Thursday, August 9, 2012

Malam Pertama


Malam Pertama

Menjadi pasangan pengantin baru merupakan kebahagian tersendiri bagi kedua mempelai. Rasa bahagia itu begitu menyentuh qalbu yang paling dalam, hati seakan tak mampu menampung rasa bahagia yang telah meluap memenuhi relung hati. Namun begitu, kebahagian menjadi pengantin baru akan terasa lebih sempurna tatkala telah melewati kebersamaan dimalam pertama dengan penuh cinta. Malam dimana seseorang bisa menyalurkan hasratnya melalui jalan yang diridhai Allah. Sehingga, dengannya tak sekedar kenikmatan yang diperoleh tapi juga pahala dapat diraih. Nilai pahala akan lebih bertambah seiring bertambahnya rasa kasih dan sayang antara kedua mempelai manakala berhias dengan adab-adab saat menuju peraduan cinta, sebagaimana yang dituntunkan Nabi shallallahu a’laihi wasallam sebagai pembawa syariat Islam yang sempurna.
Diantara adab-adabnya adalah sebagai berikut :
  1. Sebelum bermalam pertama, sangat disukai untuk memperindah diri masing-masing dengan berhias, memakai wewangian, serta bersiwak.
  • Berdasarkan sebuah hadits dari Asma’ binti Yasid radhiyallaahu ‘anha ia menuturkan, “Aku merias Aisyah untuk Rasulullah shallallahu a’laihi wasallam. Setelah selesai, aku pun memanggil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pun duduk di sisi Aisyah. Kemudian diberikan kepada beliau segelas susu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminum susu tersebut dan menyerahkannya pada Aisyah. Aisyah menundukkan kepalanya karena malu. Maka segeralah aku menyuruhnya untuk mengambil gelas tersebut dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” [HR Ahmad, sanad hadits ini dikuatkan oleh Al-Allamah Al-Muhadits Al-Albani  dalam Adabul Zifaf]. 
  • Adapun disunnahkannya bersiwak, karena adab yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau selalu bersiwak setiap setiap hendak masuk rumah sebagaimana disebutkan oleh Aisyah radhiyallaahu ‘anha dalam Shahih Muslim. Selain itu akan sangat baik pula jika disertai dengan mempercantik kamar pengantin sehingga menjadi sempurnalah sebab-sebab yang memunculkan kecintaan dan suasana romantis pada saat itu.
  1. Hendaknya suami meletakkan tangannya pada ubun-ubun istrinya seraya mendoakan kebaikan dengan doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan :

اللّهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dari kebaikannya (istri) dan kebaikan tabiatnya, dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan tabiatnya.”[HR. Bukhari dari sahabat Abdullah bin Amr bin Al Ash radhiyallaahu 'anhu].
  1. Disunnahkan bagi keduanya untuk melakukan shalat dua rakaat bersama-sama. Syaikh Al Albani dalam Adabuz Zifaf menyebutkan dua atsar yang salah satunya diriwayatkan oleh Abu Bakr Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf dari sahabat Abu Sa’id, bekat budak sahabat Abu Usaid, beliau mengisahkan bahwa semasa masih menjadi budak ia pernah melangsungkan pernikahan. Ia mengundang beberapa sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr, dan Hudzaifah.
Abu Sa’id mengatakan, “Mereka pun membimbingku, mengatakan, ‘Apabila istrimu masuk menemuimu maka shalatlah dua rakaat. Mintalah perlindungan kepada Allah dan berlindunglah kepada-Nya dari kejelekan istrimu. Setelah itu urusannya terserah engkau dan istrimu. “Dalam riwayat Atsar yang lain Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu mengatakan, perintahkan isrtimu shalat dibelakangmu.”
  1. Ketika menjumpai istri, hendaknya seorang suami berprilaku santun kepada istrinya semisal dengan memberikan segelas minuman atau  yang lainnya sebagimana dalam hadits di atas, bisa juga dengan menyerahkan maharnya. Selain itu hendaknya si suami untuk bertutur kata yang lembut yang menggambarkan kebahagiaannya atas pernikahan ini. Sehingga hilanglah perasaan cemas, takut, atau asing yang menghinggapi hati istrinya. Dengan kelembutan dalam ucapan dan perbuatan akan bersemi keakraban da keharmonisan di antara keduanya.
  1. Apabila seorang suami ingin menggauli istrinya, janganlah ia terburu-buru sampai keadaan istrinya benar-benar siap, baik secara fisik, maupun secara psikis, yaitu istri sudah sepenuhnya menerima keberadaan suami sebagai bagian dari dirinya, bukan orang lain. Begitu pula ketika suami telah menyelesaikan hajatnya, jangan pula dirinya terburu-buru meninggalkan istrinya sampai terpenuhi hajat istrinya. Artinya, seorang suami harus memperhatikan keadaan, perasaan, dan keinginan istri. Kebahagian yang hendak ia raih, ia upayakan pula bisa dirasakan oleh istrinya.
  1. Bagi suami yang akan menjima’i istri hanya diperbolehkan ketika istri hanya diperbolehkan ketika istri tidak dalam keadaan haid dan pada tempatnya saja, yaitu kemaluan. Adapun arah dan caranya terserah yang dia sukai. Allah berfirman yang artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, “Haid itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhi (tidak menjima’i) wanita diwaktu haid, dan janganlah kalian mendekati (menjima’i) mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu pada tempat yang diperintahkan Allah kepad kalian (kemaluan saja). Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang mensucikan diri. Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat itu bagaimana saja kalian kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk diri kalian, bertakwalah kepada Allah, ketahuilah bahwa kalian kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman.” [Q.S. Al Baqarah: 222-223].
Ingat, diharamkan melalui dubur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Barang siapa yang menggauli istrinya ketika sedang haid atau melalui duburnya, maka ia telah kufur dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad.” [HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan yang lainnya, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud]. Kata ‘kufur’ dalam hadits ini menunjukkan betapa besarnya dosa orang yang melakukan hal ini. Meskipun, kata para ulama, ‘kufur’ yang dimaksud dalam hadits ini adalah kufur kecil yang belum mengeluarkan pelakunya dari Islam.
  1. Telah kita ketahui bersama bahwa syaitan selalu menyertai, mengintai untuk berusaha menjerumuskan Bani Adam dalam setiap keadaan. Begitu pula saat jima’, kecuali apabila dia senantiasa berdzikir kepada Allah. Maka hendaknya berdo’a sebelum melakukan jima’ agar hal tersebut menjadi sebab kebaikan dan keberkahan. Do’a yang diajarkan adalah:

بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

Dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari syaithan dan jauhkanlah syaithan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami.”[HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallaahu 'anhu]. Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa seandainya Allah mengkaruniakan anak, maka syaithan tidak akan bisa memudharati anak tersebut. Al Qadhi menjelaskan maksudnya adalah syaithan tidak akan bias mearsukinya. Sebagaimana dinukilkan dari Al Minhaj.
  1. Diperbolehkan bagi suami dan istri untuk saling melihat aurat satu sama lain. Diperbolehkan pula mandi bersama. Dari Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalam satu bejana dan kami berdua dalam keadaan junub.” [HR. Al Bukhari dan Muslim.]
  1. Diwajibkan bagi suami istri yang telah bersenggama untuk mandi apabila hendak shalat. Waktu mandi boleh ketika sebelum tidur atau setelah tidur. Namun apabila dalam mengakhirkan mandi maka disunnahkan terlebih dahulu wudhu sebelum tidur. Berdasarkan hadits Abdullah bin Qais, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Aisyah, ‘Apa yang dilakukan Nabi ketika junub? Apakah beliau mandi sebelum tidur ataukah tidur sebelum mandi?’ Aisyah menjawab, ‘Semua itu pernah dilakukan Rasulullah. Terkadang beliau mandi dahulu kemudian tidur dan terkadang pula beliau hanya wudhu kemudian tidur.”[HR. Ahmad dalam Al Musnad]
  1. Tidak boleh menyebarkan rahasia ranjang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya diantara manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah laki-laki yang mendatangi istrinya dan istrinya memberikan kepuasan kepadanya, kemudian ia menyebarkan rahasianya.” [HR. Muslim dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallaahu 'anhu]
Dari poin-poin yang telah dijelaskan nampaklah betapa agungnya kesempurnaan syariat Islam dalam mengatur semua sisi kehidupan ini. Sehingga pada setiap gerak hamba ada nilai ibadah yang bisa direngkuh pahalanya. Tidak sekedar aktivitas rutin tanpa faedah, tak semua pemenuhan kebutuhan tanpa hikmah. Oleh sebab itu tak ada yang sia-sia dalam mengikuti aturan Ilahi  dan meneladani sunnah Nabi. Semuanya memiliki makna serta mengandung kemaslahatan, karena datangnya dari Allah Dzat Yang Maha Tinggi Ilmu-Nya lagi Maha sempurna Hikmah-Nya. Maka dari itu syariat yang Allah turunkan selaras dengan fitrah hamba-Nya sebagai manusia, sebagimana disyariatkan pernikahan.
Kesempurnaan syariat Islam ini menunjukkan betapa besarnya perhatian Allah terhadap hamba-Nya melebihi perhatian hamba terhadap dirinya sendiri. Oleh karenanya, hendaklah setiap hamba tetap berada di atas fitrah tersebut di atas agama allah agar dirinya selalu berada di atas jalan yang lurus, “(Tetaplah di atas fitrah) yang Allahtelah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” [QS. Ar Rum: 30]. Allahu a’lam.

