Thursday, December 13, 2012

Ikatan Pelajar Muhammadiyah

Ikatan Pelajar Muhammadiyah

Ikatan Pelajar Muhammadiyah merupakan organisasi remaja dan pelajar yang merupakan organisasi otonom Muhammadiyah

Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) merupakan gerakan Islam amar makruf nahi munkar di kalangan pelajar yang ditujukan kepada dua bidang, pertama perorangan dan kedua masyarakat.

Kelahiran Ikatan Pelajar Muhammadiyah memiliki dua nilai strategis, yaitu:
Pertama, IPM sebagai  aksentuator gerakan dakwah amar makruf nahi munkar Muhammadiyah di kalangan pelajar (bermuatan pada membangun kekuatan pelajar menghadapi tantangan eksternal).
Kedua,  IPM sebagai lembaga kaderisasi Muhammadiyah yang dapat membawakan misi Muhammadiyah di masa yang akan datang.

  1. Gerakan Cinta Al-Qur’an: Gerakan cinta Al-Qur’an adalah sebuah gerakan pembudayaan tradisi membaca dan mengkaji Al Qur’an di kalangan pelajar.
  2. Gerakan Iqra dan Sadar Media: Gerakan Iqro’ dan sadar Media adalah sebuah gerakan pembudayaan tradisi membaca dan menulis di kalangan pelajar.
  3. Gerakan Sekolah Kreatif (GSK): Sekolah Kreatif merupakan suatu proses pendidikan yang disusun secara terpadu meliputi penyadaran, pemberdayaan, dan pembelaan terhadap kader IPM.
  4. Gerakan Advokasi Pelajar: Pelajar sebagai bagian dari warga Negara dalam kehidupan masyarakat dan bernegara relative termarginalkan (dilupakan, disingkirkan) dan menjadi objek kebijakan kekuasaan yang tidak pro pelajar.
  5. Gerakan Equal Access (GEA): Merupakah Gerakan Equal Access adalah gerakan untuk memberikan peluang dan akses yang sama bagi semua anggota ikatan dan pelajar umumnya dalam melakukan aktifitas perjuangan dan kesehariannya
  6. Gerakan Wirausaha: Gerakan wirausaha merupakan gerakan yang dicetuskan untuk mengasah kemandirian pelajar dan organisasi terutama dalam hal financialEnterpreneurshipmerupakan asas gerakan ini, sehingga organisasi tidak hanya berhenti pada donatur dan dana pemerintah.

Maksud dan Tujuan Ikatan Pelajar Muhammadiyah
“Terbentuknya pelajar muslim yang berilmu, berakhlak mulia, dan terampil dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.
(AD IPM Pasar 6 hasil Tanfidz Muktamar XVII)

Penjabaran Maksud dan Tujuan IPM
  1. Keilmuan (knowledge)
  2. Akhlaq (morality)
  3. Terampil (skill)

PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

Pendidikan Muhammadiyah
Oleh: Rio Alvin


Pengkajian dan penelitian tentrang Muhammadiyah tidak ada habis-habisnya. Muhammadiyah ibarat sebuah rumah besar yang bisa dilihat dari berbagai sudut, sehingga memunculkan banyak objek penelitian yang sangat penting untuk di teliti. Apalagi Muhammadiyah itu bukan hanya menggarap bidang dakwah (Islam) semata, melainkan suatu gerakan praksis yang membumikan ajaran Islam dalam realitas sosial yang nyata (Drs. Haedar nasir, Msi).

