid dengan gaya belajar kinestetik membutuhkan banyak gerak dalam belajar. Guru dapat mengatasinya dengan melibatkan murid dalam penggunaan alat peraga. Mintalah salah satu murid untuk maju ke depan dan menunjuk tulisan pada alat peraga pada saat klasikal dengan Teknik 1 dan 2. Pelibatan murid ini dapat dilakukan secara bergantian terutama pada murid yang cenderung moving atau banyak gerak. Cara ini juga dapat diterapkan untuk mengatasi anak yang mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian pada saat klasikal.
  1. Penggabungan metode klasikal baca simak
Pada kondisi tertentu dimana murid menghadapi konsep bacaan yang sulit, kalimat yang kompleks dan panjang, murid mengalami kebosanan atau kelelahan sehingga hilang konsentrasi. Kondisi ini dapat diatasi dengan menggabungkan metode klasikal dan metode baca simak. Jika pada saat menerapkan metode baca simak dengan buku banyak murid yang mengalami kesulitan membaca, tersendat, dan hilang konsentrasi, maka guru segera mengambil langkah. Caranya dengan kembali memusatkan perhatian murid pada alat peraga. Tujuannya adalah untuk lebih memahamkan konsep, dan mengetahui dimana letak kesulitan yang dialami.
Penggabungan klasikal peraga dengan baca simak yaitu murid membaca kalimat, murid yang lain mendengarkan, kemudian jika ada kesalahan dikoreksi, lakukan pengulangan konsep secara singkat. Kemudian guru dan murid membaca bersama-sama kalimat tersebut. Murid kedua membaca kalimat berikutnya, murid yang lain mendengarkan, kemudian guru dan murid membaca bersama-sama kalimat tersebut, dan seterusnya sampai semua kalimat di halaman peraga terbaca.

C.    Kesimpulan

Guru yang profesional tidak hanya menguasai sejumlah materi pembelajaran, namun penguasaan pendekatan dan metode  pembelajaran yang tepat dan sesuai mutlak diperlukan. Untuk itu perlu kiranya para guru mampu menggunakan pendekatan dan metode yang tepat agar pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
Metode inkuiri adalah “metode belajar yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif menguji dan menafsirkan problema secara saintifik yang memberikan konklusi berdasarkan pembuktian”. Metode inkuiri yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah metode yang mendorong dan mengarahkan siswa untuk melibatkan diri secara aktif dalam proses belajar-mengajar dengan melakukan berbagai kegiatan belajar.
Kegiatan tersebut dapat berupa mengumpulkan data melalui pengamatan, memberikan hipotesa, mencatat dan menafsirkan data serta mengambil kesimpulan. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Oleh karena itu, seorang guru dalam pembelajaran membaca al-Qur’an dengan inkuiri semestinya memiki pendekatan konsep.
Pendekatran konsep merupakan model, di mana siswa dibimbing memahami suatu bahasan dengan memahami konsep-konsep yang terkandung didalamnya. Dalam proses pembelajaran tersebut penguasaan konsep dan subkonsep yang menjadi sasaran utama pembelajaran. Pendekatan ini kurang memperhatikan aspek student centre. Guru terlalu dominan dan siswa membimbing untuk memahami konsep. Hal ini selaras dengan pendekatan inkuiri yang membelajarkan siswa untuk mengendalikan situasi yang dihadapi ketika berhubungan dengan dunia fisik, yaitu dengan menggunakan teknik yang digunakan oleh para ahli penelitian. Pendekatan inkuiri berarti guru merencanakan situasi sedemikian rupa sehingga siswa didorong untuk menggunakan prosedur yang digunakan para ahli penelitian untuk mengenal masalah, mengajukan pertanyaan, mengemukakan langkah-langkah penelitian, memberikan pemaparan yang ajeg, membuat ramalan, dan penjelasan yang menunjang pengalaman.

* Wenny Nurul ‘Aini, S. Pd. I adalah alumni Pendidikan Agama Islam, Tarbiyah STAIN Purwokerto, sekarang mengabdi di SMP Islam al-Irsyad Gandrungmangu sebagai guru Pendidikan Agama Islam.