PERSPEKTIF DAN SYARAT POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM

PERSPEKTIF DAN SYARAT POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM
Oleh: Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo

Menurut Mahmud Syaltut --mantan Syekh Al-Azhar--, hukum poligami adalah mubah. Poligami dibolehkan selama tidak dikhawatirkan terjadinya penganiayaan terhadap para isteri. Jika terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya penganiayaan dan untuk melepaskan diri dari kemungkinan dosa yang dikhawatirkan itu, dianjurkan bagi kaum laki untuk mencukupkan beristeri satu orang saja. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa kebolehan berpoligami adalah terkait dengan terjaminnya keadilan dan tidak terjadinya penganiayaan yaitu penganiayaan terhadap para isteri. Dasar hukum poligami disebutkan dalam surat an-Nisa' ayat 3 yang artinya: "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki yang demikian itu adalah lebih dekat tidak berbuat aniaya." 

Dalam ayat ini disebutkan bahwa para wali yatim boleh mengawini yatim asuhannya dengan syarat harus adil, yaitu harus memberi mas kawin kepadanya sebagaimana ia mengawini wanita lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah RA ketika ditanya oleh Uswah bin Al-Zubair RA mengenai maksud ayat 3 Surat An-Nisa' tersebut yaitu: "Jika wali anak wanita tersebut khawatir atau tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka wali tersebut tidak boleh mengawini anak yatim yang berada dalam perwaliannya itu. Tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang isteri sampai dengan empat, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya, jika tidak, maka ia hanya boleh beristeri seorang dan inipun ia tidak boleh berbuat zhalim terhadap isteri yang seorang itu. Apabila ia masih takut pula akan berbuat zhalim terhadap isterinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya."

Sehubungan dengan ini, Syekh Muhammad Abduh mengatakan: Haram berpoligami bagi seseorang yang merasa khawatir akan berlaku tidak adil. Sebelum turun ayat 3 Surat An-Nisa' diatas, banyak sahabat yang mempunyai isteri lebih dari empat orang, sesudah ada pembatalan paling banyak poligami itu empat, maka Rasulullah memerintahkan kepada sahabat-sahabat yang mempunyai isteri lebih dari empat, untuk menceraikan isteri-isterinya, seperti disebutkan dalam hadits yang artinya: "Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW berkata kepada Ghailan bin Umaiyyah Al Tsaqafy yang waktu masuk Islam mempunyai sepuluh isteri, pilihlah empat diantara mereka dan ceraikanlah yang lainnya." (HR. Nasa'iy dan Daruquthni)

Dalam hadits lain disebutkan pula tentang pengakuan seorang sahabat bernama Qais bin Harits yang artinya: "Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan isteri saya, lalu saya ceritakan kepada Nabi Muhammad SAW maka beliau bersabda: "Pilihlah empat orang dari mereka." (HR. Abu Daud) Berdasarkan pemahaman terhadap ayat dan hadits yang membatasi poligami, maka timbul pertanyaan: "Asas perkawinan dalam Islam termasuk monogami atau poligamikah?" Dalam masalah ini ada dua pendapat: 1. Bahwa asas perkawinan dalam Islam itu Monogami. 2. Bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah Poligami Golongan pertama beralasan bahwa Allah SWT memperbolehkan poligami itu dengan syarat harus adil.

Mengenai keadilan ini harus dikaitkan dengan firman Allah SWT dalam Surat An Nisa' ayat 129 yang artinya: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang." Karena ayat tersebut menjelaskan bahwa tidak akan ada seorangpun yang dapat berbuat adil, suatu petunjuk bahwa asas pernikahan dalam Islam adalah monogami.

Bagi yang berpendapat bahwa asas pernikahan itu adalah poligami, beralasan bahwa antara ayat 3 dan ayat 129 Surat An-Nisa' tidak terdapat pertentangan. Hanya saja keadilan yang dimaksud pada kedua ayat tersebut adalah keadilan lahiriyah yang dapat dikerjakan oleh manusia bukan adil dalam hal cinta dan kasih sayang. Adil yang tidak dapat dilaksanakan oleh seseorang seperti tercantum dalam ayat 129 Surat An-Nisa' itu adalah adil dalam cinta dan jima'. Ini memang logis. Umpama dari Ahad giliran di rumah isteri pertama dengan memberikan nafkah batin, hari Senin giliran isteri kedua memberikan nafkah yang sama, demikian selanjutnya pada isteri ketiga dan keempat. Adil yang semacam ini jarang terjadi, sebab gairah untuk memberikan nafkah batin ini tidak selalu ada. Asalkan perbuatan itu tidak disengaja, maka itu tidak dosa. Golongan yang berpendapat bahwa asas melaksanakan poligami hanya dalam keadaan memaksa atau darurat,
Muhammad Rasyid Ridha mencantumkan beberapa hal yang boleh dijadikan alasan berpoligami, antara lain:

  1. Isteri mandul 
  2. Isteri yang mempunyai penyakit yang dapat menghalangi suaminya untuk memberikan nafkah batin 
  3. Bila suami mempunyai kemauan seks luar biasa (over dosis), sehingga isterinya haid beberapa hari saja mengkhawatirkan dirinya berbuat serong 
  4. Bila suatu daerah yang jumlah perempuannya lebih banyak daripada laki-laki. Sehingga apabila tidak poligami mengakibatkan banyak wanita yang berbuat serong. Dari dua pendapat diatas, baik asas perkawinan itu monogami ataupun poligami, yang jelas Islam membolehkan adanya poligami, dengan syarat adil.
Syarat adil ini merupakan suatu penghormatan kepada wanita bila tidak dipenuhi akan mendatangkan dosa. Kalau suami tidak berlaku adil kepada isterinya, berarti ia tidak Mu'asyarah bi Al-Ma'ruf kepada isterinya, sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al-Quran Surat An-Nisa' ayat 19 yang artinya: "Dan bergaullah dengan mereka secara patut (baik)." (11) Dalam kedudukan suami sebagai pemimpin/kepala rumah tangga, ia wajib Mu'asyarah bi Al-Ma'ruf kepada isterinya. Ia tidak boleh berbuat semena-mena terhadap isterinya, karena dalam pergaulan hidup berumah tangga, isteri boleh menuntut pembatalan akad nikah dengan jalan khulu', bila suami tidak mau atau tidak mampu memberi nafkah, atau tidak berlaku adil, atau suami berbuat serong, penjudi, pemabuk, dan sebagainya, dan isteri tidak rela (lihat Surat Al-Baqarah ayat 229). Akibat khulu' suami tidak bisa ruju' tanpa persetujuan bekas isteri. Itulah konsekwensi bagi suami sebagai kepala rumah tangga yang tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya, yang berarti ia tidak bergaul secara patut/baik terhadap isterinya.

Niat Mandi Besar Dan Tata Caranya


Niat Mandi Besar Dan Tata Caranya


Mandi wajib atau janabah, atau junub adalah mandi yang dilakukan ketika kita mengalami mimpi basah atau habis bersenggama. Nah, pada saat seperti inilah kita diwajibkan untuk mandi wajib/janabah/mandi besar. Namun tidak seperti mandi biasa,mandi besar ini harus diperhatikan niyat dan tata caranya, berikut niyat mandi wajib atau mandi besar dan tata caranya:
Niyat mandi besar atau mandi jinabat itu seperti niyat niyat dalam ibadah yang lain, yaitu di dalam hati, adapun kalimat niyatnya adalah:
niat mandi jinabat dan tata caranya
Jika mandi besar disebabkan junub (Mimpi basah, keluar mani, senggama) maka niyat mandi besarnya adalah:
“Aku niat mandi untuk menghilangkan hadats besar dari jinabah, fardlu karena Allah Ta’ala”
Jika mandi besarnya disebabkan karena haidl maka niyat mandi besarnya adalah:
“Aku niat mandi untuk menghilangkan hadats besar dari haidl, fardlu karena Allah Ta’ala”
Jika mandi besarnya sebab nifas, maka niyat mandi besarnya adalah:
“Aku niat mandi untuk menghilangkan hadats besar dari nifas, fardlu karena Allah Ta’ala”
Adapun tata caranya sebagai berikut:
1. Mandi junub/besar harus diniatkan ikhlas semata karena Allah Ta’ala dalam rangka menta’atiNya dan beribadah kepadaNya semata.

2. Dalam mandi junub/jinabat/besar, harus dipastikan bahwa air telah mengenai seluruh tubuh sampaipun kulit yang ada di balik rambut yang tumbuh di manapun di seluruh tubuh kita. Karena itu siraman air itu harus pula dibantu dingan jari jemari tangan yang mengantarkan air itu ke bagian tubuh yang paling tersembunyi sekalipun.

3. Mandi junub/jinabat/besar dimulai dengan membasuh kedua telapak tangansampai pergelangan tangan, masing-masing tiga kali dan cara membasuhnya dengan mengguyur kedua telapak tangan itu dengan air yang diambil dengan gayung. Dan bukannya dengan mencelupkan kedua telapak tangan itu ke bak air.

4. Setelah itu mengambil air dengan telapak tangan untuk mencuci kemaluan dengan telapak tangan kiri sehingga bersih.

5. Kemudian telapak tangan kiri itu digosokkan ke lantai atau ke tembok sebanyak tiga kali. Dan setelah itu dicuci dengan air.

6. Setelah itu berwudlu ‘sebagaimana cara berwudlu’ untuk shalat.

7. Kemudian mengguyurkan air di mulai dari pundak kanan terus ke kepala dan seluruh tubuh dan menyilang-nyilangkan air dengan jari tangan ke sela-sela rambut kepala dan rambut jenggot dan kumis serta rambut mana saja di tubuh kita sehingga air itu rata mengenai seluruh tubuh.

8. Kemudian bila diyakini bahwa air telah mengenai seluruh tubuh, maka mandi itu diakhiri dengan membasuh kedua telapak kaki sampai mata kaki.