Pernyataan haedar nasir diatas yang juga salah seorang pimpinan pusat Muhammadiyah bukanlah sebuah kata-kata isapan jempol belaka. Karena dari pernyataan “Rumah besar yang dapat diteliti dari berbagai sudut” memunculkan keunikan tersendiri bagi Muhammadiyah. Bagaimana tidak bahkan Nurcholis Madjid (Alm) sendiri pernah memuji gerakan Muhammadiyah sebagai “cerita sukses umat Islam khususnya dalam bidang pendidikan dan merupakan kesuksesan terbesar dalam gerakan praksis sosial yang telah melahirkan ribuan amal usaha (lembaga pendidikan) yang tersebar di seluruh penjuru tanah air.
Berdasarkan data terbaru (Profil Muhammadiyah) amal usaha Muhammadiyah si bidang pendidikan berjumlah 5.797 buah, merupakan angka yang cukup fantastis untuk sebuah lembaga pendidikan yang dinaungi dalam satu payung organisasi dengan rincian ; 1132 Sekolah Dasar ; 1769 Madrasah Ibtidaiyah ; 1184 Sekolah Menengah Pertama; 534 Madrasah Tsanawiyah ; 511 Sekolah Menengah Atas ; 263 Sekolah Menengah Kejuruan ; 172 Madrasah Aliyah ; 67 Pondok Pesantren ; 55 Akademi ; 4 Politeknik ; 70 Sekolah Tinggi dan 36 Universitas yang tersebar di seluruh Indonesia.
Total jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah sebanyak itu merupakan bilangan yang cukup fantastis bagi sebuah organisasi sosial keagamaan dimanapun. Apalagi keberadaan lembaga pendidikan tersebut merupakan pengejawantahan dari model pemahaman keagamaan (keIslaman) di Muhammadiyah. Inilah yang kemudian menjadi sebuah pertanyaan, pemahaman atau idiologi apa yang diterapkan oleh Muhammadiyah dalam mengurusi lembaga pendidikan yang sebesar itu. Mungkin langsung timbul sebuah jawaban dari pertanyaan tersebut “tentu saja idiologi Islam yang di gunakan” karena Muhammadiyah berasaskan Islam (AD/ART Muhammadiyah).
Namun muncul kemudian pertanyaan “mengapa Muhammadiyah dengan idiologi Islam dalam mengurusi lembaga pendidikanya dan organisasinya yang mendekati umur seabad mengalami stagnasi dalam kegiatan tjdid dan tanzihnya. Padahal dengan semngat tajdid dan tanzih lah Muhammadiyah tersebut dilahirkan. Maka pada akhirnya bermunculanlah kritikan bahwa Muhammadiyah telah mengingkari (disorientasi) cita-citanya sebagai gerakan tajdid dan tanzih dengan semangat pembaharuan menjadi “kemapanan”  (established) yang pada akhir kritik menyebutkan bahwa Muhammadiyah ibarat “seekor gajah bengkak”. Maka mendaratlah semua kritikan kepada lembaga pendidikan. Karena pada dasarnya lembaga pendidikanlah yang menentukan masa depan sebuah gerakan, organisiasi, bahkan bangsa sekalipun ditentukan oleh pendidikan bagi masa depannya. Untuk itu pengkajian dan penelitian lebih intensif perlu dilakukan pada lembaga pendidikan Muhammadiyah demi keberlangsungan gerakan Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan dakwah Islam yang notabenenya lembaga pendidikan Muhammadiyah merupakan pencetak kader gerakan Muhammadiyah.
Maka perlu dikaji lebih dalam lagi seperti apa lembaga pendidikan Muhammadiyah mulai dari sejarah berdirinya sampai dengan sistem atau idiologi apa yang sebenarnya digunakan oleh Muhammadiyah untuk mengelola lembaga pendidikannya sekarang sadar ataupun tidak sehingga muncul kritikan “gajah bengkak “ pada Muhammadiyah.

SEJARAH BERDIRINYA LEMBAGA PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