DAFTAR PUSTAKA
 

Az-Zarnujiy, Syaikh. t.t. Ta'limul Muta'alim. Semarang: Pustaka Utama.

Depag RI. 2003. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: Toha Putra.

Djamarah, Syaiful Bahri. 2000. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif.  Jakarta: Rineka Cipta.

_____________________ 2008. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Fazlurrahman. 1996. Tema Pokok Al-Qur’an. Bandung: Pustaka.

Qasim Bakr, Muhammad. t. t.  al-Tarbiyatu wa al-Ta’lim. Surabaya: Maktabah al-Hidayah.

Quraish Shihab, M. 1996. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.

Roestiyah. 2008. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Sahad A.R. 1987. The Rights of Allah and Human Rights. India: Syah Offset Printer.

Sudjana, Nana. 1995. Cara Belajar Siswa Akitif dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru.

Suryobroto. 1990. Metode Pengajaran di Sekolah. Yogyakarta: Amarta.

Trianto. “Profesionalitas Guru Masa Depan”, dalam Majalah Mimbar Pembangunan Agama,. No. 223, April 2005.






Strategi Dakwah Kultural Muhammadiyah


STRATEGI DAKWAH KULTURAL MUHAMMADIYAH

Oleh: Tarqum Aziz, SHI
(Anggota PDPM Banyumas)