9. Disunnahkan untuk tidak mengeringkan badan dengan kain handuk atau kain apa saja untuk mengeringkan badan itu.

10. Disunnahkan untuk melaksanakan mandi besar/junub/jinabat itu dengan tertibseperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa aalihi wasallam.

“Dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wasallam telah bersabda:
Barangsiapa yang meningggalkan bagian tubuh yang harus dialiri air dalam mandi janabat walaupun satu rambut untuk tidak dibasuh dengan air mandi itu, maka akan diperlakukan kepadanya demikian dan demikian dari api neraka “. HR. Abu Dawud

Mencium Istri Ketika Puasa

Mencium Istri Ketika Puasa
Ditulis oleh al-muayyad   
RABU, 10 AGUSTUS 2011 15:32
sayangPada hakikatnya, puasa itu menghindari segala hal yang membatalkan. Salah satu perkara yang membatalkan puasa adalah ejakulasi (inzal) akibat persentuhan kulit, dan bersenggama walaupun tanpa ejakulasi.
Pada dasarnya mencium istri tidak membatalkan puasa. Tetapi karena bisa membangkitkan nafsu, dapat mengakibatkan ejakulasi, dan menyeret seseorang menuju interaksi seksual maka pembahasan hukumnya tidak bisa sederhana lagi.
Para ulama menggolongkan ciuman ke dalam perkara yang dimakruhkan dalam puasa, apabila ciuman itu membangkitkan syahwat. Kalau tidak membangkitkan syahwat, ciuman tidak dipermasalahkan, tetapi lebih baik tetap dihindari. (Al-Majmu’ Syarh Muhaddzab, VI. 354, Mughni al-Muhtaj, I, 431-436) Tentu hukum ini berlaku untuk ciuman kepada istri. Selain istri jelas hukumnya Haram.
Menurut pendapat yang kuat, hukum makruh yang berlaku atas mencium istri ketika berpuasa adalah makruh tahrim. Artinya, meskipun makruh (yang definisi dasarnya tak mengapa jika dilakukan) jika dilakukan juga maka si pelaku mendapat dosa. Untuk sekedar diketahui, selain makruh tahrim terdapat juga kategori hukum makruh tanzih, jika melakukannya tidak ada konsekuensi apapun; dosa maupun pahala. Seperti halnya haram, hal-hal yang berhukum makruh tahrim harus dihindari. Sementara pada makruh tanzih,  penghindaran itu hanya bersifat anjuran.
Hukum tersebut di-istinbath-kan para ulama dari hadits riwayat Abu Dawud yang bersumber dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah melarang kaum muda mencium (pada saat berpuasa), dan memperbolehkan hal itu pada orang-orang tua yang telah lanjut usia.
Mengapa Rasulullah membedakan orang tua dari pemuda? Para ulama merasionalisasi pembedaan ini dengan argumen bahwa pada usia muda seseorang sedang berada pada puncak hasrat dan kemampuan seksualnya. Sedangkan pada orang tua biasanya hasrat dan potensi seksualnya telah banyak menurun. Secara praktis, ciuman pada usia muda dikhawatirkan mengakibatkan pada ejakulasi. Atau menggoda pelakunya untuk menindak lanjutinya dengan interaksi seksual langsung karena kekurang mampuan orang muda untuk mengendalikan nafsu.
Dalam pengertian itu, maka batasan tua atau muda hanya merujuk pada kondisi umum saja. jika ada pemuda yang sepenuhnya mampu mengendalikan diri, atau orang tua yang masih sangat tinggi hasrat dan kemampuan seksualnya, maka hukum yang berlaku bagi keduanya berbanding terbalik dengan keterangan di atas. Ini karena masalah utamanya memang bukan tua atau muda, tetapi apakah tindakan itu akan mengarahkan pelakunya pada hal yang membatalkan puasa atau tidak.
Hukum ini sesuai dengan kaedah fiqih ‘li wasail hukmil maqashid’ terhadap hal-hal yang mendukung atau mendorong atau menyebabkan diberlakukan hukum yang sama hasil akhirnya. Ketika ditentukan bahwa interaksi seksual langsung dan ejakulasi karena persentuhan kulit membatalkan puasa, maka perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada keduanya harus pula dihindari jauh-jauh.
Pelukan, genggaman, dan sejenisnya, dengan nalar dan pertimbagan serupa, disamakan hukumnya dengan mencium.   
Tetapi hukum ini tidak serta merta mempengaruhi sah tidaknya puasa. Jika anda suatu saat di siang hari bulan Ramadhan mencium istri, dan tidak terjadi sesuatu akibat atau tindak lanjut apa-apa, maka puasa anda tetap sah, tidak batal, tetapi tingkat kesempurnaannya berkurang. (Al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab. VI, 355). Sumber.
 

Hakikat Puasa yang bernilai



Nilai puasa di sisi Allah swt adalah sangat bergantung pada kualitinya.

Semakin ia berkualiti, semakin tinggi nilainya di sisi Allah swt.

