PERSPEKTIF DAN SYARAT POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM
Oleh: Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo
Menurut Mahmud Syaltut --mantan Syekh Al-Azhar--, hukum poligami adalah mubah. Poligami dibolehkan selama tidak dikhawatirkan terjadinya penganiayaan terhadap para isteri. Jika terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya penganiayaan dan untuk melepaskan diri dari kemungkinan dosa yang dikhawatirkan itu, dianjurkan bagi kaum laki untuk mencukupkan beristeri satu orang saja. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa kebolehan berpoligami adalah terkait dengan terjaminnya keadilan dan tidak terjadinya penganiayaan yaitu penganiayaan terhadap para isteri. Dasar hukum poligami disebutkan dalam surat an-Nisa' ayat 3 yang artinya: "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki yang demikian itu adalah lebih dekat tidak berbuat aniaya."
Dalam ayat ini disebutkan bahwa para wali yatim boleh mengawini yatim asuhannya dengan syarat harus adil, yaitu harus memberi mas kawin kepadanya sebagaimana ia mengawini wanita lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah RA ketika ditanya oleh Uswah bin Al-Zubair RA mengenai maksud ayat 3 Surat An-Nisa' tersebut yaitu: "Jika wali anak wanita tersebut khawatir atau tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka wali tersebut tidak boleh mengawini anak yatim yang berada dalam perwaliannya itu. Tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang isteri sampai dengan empat, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya, jika tidak, maka ia hanya boleh beristeri seorang dan inipun ia tidak boleh berbuat zhalim terhadap isteri yang seorang itu. Apabila ia masih takut pula akan berbuat zhalim terhadap isterinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya."
Sehubungan dengan ini, Syekh Muhammad Abduh mengatakan: Haram berpoligami bagi seseorang yang merasa khawatir akan berlaku tidak adil. Sebelum turun ayat 3 Surat An-Nisa' diatas, banyak sahabat yang mempunyai isteri lebih dari empat orang, sesudah ada pembatalan paling banyak poligami itu empat, maka Rasulullah memerintahkan kepada sahabat-sahabat yang mempunyai isteri lebih dari empat, untuk menceraikan isteri-isterinya, seperti disebutkan dalam hadits yang artinya: "Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW berkata kepada Ghailan bin Umaiyyah Al Tsaqafy yang waktu masuk Islam mempunyai sepuluh isteri, pilihlah empat diantara mereka dan ceraikanlah yang lainnya." (HR. Nasa'iy dan Daruquthni)
Dalam hadits lain disebutkan pula tentang pengakuan seorang sahabat bernama Qais bin Harits yang artinya: "Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan isteri saya, lalu saya ceritakan kepada Nabi Muhammad SAW maka beliau bersabda: "Pilihlah empat orang dari mereka." (HR. Abu Daud) Berdasarkan pemahaman terhadap ayat dan hadits yang membatasi poligami, maka timbul pertanyaan: "Asas perkawinan dalam Islam termasuk monogami atau poligamikah?" Dalam masalah ini ada dua pendapat: 1. Bahwa asas perkawinan dalam Islam itu Monogami. 2. Bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah Poligami Golongan pertama beralasan bahwa Allah SWT memperbolehkan poligami itu dengan syarat harus adil.
Mengenai keadilan ini harus dikaitkan dengan firman Allah SWT dalam Surat An Nisa' ayat 129 yang artinya: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang." Karena ayat tersebut menjelaskan bahwa tidak akan ada seorangpun yang dapat berbuat adil, suatu petunjuk bahwa asas pernikahan dalam Islam adalah monogami.
Bagi yang berpendapat bahwa asas pernikahan itu adalah poligami, beralasan bahwa antara ayat 3 dan ayat 129 Surat An-Nisa' tidak terdapat pertentangan. Hanya saja keadilan yang dimaksud pada kedua ayat tersebut adalah keadilan lahiriyah yang dapat dikerjakan oleh manusia bukan adil dalam hal cinta dan kasih sayang. Adil yang tidak dapat dilaksanakan oleh seseorang seperti tercantum dalam ayat 129 Surat An-Nisa' itu adalah adil dalam cinta dan jima'. Ini memang logis. Umpama dari Ahad giliran di rumah isteri pertama dengan memberikan nafkah batin, hari Senin giliran isteri kedua memberikan nafkah yang sama, demikian selanjutnya pada isteri ketiga dan keempat. Adil yang semacam ini jarang terjadi, sebab gairah untuk memberikan nafkah batin ini tidak selalu ada. Asalkan perbuatan itu tidak disengaja, maka itu tidak dosa. Golongan yang berpendapat bahwa asas melaksanakan poligami hanya dalam keadaan memaksa atau darurat,
Muhammad Rasyid Ridha mencantumkan beberapa hal yang boleh dijadikan alasan berpoligami, antara lain:
- Isteri mandul
- Isteri yang mempunyai penyakit yang dapat menghalangi suaminya untuk memberikan nafkah batin
- Bila suami mempunyai kemauan seks luar biasa (over dosis), sehingga isterinya haid beberapa hari saja mengkhawatirkan dirinya berbuat serong
- Bila suatu daerah yang jumlah perempuannya lebih banyak daripada laki-laki. Sehingga apabila tidak poligami mengakibatkan banyak wanita yang berbuat serong. Dari dua pendapat diatas, baik asas perkawinan itu monogami ataupun poligami, yang jelas Islam membolehkan adanya poligami, dengan syarat adil.
Syarat adil ini merupakan suatu penghormatan kepada wanita bila tidak dipenuhi akan mendatangkan dosa. Kalau suami tidak berlaku adil kepada isterinya, berarti ia tidak Mu'asyarah bi Al-Ma'ruf kepada isterinya, sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al-Quran Surat An-Nisa' ayat 19 yang artinya: "Dan bergaullah dengan mereka secara patut (baik)." (11) Dalam kedudukan suami sebagai pemimpin/kepala rumah tangga, ia wajib Mu'asyarah bi Al-Ma'ruf kepada isterinya. Ia tidak boleh berbuat semena-mena terhadap isterinya, karena dalam pergaulan hidup berumah tangga, isteri boleh menuntut pembatalan akad nikah dengan jalan khulu', bila suami tidak mau atau tidak mampu memberi nafkah, atau tidak berlaku adil, atau suami berbuat serong, penjudi, pemabuk, dan sebagainya, dan isteri tidak rela (lihat Surat Al-Baqarah ayat 229). Akibat khulu' suami tidak bisa ruju' tanpa persetujuan bekas isteri. Itulah konsekwensi bagi suami sebagai kepala rumah tangga yang tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya, yang berarti ia tidak bergaul secara patut/baik terhadap isterinya.
No comments:
Post a Comment