Islam adalah agama dakwah yaitu agama yang mengajak dan memerintahkan umatnya untuk selalu menyebarkan dan menyiarkan ajaran Islam kepada seluruh umat manusia. Oleh karena itu, dakwah, baik sebagai konsep maupun sebagai aktivitas, telah memasuki seluruh wilayah dan ruang lingkup kehidupan manusia. Seluruh aspek kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari sudut pandang dakwah.
Dakwah, baik sebagai gagasan maupun sebagai kegiatan, sangat terkait dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh untuk mengerjakan kebaikan dan kebajikan dan melarang atau mencegah untuk melakukan keburukan atau kemungkaran). Kebaikan dan keburukan selalu ada dalam kehidupan kita dan tampil sebagai suatu keadaan atau kekuatan yang berlawanan.
Dakwah merupakan salah satu tugas dan kewajiban yang harus dilakukan oleh umat Islam, sebagaimana perintah Allah dalam surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi:
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyuruh kepada kebajikan dan mengajak kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Ayat ini mengandung makna agar setiap muslim berusaha menyatukan diri dalam gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar untuk membebaskan diri dari kebodohan, kesengsaraan dan kemelaratan. Atas dasar seruan ayat tersebut, K.H. Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk mendirikan sebuah persyarikatan Muhammadiyah dengan tugas khidmat melaksanakan misi dakwah amar makruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat luas.
Muhammadiyah adalah organisasi yang lahir sebagai alternatif berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam Indonesia sekitar akhir abad 19 dan awal abad 20. Muhammadiyah merupakan konsekwensi logis munculnya pertanyaan-pertanyaan sederhana seorang muslim kepada diri dan masyarakatnya tentang bagaimana memahami dan mengamalkan kebenaran Islam yang telah diimani sehingga pesan global Islam yaitu rahmatan lil alamin atau kesejahteraan bagi seluruh kehidupan dapat mewujud dalam kehidupan objektif umat manusia.
Sejak kehadirannya di tengah-tengah panggung sejarah, Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang nyata bagi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia. Peran dan partisipasi Muhammadiyah disebut dengan amal usaha Muhammadiyah memang merupakan hal yang fundamental bagi gerakan tersebut apalagi jika ditinjau dari latar belakang kehadirannya. Partisipasi itu dijalankan dengan berbagai cara dan bentuk, sejak gerakan itu lahir dan berlangsung hingga kini, memang diakui oleh banyak pihak.
Dakwah Rasulullah Muhammad menggunakan strategi; pendekatan personal, pendekatan pendidikan, pendekatan penawaran, pendekatan missi, pendekatan korespondensi, dan pendekatan diskusi. Strategi dakwah Rasulullah tersebut ternyata telah menunjukkan keberhasilan, salah satu indikasinya adalah dalam masa tugas kerasulan yang kurang dari dua puluh tiga tahun, orang yang masuk Islam tidak kurang dari 114.000 orang. Sekurang-kurangnya ada dua faktor yang sangat menentukan dalam dakwah beliau; pertama, adanya konsistensi Nabi dengan kode etika dakwah, yang antara lain; tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan, tidak mencerca sesembahan lawan, tidak melakukan kompromi dalam hal agama, dan tidak meminta imbalan. Kedua, adanya keteladanan yang beliau berikan pada para sahabat (Ali Mustafa Yaqub, 2000: 94-95). Demikian juga dalam strategi dakwah, ada dua macam strategi; bi-alqaul (bi-al-ihsan) dan bi-al-af’al, (termasuk bi al-khitabah atau bi-al-a’mal).
Penjabaran dari kedua kegiatan itu melahirkan empat ragam kegiatan dakwah, yakni; pertama, tabligh dan ta’lim; kedua, irsyad; ketiga, tathwir, dan keempat tadbir. Tabligh dan ta’lim dilakukan dalam pencerdasan dan pencerahan masyarakat melalui kegiatan pokok; sosialisasi, internalisasi, dan eksternalisasi nilai ajaran Islam, dengan menggunakan sarana mimbar, media massa cetak dan audia visual. Irsyad, dilakukan dalam rangka pemecahan masalah psikologis, melalui kegiatan pokok; bimbingan penyuluhan pribadi dan bimbingan penyuluhan keluarga, baik secara prefentif maupun kuratif. Tadbir (manajemen pembangunan masyarakat), dilakukan dalam rangka perekayasaan dan pemberdayaan masyarakat dalam kehidupan yang lebih baik, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pranata sosial keagamaan, serta menumbuhkan serta mengembangkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Tathwir (pengembangan masyarakat), dilakukan dalam rangka meningkatkan sosial budaya masyarakat, yang dilakukan dengan kegiatan pokok; pentransformasian dan pelembagaan nilai-nilai ajaran Islam dalam realitas kehidupan umat, yang menyangkut kemanusiaan, seni budaya, dan kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, tathwir berkaitan dengan kegiatan dakwah melalui strategi sosial budaya, atau dakwah kultural (Asep Muhyiddin, 2002: 34-35).
Atas dasar ini dapat difahami, kalau apa yang semula merupakan gagasan dan pokok-pokok pikiran pribadi K.H. Ahmad Dahlan itu kemudian diintegrasikan menjadi gagasan dan pokok-pokok pikiran Muhammadiyah. Tidak dapat disangkal, Muhammadiyah sebagai ormas ke-Islaman, telah banyak memberi sumbangan nyata kepada umat. Tugas dakwah yang dilakukan Muhammadiyah, mulai dari lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, dan lain-lain, yang dapat dirasakan betul manfaatnya oleh masyarakat. Terutama dalam bidang pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, Muhammadiyah mempunyai andil yang cukup besar. Komitmen Muhammadiyah kepada kaum lemah, anak yatim dan fakir miskin juga tidak pernah luntur, ini bisa dilihat dengan adanya rumah sakit dan panti asuhan yang dikelola oleh Muhammadiyah.
Peran Muhammadiyah yang didirikan K.H Ahmad Dahlan dalam dakwah Islam menggunakan strategi yang berpusat pada pembaharuan (tajdid) serta menjaga kemurnian Islam (purifikasi). Dalam rangka kegiatan pembaharuan dan pemurnian itu, selain dengan pemasyarakatan tajdid (dengan menggerakkan telaah ulang atas sistim mazhab dan taklid buta), Muhammadiyah juga mengadakan gerakan pemberantasan TBC (takhyul, bid’ah, dan churafat). Untuk itu, dakwah Muhammadiyah banyak diarahkan untuk memberantas segala hal yang berbau TBC (Weinata Sairin, 2005: 48-50).
Ada dua prinsip dasar yang menjadi acuan dakwah yang dikembangkan pendiri Muhammadiyah, K.H Ahmad Dahlan; pertama, adalah pembebasan, yakni membebaskan manusia dari belenggu kebodohan, dan yang kedua, adalah penghargaan atas harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam upaya untuk membebaskan masyarakat dari kolonialisme asing yang membodohkan, K.H Ahmad Dahlan melakukan lompatan kultural dengan mengadopsi aspek-aspek positif dari budaya asing, seperti mendirikan lembaga pendidikan, panti asuhan, dan balai pengobatan. Sementara itu, untuk membebaskan manusia dari belenggu budaya dan kepercayaan, K.H Ahmad Dahlan mengembangkan pendidikan yang berbasis pada pengembangan akal dan rasionalitas. Sebagai implikasi dari lompatan dakwah yang berbasis pengembangan akal dan rasionalitas itulah K.H Ahmad Dahlan sering dipersepsikan anti budaya lokal (Abdurrahim Ghazali, 2003: 9-11). Dengan dikenalkan dakwah kultural di lingkungan Muhammadiyah mengindikasikan adanya aktualisasi penyikapan atas segala budaya lokal di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah. Organisasi ini semakin menyadari tentang pentingnya budaya local sebagai media dakwah, walaupun mungkin sekarang masih dalam proses memilih, dan memilah dengan ’hati-hati’ berbagai macam budaya lokal agar tidak bertabrakan dengan doktrin-doktrin yang sudah mapan di Muhammadiyah.