Sebaliknya :

Puasa yang kualitinya sekadar menahan lapar dan dahaga, ia tidak bernilai apa-apa di sisi Allah swt.

Rasulullah saw bersabda :


“Betapa ramai orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa baginya kecuali rasa lapar.” (HR An-Nasaie dan Ibnu Majah)

Puasa di bulan Ramadhan merupakan ibadah istimewa yang akan dinilai secara langsung oleh Allah swt sehingga ia tidak dibataskan hanya dengan pahala 10 hingga 700 kali ganda.

Rasullullah saw bersabda :


“Setiap amal anak Adam dilipatgandakan; satu kebaikan dibalas dengan sepuluh (10) kebaikan yang serupa hingga tujuh ratus (700) kali. Allah Azza wa Jalla berfirman, “Kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untukKu dan Aku sendiri yang membalasnya…” (HR Muslim, An-Nasaie, Ad-Darimi dan Al-Baihaqi)


Adalah menjadi suatu kemestian bahwa kita :

  1. Melakukan amal dengan bersungguh-sungguh.
  2. Berusaha mendapatkan kualiti yang tertinggi.
Inilah yang menjadi sebab mengapa Dr. Musthafa Dieb Al-Bugho dan Muhyidin Mistu dalam kitab merekaAl-Wafi’ yaitu syarah kepada hadits 40 ketika menjelaskan hadits berikut :


“Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku ihsan dalam segala hal .” (HR Muslim)

Mereka berdua mengatakan:

Hadits ini merupakan nash (dalil) yang menunjukkan kemestian berlaku ihsan iaitu dengan melakukan suatu perbuatan dengan :

  1. Terbaik.
  2. Usaha maksima.
Maka, begitulah juga dengan puasa.

Marilah kita tunaikan puasa kita dengan sebaik-baiknya sehingga ia benar-benar menjadi puasa yang bernilai.

Jadi, apakah kriteria-kriteria puasa yang bernilai itu?


PERTAMA : IKHLAS

Inilah penentu awal nilai puasa kita iaitu keikhlasan.

Ia tidak hanya berlaku untuk puasa semata-mata bahkan seluruh amal akan ditentukan pertama kalinya oleh ukuran ini.

Jika ia melakukannya dengan ikhlas kerana Allah maka amalnya akan menuju Allah (berpeluang diterima oleh Allah), tetapi jika ia melakukannya kerana selain Allah, maka amal itu tidak memiliki peluang sama sekali untuk menjadi bernilai di sisi Allah swt.


Rasulullah saw bersabda :


“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan.” (HR Bukhari dan Muslim)


Demikian juga dengan keampunan yang dijanjikan oleh Allah bagi orang yang berpuasa kerana tidak semua orang akan mendapatkan keampunan ini secara percuma.

Hanya mereka yang ikhlas sahaja yang berhak mendapatkan janji ini dan membuktikannya di hadapan Allah swt di akhirat kelak.


“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kerana iman dan mengharap perhitungan (pahala) akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘alaih)


Hadits di atas sekaligus menjadi dalil bahwa mengharapkan pahala dari Allah swt adalah termasuk dalam kategori ikhlas.

Ini berbeza dengan ungkapan golongan sufi yang ekstrim mengatakan tentang keikhlasan:


Ya Allah,
Jika aku beribadah kepadaMu kerana mengharapkan syurga.

Haramkanlah aku memasukinya.
Jika aku beribadah kepadaMu kerana takut neraka.

Campakkanlah aku ke dalamnya.


Alhamdulillah, menjaga keikhlasan puasa itu lebih mudah daripada ibadah lain kerana puasa adalah amalan batin.

Maka Imam Al-Ghazali menjelaskan dalam kitab Ihya’ Ulumiddin’ :

“Puasa itu sendiri adalah rahsia yang padanya tidak ada amal yang disaksikan. Seluruh amal ketaatan itu disaksikan dan dilihat oleh makhluk sedangkan puasa hanya dilihat oleh Allah Azza wa Jalla, kerana puasa itu amal batin dengan semata-mata kesabaran.”


KEDUA : MENINGGALKAN PERKARA-PERKARA YANG MEMBATALKAN PUASA

Tentu sahaja untuk menjadikan puasa kita bernilai, puasa itu mestilah sah, ertinya, kita mesti meninggalkan perkara-perkara yang membatalkan puasa.


Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah’ menjelaskan bahwa perkara-perkara yang membatalkan puasa itu dibahagi kepada dua :


PERTAMA : Perkara-perkara yang membatalkan puasa dan wajib qadha’.

  1. Makan atau minum dengan sengaja.
Jika seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, itu tidak membatalkan puasanya.