Sebenarnya jika dikaji lebih dalam, berdirinya Muhammadiyah juga didasari oleh faktor pendidikan. Sutarmo, Mag dalam bukunya Muhammadiyah, Gerakan Sosisal, Keagamaan Modernis mengatakan bahwa Muhammadiyah didirikan oleh KHA. Dahlan didasari oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berkaitan dengan ajaran Islam itu sendiri secara menyeluruh dan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada di luar Islam. Maka pendidikan Muhammadiyah adalah salah satu faktor internal yang mendasari Muhammadiyah didirikan. Kita ketahui bahwa pada masa awal berdirinya Muhammadiyah, lembaga-lembaga pendidikan yang ada dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar sistem pendidikan. Dua sistem pendidikan yang berkembang saat itu, pertama adalah sistem pendidikan tradisional pribumi yang diselenggarakan dalam pondok-pondok pesantren dengan Kurikulum seadanya. Pada umumnya seluruh pelajaran di pondok-pondok adalah pelajaran agama. Proses penanaman pendidikan pada sistem ini pada umumnya masih diselenggarakan secara tradisional, dan secara pribadi oleh para guru atau kyai dengan menggunakan metode srogan (murid secara individual menghadap kyai satu persatu dengan membawa kitab yang akan dibacanya, kyai membacakan pelajaran, kemudian menerjemahkan dan menerangkan maksudnya) dan weton (metode pengajaran secara berkelompok dengan murid duduk bersimpuh mengelilingi kyai juga duduk bersimpuh dan sang kyai menerangkan pelajaran dan murid menyimak pada buku masing-masing atau dalam bahasa Arab disebut metode Halaqah) dalam pengajarannya. Dengan metode ini aktivitas belajar hanya bersifat pasif,  membuat catatan tanpa pertanyaan, dan membantah terhadap penjelasan sang kyai adalah hal yang tabu. Selain itu metode ini hanya mementingkan kemampuan daya hafal dan membaca tanpa pengertian dan memperhitungkan daya nalar. Kedua adalah pendidikan sekuler yang sepenuhnya dikelola oleh pemerintah kolonial dan pelajaran agama tidak diberikan.
Bila dilihat dari cara pengelolaan dan metode pengajaran dari kedua sistem pendidikan tersebut, maka perbedaannya jauh sekali. Tipe pendidikan pertama menghasilkan pelajar yang minder dan terisolasi dari kehidupan modern, akan tetapi taat dalam menjalankan perintah agama, seangkan tipe kedua menghasilkan para pelajar yang dinamis dan kreatif srta penuh percaya diri, akan tetapi tidak tahu tentang agama, bahkan berpandangan negatif terhadap agama.
Maka atas dasar dua sistem pendidikan di atas KHA. Dahlan kemudian dalam mendirikan lembaga pendidikan Muhammadiyah coba menggabungkan hal-hal yang posistif dari dua sistem pendidikan tersebut. KHA. Dahlan kemudian coba menggabungkan dua aspek yaitu, aspek yang berkenaan secara idiologis dan praktis. Aspek idiologisnya yaitu mengacu kepada tujuan pendidikan Muhammadiyah, yaitu utnuk membentuk manusia yang berakhlak mulia, pengetahuan yang komprihensif, baik umum maupun agama, dan memiliki keasadaran yang tinggi untuk bekerja membangun masyrakat (perkembangan filsafat dalam pendidikan Muhmmadiyah, syhyan rasyidi). Sedangkan aspek praktisnya adalah mengacu kepada metode belajar, organisasi sekolah mata pelajaran dan kurikulum yang disesuaikan dengan teori modern. Maka inilah sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah yang jika disimpulkan ihwal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah untuk mencetak ulama atau pemikir yang mengedepnkan tajdid atau tanzih dalam setiap pemikiran dan gerakannya bukan ulama atau pemikir yang say yespada kemapanan yang sudah ada (established) karena KHA. Dahlan dalam memadukan dua sistem tersebut coba untuk menciptakan ulama/pelajar yang dinamis dan kreatif serta penuh percaya diri dan taat dalam menjalankan perintah agama.