A.     Strategi Dakwah Kultural Muhammadiyah
Dakwah kultural adalah; upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas, dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Ciri-ciri dakwah cultural adalah dinamis, kreatif dan inovatif (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2004: 26).
Muhammadiyah yang didirikan KH Ahmad Dahlan, strategi dakwahnya berpusat pada pembaharuan (tajdid) serta menjaga kemurnian Islam (purifikasi). Dalam rangka kegiatan pembaharuan dan pemurnian itu, selain dengan pemasyarakatan tajdid (dengan menggerakkan telaah ulang atas sistim mazhab dan taklid buta), Muhammadiyah juga mengadakan gerakan pemberantasan TBC (takhyul, bid’ah, dan churafat). Untuk itu, dakwah Muhammadiyah banyak diarahkan untuk memberantas segala hal yang berbau TBC.
Dengan datangnya ‘pembaharuan’ dan ‘purifikasi’ yang dibawa Muhammadiyah sudah barang tentu berbenturan dengan faham keagamaan yang sudah lama berkembang di masyarakat yang notabene dalam ‘beberapa amaliah’ sudah mendapatkan pembenaran dari ulama tradisionil. Oleh karena itu, dalam sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar, Bali, tahun 2002, memberikan PR besar bagi warga Muhamamdiyah untuk menerobos wacana baru, yaitu “dakwah kultural”. Wacana ini memang sangat kontraversial di kalangan Muhammadiyah. Namun melalui pengkajian secara intensif oleh beberapa tokoh di kalangan Muhamamdiyah, akhirnya dicapai kata sepakat untuk mengagendakan dakwah kultural ke depan. Pada sidang tanwir Muhammadiyah di Makassar, tahun 2003, telah direkomendasikan dakwah kultural sebagai pendekatan sekaligus metode dalam berdakwah di Muhammadiyah (Mu’arif, 2005: 164-165).
Tegasnya gerakan dakwah kultural ini cenderung mempertanyakan kebenaran statement yang mengatakan bahwa gerakan dakwah dipandang belum sungguh-sungguh memperjuangkan Islam, ketika belum secara terus-menerus memperjuangkan negara berdasarkan syariat Islam. Dakwah kultural mempertanyakan validitas tesis tersebut, apakah benar dakwah umat yang berada di luar kekuasaaan, adalah dakwah yang tidak lengkap, dan sempurna.
Sebagai ormas Islam, Muhammadiyah sangat kental dengan predikat ‘pemurnian’, sehingga kesannya angker, sebab banyak dari warga pedesaan khususnya, merasa segala aktifitas berkesenian dilarang. Muhammadiyah dianggap anti kesenian. Padahal tidak semua kesenian bertentangan dengan ajaran Islam. Menurut Ahmadun Y Herfanda (budayawan dan wartawan), melihat fenomena kebudayaan sekarang ini, Muhammadiyah sebaiknya memiliki strategi yang jitu untuk mengakomodir berbagai budaya yang berkembang dalam masyarakat, sekaligus menyaring seni dan budaya yang sesuai dengan kepribadian dalam Muhammadiyah (Suara Muhammadiyah, 2006: 6-9). Hal itu juga sesuai dengan gagasan ‘dakwah kultural’. Kalau selama ini dakwah Muhamamdiyah terkonsentrasi pada kalangan abangan dan masyarakat perkotaan semata, maka dengan adanya perubahan dan gerak zaman yang begitu cepat, perlu adanya rumusan yang jelas menyangkut segmen pedesaan untuk menjadi sasaran dakwah Muhammadiyah ke depan (Din Syamsuddin, 2005: v).
Untuk mengatasi problematika umat tersebut, maka aktivitas dakwah Muhammadiyah harus difokuskan pada beberapa hal. Pertama, pengentasan kemiskinan. Kedua, persiapan suplai elit muslim ke berbagai jalur kepemimpinan bangsa sesuai dengan skillnya masing-masing. Ketiga, mapping sosial umat sebagai langkah pengembangan dakwah. Keempat, pengintegrasian wawasan etika, estetika, logika, dan budaya dalam berbagai planning dakwah, Kelima, pendirian pusat-pusat studi dan informasi umat secara profesional yang berorientasi pada dinamisasi iptek. Keenam, menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas ekonomi, kesehatan, dan syia’ar Islam. Ketujuh, menjadikan Islam sebagai pelopor yang profetis, humanis, dan transformatif (Usman Jasad, 2004: 38-39). Dengan bahasa lain, dakwah Islam tidak boleh dijadikan obyek dan alat legitimasi bagi pembangunan yang semata-mata bersifat ekonomis-pragmatis (Muhammad Azhar, 2003: 12-13). Langkah-langkah tersebutlah yang akan membawa Islam menjadi sebuah gerakan dakwah yang progresif dan inklusif.
Efektifitas dakwah mempunyai dua strategi yang saling mempengaruhi keberhasilannya. Pertama, peningkatan kualitas keberagamaan dengan berbagai cakupannya seperti di atas, dan kedua, mampu mendorong perubahan sosial. Ini berarti memerlukan pendekatan partisipatif di samping pendekatan kebutuhan. Dakwah bukan lagi menggunakan pendekatan yang hanya direncanakan sepihak oleh pelaku dakwah dan bukan pula hanya pendekatan tradisional, mengutamakan besarnya massa.
Suasana seperti itulah yang membuat dai dan mad’u terlibat diskusi secara dialogis tentang dakwah Islam itu sendiri. Dengan demikian pola pikir antar keduanya dapat disatukan dan dimodifikasikan untuk menjadi pola pikir dan aksi secara konsisten. Pandangan seperti ini sejalan dengan statemen Benedict dalam Theories of Man and Culture (Elvin Hatch, 1973: 29), di mana ia menyatakan:
All thought a culture is the chance accumulation of so many disparate elements for tuitously assembled from all direction by diffusion, the constituent elements a remodified to form a more or less consistent pattern of thought and action. “Semua pikiran adalah suatu kultur akumulasi yang memberi kesempatan sangat banyak bagi unsur-unsur yang berlainan untuk dirakit dari semua arah difusi, unsur-unsur yang konstituen dapat dimodifikasi kembali untuk membentuk suatu contoh pola aksi dan pikiran konsisten yang lebih besar”.