“Barangsiapa yang lupa, padahal ia berpuasa, lalu ia makan atau minum, hendaklah ia meneruskan puasanya. Kerana ia diberi makan dan minum oleh Allah.” (HR  Jamaah)

  1. Muntah dengan sengaja

    “Barangsiapa didesak muntah, ia tidak wajib mengqadha’, tetapi siapa yang menyengaja muntah hendaklah ia mengqadha’. (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmizi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Daruquthni dan Hakim)
  2. Mengeluarkan mani samada kerana mencium isterinya atau hal lain di luar persetubuhan dan mimpi. Jika bersetubuh ia dikenakan kafarat dan jika kerana mimpi maka tidak mempengaruhi puasanya.
  3. Meniatkan berbuka. Oleh kerana niat merupakan rukun puasa, maka niat berbuka bererti membatalkan puasanya.
KEDUA : Perkara-perkara yang membatalkan puasa dan wajib qadha’ dan kafarah.

Mengenai tindakan membatalkan puasa dan kerananya wajib qadha serta kafarah, menurut jumhur ulama hanyalah bersetubuh dengan isteri dan tidak ada yang lain.

Kafarahnya adalah memerdekakan hamba, jika tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut-turut dan jika tidak mampu juga maka hendaklah memberi makan kepada 60 orang miskin.


“Abu Hurairah berkata: Seorang laki-laki datang mendapatkan Nabi saw. Ia berkata, “Celaka aku, wahai Rasulullah!” Nabi saw bertanya, “Apa yang mencelakakan itu?” “Aku menyetubuhi isteriku pada bulan Ramadhan.” Maka tanya Nabi saw “Adakah padamu sesuatu untuk memerdekakan hamba?” “Tidak” ujarnya. Nabi bertanya lagi, “Sanggupkah engkau berpuasa dua (2) bulan terus menerus?” “Tidak”, ujarnya. Nabi bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki makanan untuk diberikan kepada enam puluh (60) orang miskin?” “Tidak” ujarnya. Laki-laki itu pun duduk, kemudian dibawa orang kepada Nabi satu bakul besar berisi kurma. “Nah, sedekahkanlah ini” titah Nabi. “Apakah kepada orang yang lebih miskin daripada kami?” Tanya laki-laki itu. “Kerana di daerah yang terletak di antara tanah yang berbatu-batu hitam itu, tidak ada suatu keluarga yang lebih memerlukannya daripada kami” Maka Nabi pun tertawa hingga geraham beliau terlihat lalu berkata, “Pergilah, berikanlah kepada keluargamu.” (HR Jamaah)


KETIGA : MENINGGALKAN PERKARA-PERKARA YANG MEMBUATKAN PUASA SIA-SIA

Ikhlas serta meninggalkan perkara-perkara yang membatalkan puasa sahaja tidak cukup untuk menjadikan puasa kita memiliki nilai yang tinggi.

Unsur lain yang perlu kita lakukan adalah meninggalkan perkara-perkara yang menjadikan puasa kita sia-sia.


“Betapa ramai orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa baginya kecuali rasa lapar.” (HR An-Nasaie dan Ibnu Majah)


Iaitu dengan menjauhi perkara-perkara yang telah diharamkan oleh Allah swt, di antaranya adalah menjaga emosi kita agar tidak marah seperti apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw :


“Puasa adalah perisai, maka barangsiapa sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak keras, jika seseorang mencela atau mengajaknya bertengkar hendaklah dia mengatakan : aku sedang berpuasa.” (Muttafaq ’alaih)


Begitu juga dengan perkataan dan perbuatan dusta, boleh membuatkan puasa menjadi sia-sia dan oleh kerana itu, mestilah dijauhi.


“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan palsu dan pengamalannya, maka Allah tidak mempunyai keperluan untuk meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” (HR Bukhari)


KEEMPAT : MENINGGALKAN PERKARA-PERKARA YANG TIDAK BERMANFAAT

Sering kita jumpai, ada orang yang berpuasa lalu mengisi siang harinya dengan perkara-perkara yang tidak bermanfaat dengan alasan agar ia lupa akan rasa lapar dan dahaga selama ia berpuasa misalnya dengan menghabiskan masa seharian :

  1. Di depan televisyen.
  2. Bermain permainan komputer.
  3. Melayari laman sesawang yang tidak berfaedah.
Perkara-perkara seperti ini hendaklah ditinggalkan agar puasa kita benar-benar memiliki nilai.


“Di antara tanda sempurnanya Islam seseorang adalah meninggalkan perkara-perkara yang tidak bermanfaat.” (HR Tirmizi dan Ibnu Majah)


KELIMA : BERPUASA DENGAN SELURUH ORGAN TUBUH, FIKIRAN DAN HATI

Inilah yang diistilahkan sebagai puasa khusus oleh Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin’ dan ditegaskan semula oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Mukhtashar Minhajul Qasidin’.