REALITA SISTEM PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH JELANG SATU ABAD

Sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah diatas telah menunjukkan  kepada kita bahwa pada awalnya lembaga pendidikan Muhmmadiyah itu didasari atas realita pendidikan dengan kedua sistem tersebut tidak mampu mencapai tujuan pendidikan Muhmmadiyah untuk mencetak manusia yang mampu mengusung tajdid dan tnajih gerakan bahkan pula tidak mampu mencapai tujuan pendidikan dalam arti khusu yaitu khusus yaitu pendidikan sebagai proses pembentukan dan pengembangan jiwa. Model pendidikan seperti itu hanya menempatkan objek didik sebagai gudang kosong atau murid dianggap berada dalam kebodohan absolut (basolute ignorance). Menyadari dua sistem tersebut tidak akan mampu mencapai tujuan pendidikan Muhmmadiyah maka KHA. Dahlan merumuskan sebuah sistem baru model pendidikan dengan menggabungkan sistem posistif dari dua sistem tersebut demi mencetak manusia yang mempunyai landasan gerakan tjdid dan tanzih dalam koridor Islam, dan mengesampingkan status sosial maupun fasilitas yamg ada.
Tetapi apa yang dapat kita lihat saat ini sungguh merupakan kebalikan dari sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhmmadiyah. Lembaga pendidikan Muhmmadiyah yang ada saat ini ternyata lebih mementingkan sarana fasilitas yang akan membawa nama besar sekolah untuk menggapai yang namanya prestise dan untuk menarik banyak orang masuk ke lembaga pendidikan tersebut dan mengesampingkan seperti apa manusia yang akan dihasilkan dikemudian kelak. Sepeti yang disampaiakan oleh Prof. Azyumardi Azra dalam bukunya Pendidikan Islam, Tradisidan Modernisasi , Menuju Mellinium Baru mengatakan bahwa “ di Indonesia belajar pada sebuah lembaga pendidikan ibarat memilih sebuah hotel untuk menginap. Semakin mewah hotel yang dipilih maka semakin tinggi prestise yang didapat padahal esensi dari semua hotel adalah sama hanya sebagai tempat menginap”.  Di tambahkannya lagi bahwa diIndonesia belajar ke sebuah perguruan pendidikan pertama-tama adalah untuk mengejar status dan selembar ijazah, bukan keahlian, keterampilan dan profesionalisme. Tidak bisa kita nafikan bahwa fakta yang ada dilapangan khusunya di beberapa perguruan Muhammadiyah sendiri lebih mengedepankan status kemewahan fasilitas dan berapa jumlah siswa yang mendaftar ke sekolah tersebut sampai dengan lulus dalam sastu tahun pengajaran tanpa melihat sudah sejauh mana manusia-manusia lulusan itu mampu berkompetisi di dunia luar. Maka mahfumlah kita apabila kader-kader gerakan semakin hari semakin sulit didapatkan khususnya kader tajdid dan tanzih.
Belum lagi kita menjumpai bahwa di beberapa perguruan Muhammadiyah masih sering menggunakan metode sorogan dan wton tetapi dengan gaya baru. Tidak lagi duduk bersimpuh sudah duduk dikursi empuk, tidak lagi menggunakan kitab tetapi menggunakan alat-alat canggih yang semakin membuat si guru semakin nyaman duduk di kursi empuknya dan hanya menerangkan pelejaran dari kursinya tersebut. Peserta didik yang ada hanya menjadi subjek didik yang pasif tanpa adanya proses dialogis dalam teknik pengajaran. Disinilah terjadinya stagnasi terhadap pencetakan kader tadi.  Para subjek didik terus dianggap sebagai seorang yang memiliki kebodohan absolut. Meminjam istilah yang diperkenalkan paulo fereire, sistem yang banyak digunakan oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah adalah “Banking Concept of Education”(konsep pendidikan Bank)”, yang akan mematikan potensi kreatifitas berpikir subjek didik, dan posisi subjek didik hanya sebagai gudang penyimpanan (Banking Concept) yang tidak tahu untuk apa barang yang disimpan digudang otak mereka.
            Maka pertanyaan “apa sebenarnya sistem yang digunakan oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah sudah dapat terjawab. Jika kita lihat sistem pendidikan Muhmmadiyah yang ada sekarang lebih condong kepada sistem Liberal di satu sisi dan disisi lain sistem konservatif.  Sistem liberal dalam pengelolaan sekolah dan sistem konservatif dalam sistem pengajaran. Seperti yang kita ketahui bahwa sistem pendidikan liberal lebih memecahkan masalah pendidikan dengan usaha “Reformasi Kosmetik” (Pendidikan Popular) yang lebih menekankan fasilitas baru, memodernkan peralatan sekolah serta berbagai usaha untuk meningkatkan rasio murid-guru. Sedangkan sistem pendidikan konservatif adalah sebuah sistem pendidikan yang seperti dikatakan diatas (sorogan dan weton) menempatkan murid berada dlam kebodohan absolut dan guru dalam kebenaran absolut sehingga murid tidak di perkenankan untuk berpikir, hanya menerima pelajaran dari si guru dan ini merupakan sebuah kemapanan yang harus di prtahankan.
Jelas sudah terjawab, mengapa kader tajdid dan tanzih serta produk tajdid Muhammadiyah mengalami kemunduran, karena sistem pendidikan yang digunakan saat ini adalah sistem yang mendukung untuk mematikan kreatifitas berfikir. Maka kritikan yang mengatakan bahwa Muhammadiyah seperti “Gajah Bengkak”  tidak salah diberikan, karena dengan fasilitas pendidikan yang cukup fantastis dan luar biasa banyak ternyata tidak mapu untuk melakukan gerak dinamis.