Pada dasarnya semua manusia yang sudah baligh, laki-laki maupun perempuan diperintahkan oleh Allah untuk saling menopang demi terlaksana dan tegaknya amar ma’ruf dan nahi munkar. Penegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar akan menjadi parameter kualitas khaira ummah. Menurut Ibnu Katsir Umat yang terbaik adalah umat yang terbaik bagi manusia dari sisi kemanfaatan mereka (Aunur Rahim Faqih, 2006: 52). Dengan kata lain, kebaikan umat itu hanya ada pada implementasi dakwah yang berwujud amar ma’ruf dan nahi munkar secara konsisten dan berkesinambungan.
Imam Abdullah an-Nasafi (2001: 194) dalam kitabnya Tafsir an-Nasafi menjelaskan mengenai amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai berikut:
اَلْمَعْرُوْفُ مَااسْتَحْسَنَ الشَّرْعُ وَالْعَقْلُ وَالْمُنْكَرُ مَااسْتَقْجَهُ الشَّرْعُ وَالْعَقْلُ، أَوِالْمَعْرُوْفُ مَاوَافَقَ الْكِتَابَ وَالسُّنَةَ. وَالْمُنْكَرُمَاخَالَفَهُمَا، أَوِالْمَعْرُوْفُ الطَّاعَةُ وَالْمُنْكَرُالْمَعَاصِيْ                                     