1. Berpuasa mata dengan menahannya dari pandangan kepada sesuatu :

  1. Yang tercela.
  2. Dibenci oleh syari’at.
  3. Yang melalaikan.
Allah swt berfirman :


Pandangan itu salah satu anak panah Iblis yang berbisa. Barangsiapa meninggalkannya kerana takut kepada Allah, maka Allah Azza wa Jalla memberinya keimanan yang manisnya dirasai dalam hatinya.” (HR Hakim)


2. Berpuasa lidah dengan memeliharanya dari :

  1. Berbicara tanpa arah.
  2. Berdusta.
  3. Mengumpat.
  4. Memfitnah.
  5. Berkata buruk.
  6. Berkata kasar.
  7. Permusuhan.
  8. Menzalimi orang lain.
“Puasa adalah perisai, maka barangsiapa sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak keras, jika seseorang mencela atau mengajaknya bertengkar hendaklah dia mengatakan: aku sedang berpuasa.” (Muttafaq ’alaih)


3. Berpuasa telinga dari mendengarkan segala sesuatu yang :

  1. Haram.
  2. Makruh.
Ini adalah kerana segala sesuatu yang haram diucapkan adalah haram pula untuk didengarkan. Bahkan, Allah swt mengumpamakan orang yang mencari pendengaran haram dengan pemakan harta haram.


“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan makanan haram.” (QS Al-Maidah : 42)


“Mengapa orang-orang alim mereka, pendita-pendita mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-Maidah : 63)


4. Berpuasa tangan dari :

  1. Menzalimi orang lain.
  2. Mengambil sesuatu yang bukan haknya.
  3. Melakukan perbuatan yang dilarang oleh syari’at.
5. Berpuasa kaki dari berjalan ke arah yang diharamkan oleh Allah swt.


6. Berpuasa hati dari penyakit-penyakit kerohanian seperti :

  1. Dengki.
  2. Riya’.
  3. Marah.
  4. Kecintaan pada dunia.
“Janganlah kamu saling membenci, saling memutus hubungan, saling mendengki dan saling bermusuhan. Jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR Bukhari dan Muslim)


7. Berpuasa fikiran dari membayangkan perkara-perkara :

  1. Yang disukai oleh syahwat.
  2. Yang dibenci oleh syari’at.
  3. Tipu daya dan lintasan fikiran yang merosakkan minda.
KEENAM : MEMPERBANYAKKAN AMAL SOLEH SEPANJANG BULAN RAMADHAN

Ramai orang tersilap faham dengan memperbanyakkan tidur ketika bulan puasa kerana merasakan itu sebagai ibadah.

Memang ia lebih baik dibandingkan jika ia melakukan perkara-perkara yang makruh atau haram.

Namun, tentunya lebih baik lagi jika dalam masa puasa, kita memperbanyakkan amal soleh dan mengisinya dengan aktiviti-aktiviti positif yang bernilai ibadah di sisi Allah swt seperti :

  1. Memperbanyakkan tilawah Al-Qur’an.
  2. Berzikir kepada Allah swt.
  3. Membanyakkan solat sunnah.
  4. Bertafakur.
  5. Mengkaji ilmu-ilmu agama.
  6. Memperbanyakkan infaq.
Rasulullah saw dan para shahabatnya sangat mengerti tentang keutamaan Ramadhan dan bagaimana memperbaiki nilai puasa mereka dan oleh yang demikian, dalam kesempatan istimewa itu mereka memperbanyakkan amal soleh.

Ibnu Abbas ra menuturkan bagaimana peningkatan amal soleh Rasulullah saw, khususnya tilawah dan infaq sebagai berikut:


“Rasulullah saw adalah orang yang paling dermawan. Dan kedermawanannya memuncak pada bulan Ramadhan ketika Jibril menemuinya. Jibril menemuinya setiap malam untuk tadarus Al-Qur’an. Sungguh Rasulullah saw lebih murah hati melakukan kebaikan daripada angin yang berhembus.” (HR Bukhari)


Demikianlah cara untuk mewujudkan puasa yang memiliki nilai tinggi.

Semoga kita termasuk orang-orang yang dimudahkan oleh Allah swt sehingga dapat berpuasa dengan kualiti seperti itu dan akhirnya :

  1. Mencapai darjat taqwa.
  2. Mendapatkan keampunan dari Allah swt.
  3. Meraih ridha Allah swt.
  4. Dimasukkan ke dalam syurgaNya.
Ya Allah, berilah kemudahan kepada kami untuk kami melaksanakan ibadah puasa dengan bersungguh-sungguh, berkualiti serta menepati tujuan ia disyari’atkan. Jauhkanlah kami dari terjatuh ke dalam perkara-perkara yang membatalkan puasa atau mengurangkan pahala dan ganjaran dariMu. Kurniakanlah keampunan yang tidak bertepi dariMu serta keutamaan untuk kami menemui malam Al Qadr yang lebih baik dari seribu bulan.

Pendaftaran Santri Baru PM Insan al-Muwahhid Purwokerto

SELAMAT DATANG SANTRI BARU TAHUN 2021/2022

 SELAMAT DATANG CALON SANTRI BARU PESANTREN INSAN AL-MUWAHHID PURWOKERTO Ayo daftar sekarang juga tinggal klik 👉 http://bit.ly/PSBAlmuwahhi...