QUO VADIS SISTEM PENDIDIKAN MUHMMADIYAH

Solusi untuk menjawab ini semua sebenarnya sudah dijawab dan dicontohkan oleh KHA. Dahlan sendiri ketika awal mendirikan lembaga pendidikan Muhammadiyah seperti yang telah dijelaskan diatas. Qou Vadis sistem pendidikan Muhmmadiyah adalah jalan satu-satunya yang harus dilakukan. Contohnya sudah dilakukan oleh KHA.Dahlan sendiri dengan membuat sebuah terobosan baru dalam sistem pendidikan saat itu, maka Muhmmadiyah saat ini yang umurnya menjelang satu abad juga harus melakukan terobosan baru dalam sistem pendidikan yang ada (Tajdid Pendidikan), agar kader tajdid dan tanzih serta ciri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid dan tanzih tidak hilang sehingga cita-cita lembaga pendidikan Muhmmadiyah segera terwujud.

Gerakan Islam Muhammadiyah


Gerakan Islam Muhammadiyah



Muhammadiyah
Gerakan Islam Muhammadiyah

Ade Subandi, Muhammadiyah merupakan salah satu orgnisasi Islam pembaharu di Indonesia. Gerakan Muhammadiyah yang dibangun oleh K.H. Ahmad Dahlan sesungguhnya merupakan salah satu mata rantai yang panjang dari gerakan pembaharuan Islam yang dimulai sejak tokoh pertamanya,
yaitu Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Sayyid Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan sebagainya. Pengaruh gerakan pembaharuan tersebut terutama berasal dari Muhammad Abduh melalui tafsirnya, Al-Manar, suntingan dari Rasyid Ridha serta majalah Al-Urwatul Wustqa.
Tokoh Pendirinya
Pendiri Muhammadiyah adalah K.H. Ahmad Dahlan. Ia lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta, tahun 1868 M dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya adalah K.H. Abubakar, seorang Khatib masjid Besar Kesultanan Yogyakarta, yang apabila dilacak silsilahnya sampai kepada Maulana Malik Ibrahim. Ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim, Penghulu kesultanan Yogyakarta. Jadi, kedua orang tua K.H. Ahmad
Dahlan juga merupakan keturunan ulama.
Meskipun Muhammad Darwis berasal dari kalangan keluarga yang cukup terkemuka, tetapi ia tidak sekolah di Gubernemen (waktu itu), melainkan diasuh dan dididik mengaji Alquran dan dasar-dasar ilmu agama Islam oleh ayahnya sendiri di rumah. Hal itu karena pada waktu itu ada suatu pendapat umum bahwa barang siapa memasuki sekolah Gubernemen,
maka dianggap kafir atau Kristen.
Pada usia delapan tahun ia telah lancar membaca Alquran hingga khatam. Kemudian ia belajar fikih kepada K.H. Muhammad Saleh, dan nahwu kepada K.H. Muhsin. Keduanya adalah kakak ipar Muhammad Darwis sendiri. Ia juga berguru kepada K.H. Muhammad Nur dan K.H. Abdul Hamid dalam berbagai ilmu.
Pada tahun 1889 M ia dinikahkan dengan saudara sepupunya, Siti Walidah, putri K.H. Muhammad Fadil, Kepala Penghulu Kesultanan Yogyakarta. Beberapa bulan setelah pernikahannya, atas anjuran ayah bundanya, Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji. Ia tiba di Mekah pada bulan Rajab 1308 H (1890 M). Setelah menunaikan umrah, Ia bersilaturahmi dengan para ulama, baik dari Indonesia maupun Arab. Di