Al-Ma’ruf adalah apa yang dinyatakan baik oleh syara’ dan akal, sedangkan al-munkar adalah apa yang dinyatakan buruk oleh syara’ dan akal. Bisa juga, al-ma’ruf ialah sesuatu yang bersesuain dengan al-kitab dan as-sunnah, sedangkan al-munkar adalah yang berseberangan dengan keduanya. Atau bisa juga al-ma’ruf adalah ketaatan kepada Allah, sementara al-munkar adalah kemaksiatan kepada-Nya”.

Menurut Zakiyudin Baidawy (www. Islamlib.com), tokoh muda Muhammadiyah, berbeda dari dua model dakwah Muhammadiyah sebelumnya yang anti- TBC, dakwah kultural Muhammadiyah adalah dakwah pro-TBC. Yakni: 1) dakwah yang memanfaatkan dan membangkitkan kemampuan imajinatif (takhayyul) individu dan masyarakat agar kehidupan semakin estetik (indah), holistik, simbolik (dalam arti beradab), dan cerdas; 2) dakwah yang mendorong, memotivasi, dan mengkondisikan individu dan masyarakat untuk mencipta (kreatif) dan menemukan (inovatif) berbagai hal baru (bid’ah) baik dalam ide (pemikiran, wacana, teori dalam Muhammadiyah, dan masyarakat), aktivitas (praksis, gerakan Muhammadiyah), dan bentuk kebudayaan (amal-amal usaha Muhammadiyah); 3) serta dakwah yang mengeksplorasi seluruh kemampuan untuk meredefinisi “mitos” (baca: cita-cita sosial, meminjam istilah Mohammed Arkoun), mereproduksi, bahkan memproduksi mitos baru (khurafat) untuk mambangun citra keberagamaan, keberislaman, dan keber-muhammadiyah-an dalam rangka menuju masyarakat utama.
Untuk itu, dakwah kultural tidak hanya difokuskan pada penyikapan atas budaya lokal, tapi perlu diarahkan pada dakwah pengembangan masyarakat dengan harus memperhatikan beberapa prinsip dasar, yaitu; pertama, orientasi pada kesejahteraan lahir dan batin masyarakat luas. Dakwah tidak hanya sekedar merumuskan keinginan sebagian masyarakat saja, tapi direncanakan sebagai usaha membenahi kehidupan sosial bersama masyarakat, agar penindasan, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan tidak lagi hidup di tengah-tengah mereka. Skala makro yang menjadi sasaran dakwah bukan berarti meninggalkan skala mikro kepentingan individu anggota masyarakat. Kedua, dakwah pengembangan masyarakat pada dasarnya adalah upaya melakukan rekayasa sosial untuk mendapatkan perubahan tatanan kehidupan sosial yang lebih baik.
Untuk itu, landasan berpikir pada dai dalam melihat problem yang dihadapi masyarakat adalah sebuah permasalahan sosial, yang mestinya pemecahannya dilaksanakan dalam skala kehidupan sosial (Abdul Halim, 2005: 15-16). Dengan dikenalkan dakwah kultural di lingkungan Muhammadiyah mengindikasikan adanya ’aktualisasi’ penyikapan atas budaya lokal di lingkungan Muhammadiyah.Organisasi ini semakin menyadari tentang pentingnya budaya lokal sebagai media dakwah, walaupun mungkin sekarang masih dalam proses memilih, dan memilah dengan ’hati-hati’ berbagai macam budaya lokal agar tidak bertabrakan dengan doktrin-doktrin yang sudah mapan di Muhammadiyah.

B.     Penutup
Munculnya kesenjangan sosial dan keterbelakangan umat Islam dalam penguasaan ekonomi dan tekhnologi membutuhkan gerakan dakwah yang bersifat aplikatif bukan teoritis. Dakwah sebagai agen penyebaran dan pembangunan umat dituntut harus dapat merespon, menjawab atau memberikan solusi atas munculnya persoalan umat.
Dakwah sebagai konsep dan gerakan yang menekankan prinsip bi al-hikmah wa al-mau'idzatul al-khasanah dapat memasuki wilayah spektrum kegiatan manusia yang sangat luas sehingga fungsi penyelenggaraan dakwah harus mampu mentransformasikan ide-ide atau konsep agama ke dalam dataran praksis. Dakwah yang menekankan adanya perubahan dan perbaikan kehidupan masyarakat inilah yang selama ini dikenal dengan dakwah bil hal.
Era informasi sekarang ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi syi’ar Islam yang harus mampu untuk melakukan dakwah melalui tulisan di media cetak, melalui rubrik, kolom opini yang umumnya terdapat dalam surat kabar harian tabloid mingguan, majalah atau buletin internal masjid. Penyampaian pesan dakwah keagamaan adalah kewajiban setiap manusia untuk menuju ke arah kebenaran yang dalam penyampaian kebenaran tersebut sangat beragam metode dan caranya, baik melalui lisan, tauladan yang baik dan dengan melalui tulisan di media massa, baik cetak maupun elektronik.
Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern dituntut untuk dapat melaksanakan dakwah, baik lisan maupun tulisan ataupun perbuatan, secara individu, kelompok atau berbentuk organisasi atau lembaga. Secara umum adalah setiap muslimin atau muslimat yang mukallaf (dewasa) dimana bagi mereka kewajiban dakwah adalah sesuatu yang melekat tidak terpisahkan dari misinya sebagai penganut Islam, sesuai dengan perintah: “sampaikan walaupun satu ayat”. Sedangkan secara khusus orang yang menjadi dai yaitu orang-orang yang mengambil spesialisasi khusus (mutakhasis) dalam bidang agama Islam yang dikenal dengan panggilan ulama.
Proses dakwah sangat memerlukan pendekatan atau strategi sebagai salah satu unsur yang akan mensosialisasikan ajaran-ajaran agama. Tanpa strategi bagaimanapun baiknya ajaran agama pasti tidak mungkin bisa tersebar. Begitu pentingnya unsur strategi dalam dakwah, maka diperlukan orang-orang yang bisa mengemban tugas mulia itu. Oleh karena itu untuk mendukung proses dakwah agar dapat berjalan dengan baik, maka Muhammadiyah membekali para dainya dengan kemampuan-kemampuan atau kompetensi-kompetensi yang menunjang demi suksesnya kegiatan dakwah yang dilakukannya. Memang hal ini tidak mudah, memerlukan da'i-da'i berkualitas, sebagai personifikasi sikap dan perilaku dalam kehidupan Islami, yang mampu mengaktualisasikan dirinya di tengah-tengah pluralitas masyarakat. Allah telah mengisyaratkan dalam surat Ali Imran ayat 110. Bahwa para da'i harus menjadi khaira ummah yang punya kemampuan menampilkan dirinya di tengah dan untuk masyarakat (ukhrijat li al-naas). Ini berarti pelaku dakwah, termasuk Muhammadiyah harus memiliki kemampuan menjawab sekaligus menerapkan jawaban atas pertanyaan apa, siapa di mana dan kapan ia berada. Kemampuan ini bisa menumbuhkan kesadaran akan potensi dirinya, posisinya, situasi dan kondisi yang sedang dan akan dihadapinya. Hal inilah yang mendorong Muhammadiyah menerapkan strategi dakwahnya dengan dakwah kultural.
Inti dakwah kultural yang dikembangkan Muhammadiyah adalah menekankan keragaman substansional, dakwah nilai-nilai Islam yang substansial berupa; kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kerjasama, dan semangat melawan penindasan kemanusiaan. Dalam konteks keindonesiaan dakwah pemberdayaan umat seperti ini lebih diperlukan mengingat sebagian besar masyarakat Islam Indonesia lemah di berbagai bidang. Untuk itu forum pertemuan kedua organisasi itu perlu sering dilakukan, baik dalam bentuk diskusi, seminar maupun lainnya dengan topik pembicaraaan tentang upaya memberdayakan umat secara bersama-sama.