antaranya, ia mendatangi ulama mazhab Syafii Bakri Syata’ dan mendapat ijazah nama Haji Ahmad Dahlan. Ia telah berganti nama, dan juga bertambah ilmunya. Sepulang dari ibadahnya itu, ia membantu ayahnya mengajar santri-santri remaja. Sehingga, ia mendapat sebutan K.H.
Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1896 M ia diangkat menjadi khatib di masjid Besar oleh kesultanan Yogyakarta dengan gelar “khatib amin”. Ia juga berdagang batik ke kota-kota di Jawa. Ia pernah diberi modal oleh orang tuanya sebanyak F. 500,00 pada tahun 1892, tetapi sebagian besar digunakan untuk membeli kitab-kitab Islam. Dalam perjalanan dagang itu, ia selalu b
ersilaturahmi kepada para ulama setempat dan membicarakan perihal agama Islam dan masyarakatnya. Perjalanan demikian bertujuan untuk mempelajari sebab-sebab kemunduran kaum muslimin dan mencari jalan keluar untuk mengatasinya.
Tahun 1909 K.H. Ahmad Dahlan bertemu dengan Dr. Wahidin S
udirohusodo di Ketandan, Yogyakarta. Ia menanyakan berbagai hal tentang perkumpulan Budi Utomo dan tujuannya. Setelah mendengarkan penjelasan darinya, ia ingin bergabung dengan organisasi tersebut. Ia m
ulai belajar berorganisasi. Pada tahun 1910, ia pun menjadi anggota ke-770 perkumpulan Jami’at Khair Jakarta. Ia tertarik kepada organisasi ini karena organisasi ini telah lebih awal membangun sekolah-sekolah agama dan bahasa Arab, di samping bergerak dalam bidang sosial dan giat membina hubungan dengan pemimpin-pemimpin di negara-negara Islam yang telah maju. Dari pengalamannnya yang ia dapatkan, ia m
enyadari bahwa usaha perbaikan masyarakat itu tidak mudah jika dilaksanakan sendirian, melainkan dengan berorganisasi bekerja sama dengan banyak orang.
Berdirinya Muhammadiyah
Suatu ketia Ia menyampaikan usaha pendidikan setalah selesai
menyampaikan santapan rohani pada rapat pengurus Budi Utomo cabang Yogyakarta. Ia menyampaikan keinginan mengajarkan agama Islam kepada para siswa Kweekschool Gubernamen Jetis yang dikepalai oleh R.
Boedihardjo, yang juga pengurus Budi Utomo. Usul itu disetujui, dengan syarat di luar pelajaran resmi. Lama-lama peminatnya banyak, hingga kemudian mendirikan sekolah sendiri. Di antara para siswa Kweekschool Jetis ada yang memperhatikan susunan bangku, meja, dan papan tulis. Lalu, mereka menanyakan untuk apa, dijawab untuk sekolah anak-anak Kauman dengan pelajaran agama Islam dan pengetahuan sekolah biasa.
Mereka tertarik sekali, dan akhirnya menyarankan agar penyelelenggaraan ditangani oleh suatu organisasi agar berkelanjutan sepeninggal K.H. Ahmad Dahlan kelak.
Sebenarnya, mengenai pendirian sekolah itu telah dibicarakan dan dibantu oleh pengurus Budi Utomo. Setelah pelaksanaan penyelenggaraan sekolah itu sudah mulai teratur, kemudian dipikirkan
tentang organisasi pendukung terselenggaranya kegiatan sekolah itu. Dipilihlah nama “Muhammadiyah” sebagai nama organisasi itu dengan harapan agar para anggotanya dapat hidup beragama dan bermasyarakat sesuai dengan pribadi Nabi Muhammad saw. Penyusunan anggaran dasar Muhamadiyah banyak mendapat bantuan dari R. Sosrosugondo, guru bahasa Melayu Kweekschool Jetis. Rumusannya dibuat dalam bahasa