* Tarkum S.H.I. adalah ketua PC IRM Purwokerto (1998-2000)/Anggota PCPM Gandrungmangu Cilacap, tinggal di Kamulyan Rt 09/II Bantarsari Cilacap bersama isteri dan dua putrinya.







DAFTAR PUSTAKA


Abdullah ibn Ahmad ibn Mahmud An-Nasafi. 2001. Tafsir an-Nasafi Madarik at-Tanzil wa Haqa’iq at-Ta’wil. Juz I. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Abdul Halim. 2005. “Paradigma Dakwah Pengembangan Masyarakat”, dalam Moh. Ali Aziz, Dkk (ed.), Dakwah Pemberdayaan Masyarakat Paradigma Aksi dan Metodologis, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

Abdul Rosyad Shaleh. 1987. Manajemen Dakwah Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Abdurrahim Ghazali. 2003. “Dari Dogmatis ke Kultural Refleksi Kritis Dakwah Muhammadiyah”. dalam Muslim Abdurrahman (ed.). Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural. Jakarta: Ma’arif Institute dan Ideo Press.

Ali Mustafa Yaqub. 2000. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi., Jakarta: Pustaka Firdaus.

Asep Muhyiddin. 2002. Metode Pengembangan Dakwah. Bandung: Pustaka Setia.

Aunur Rahim Faqih. 2006. Esensi, Urgensi & Problem Dakwah. Yogyakarta: LPPAI UII.

Din Syamsuddin. 2005. “Menjadikan Dakwah Sebagai Strategi Transformasi Sosial”. (Kata Pengantar) dalam Imam Muchlas. Landasan dakwah Kultural. Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah.

Elvin Hatch. 1973. Theories of Man and Culture. New York: Columbia University Press.

Faisal Ismail. 2001. “Dakwah di Tengah Persoalan Budaya dan Politik”. Kata Pengantar. Hamdan Daulay. Dakwah dalam Percaturan Politik. Yogyakarta: LESFI.

Hamdan Hambali. 2008. Ideologi dan Strtaegi Muhammadiyah. Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah.

Mu’arif. 2005. “Dakwah Kultural: Mencermati Kearifan Dakwah Muhammadiyah” dalam Imron Nasri (ed.). Pluralisme dan Liberalisme Pergolakan Pemikiran Anak Muda Muhammadiyah. Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri.

Muhammad Azhar, “Beberapa Catatan tentang Problematika Dakwah”, Suara Aisyiyah, No. 02, Th. Ke-80, Februari 2003.

Mustafa Kemal Pasha. 2005. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Dakwah Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2004. Dakwah Kultural Muhammadiyah., Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah.

Suara Muhammadiyah”, No. 3 th. Ke 91, 1-15 Februari 2006.

Usman Jasad, “Problematika Dakwah dan Alternatif Pemecahannya”, Muhammadiyah, No. 09. Th. Ke-89, 1-15 Mei 2004.

Weinata Sairin. 2005. Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Zakiyudin Baydhawy. “Kritik atas Paham Keagamaan Muhammadiyah Dakwah Klutural vs Imperialisme Islam Murni”, www. Islamlib.com, 17-10-2010.



Pendaftaran Santri Baru PM Insan al-Muwahhid Purwokerto

SELAMAT DATANG SANTRI BARU TAHUN 2021/2022

 SELAMAT DATANG CALON SANTRI BARU PESANTREN INSAN AL-MUWAHHID PURWOKERTO Ayo daftar sekarang juga tinggal klik 👉 http://bit.ly/PSBAlmuwahhi...