melayu dan Belanda. Kesepakatan bulat pendirian Muhamadiyah terjadi pada tanggal 18 November 1912 M atau 8 Zulhijah 1330 H. Tgl 20 Desember 1912 diajukanlah surat permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, agar perserikatan ini diberi izin resmi dan diakui sebagai suatu badan hukum. Setelah memakan waktu sekitar 20 bulan, akhirnya pemerintah Hindia Belanda mengakui Muhammadiyah
sebagai badan hukum, tertuang dalam Gouvernement Besluit tanggal 22 Agustus 1914, No. 81, beserta alamporan statuennya.
Arti Muhammadiyah
1. Arti Bahasa (Etimologis)
Muhamadiyah berasal dari kata bahasa Arab “Muhamadiyah”, yaitu nama
nabi dan rasul Allah yang terkhir. Kemudian mendapatkan “ya” nisbiyah, yang artinya menjeniskan. Jadi, Muhamadiyah berarti “umat Muhammad saw.” atau “pengikut Muhammad saw.”, yaitu semua orang Islam yang mengakui dan meyakini bahwa Nabi Muhammad saw. adalah hamba dan pesuroh Allah yang terakhir.
2. Arti Istilah (Terminologi)
Secara istilah, Muhamadiyah merupakan gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi munkar, berakidah Islam dan bersumber pada Alquran dan sunah, didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Zulhijah 1330 H, bertepatan 18 November 1912 Miladiyah di kota Yogyakarta.
Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah oleh pendirinya dengan maksud untuk berpengharapan baik, dapat mencontoh dan meneladani jejak perjuangan Rasulullah saw. dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, semata-mata demi terwujudnya ‘Izzul Islam wal muslimin, kejayaan Islam sebagai realita dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realita.
Maksud dan Tujuan Muhammadiyah
Rumusan maksud dan tujuan Muhammadiyah sejak berdiri hingga sekarang ini telah mengalami beberapa kali perubahan redaksional, perubahan susunan bahasa dan istilah. Tetapi, dari segi isi, maksud dan tujuan Muhammadiyah tidak berubah dari semula.
Pada waktu pertama berdirinya Muhamadiyah memiliki maksud dan tujuan sebagi berikut:
1. Menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad saw. kepada
penduduk bumi-putra, di dalam residensi Yogyakarta.
2. Memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.
Hingga tahun 2000, terjadi tujuh kali perubahan redaksional maksud dan tujuan Muhamadiyah. Dalam muktamarnya yang ke-44 yang diselenggarakan di Jakarta bulan Juli 2000 telah ditetapkan maksud dan tujuan Muhamadiyah, yaitu Menegakkan dan menjunjung tinggi agama
Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah SWT.
Amal Usaha Muhammadiyah
Usaha yang pertama melalui pendidikan, yaitu dengan mendirikan sekolah Muhammadiyah. Selain itu juga menekankan pentingnya
pemurnian tauhid dan ibadah, seperti:
1. Meniadakan kebiasaan menujuhbulani (Jawa: tingkeban), yaitu selamatan bagi orang yang hamil pertama kali memasuki bulan ke tujuh. Kebiasaan ini merupakan peninggalan dari adat-istiadat Jawa kuno, biasanya diadakan dengan membuat rujak dari kelapa muda yang belum berdaging yang dikenal dengan nama cengkir dicampur dengan berbagai
bahan lain, seperti buah delima, buah jeruk, dan lain-lain. Masing-masing daerah berbeda-beda cara dan macam upacara tujuh bulanan ini, tetapi pada dasarnya berjiwa sama, yaitu dengan maksud mendoakan bagi keselamatan calon bayi yang masih berada dalam kandungan itu.
2. Menghilangkan tradisi keagamaan yang tumbuh dari kepercayaan Islam sendiri, seperti selamatan untuk menghormati Syekh Abdul Qadir
Jaelani, Syekh Saman, dll yang dikenal dengan manakiban. Selain itu, terdapat pula kebiasaan membaca Barzanji, yaitu suatu karya puisi serta syair-syair yang mengandung banyak pujaan kepada Nabi Muhammad saw. yang disalahartikan. Dalam acara-acara semacam ini, Muhammadiyah menilai, ada kecenderungan yang kuat untuk mengultusindividukan seorang wali atau nabi, sehingga hal itu
dikhawatirkan dapat merusak kemurnian tauhid. Selain itu, ada juga acara yang disebut “khaul”, atau yang lebih populer disebut khal, yaitu memperingati hari dan tanggal kematian seseorang setiap tahun sekali, dengan melakukan ziarah dan penghormatan secara besar-besaran terhadap arwah orang-orang alim dengan upacara yang berlebih-lebihan. Acara seperti ini oleh Muhammadiyah juga dipandang dapat
mengerohkan tauhid.
3. Bacaan surat Yasin dan bermacam-macam zikir yang hanya khusus dibaca pada malam Jumat dan hari-hari tertentu adalah suatu bid’ah.
Begitu juga ziarah hanya pada waktu-waktu tertentu dan pada kuburan tertentu, ibadah yang tidak ada dasarnya dalam agama, juga harus ditinggalkan. Yang boleh adalah ziarah kubur dengan tujuan untuk mengingat adanya kematian pada setiap makhluk Allah.
Mendoakan kepada orang yang masih hidup atau yang sudah mati dalam Islam sangat dianjurkan. demikian juga berzikir dan membaca Alquran
juga sangat dianjurkan dalam Islam. Akan tetapi, jika di dalam berzikir dan membaca Alquran itu diniatkan untuk mengirim pahala kepada orang yang sudah mati, hal itu tidak berdasa pada ajaran agama, oleh karena itu harus ditinggalkan. Demikian juga tahlilan dan selawatan pada hari kematian ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000 hari, hal itu merupakan bid’ah yang mesti ditinggalkan dari perbuatan Islam. Selain itu, masih banyak lagi hal-hal yang ingin diusahakan oleh Muhammadiyah dalam
memurnikan tauhid.
Perkembangan Muhammadiyah
1. Perkembanngan secara Vertikal
Dari segi perkembangan secara vertikal, Muhammadiyah telah berkembang ke seluruh penjuru tanah air. Akan tetapi, dibandingkan dengan perkembangan organisasi NU, Muhammadiyah sedikit
ketinggalan. Hal ini terlihat bahwa jamaah NU lebih banyak dengan jamaah Muhammadiyah. Faktor utama dapat dilihat dari segi usaha Muhammadiyah dalam mengikis adat-istiadat yang mendarah daging di kalangan masyarakat, sehingga banyak menemui tantangan dari masyarakat.
2. Perkembangan secara Horizontal
Dari segi perkembangan secara Horizontal, amal usaha Muhamadiyah telah banyak berkembang, yang meliputi berbagai bidang kehidupan.
Perkembangan Muhamadiyah dalam bidang keagamaan terlihat dalam upaya-upayanya, seperti terbentukanya Majlis Tarjih (1927), yaitu l
embaga yang menghimpun ulama-ulama dalam Muhammadiyah yang secara tetap mengadakan permusyawaratan dan memberi fatwa-fatwa dalam bidang keagamaan, serta memberi tuntunan mengenai hukum. Majlis ini banyak telah bayak memberi manfaat bagi jamaah dengan
usaha-usahanya yang telah dilakukan:
• Memberi tuntunan dan pedoman dalam bidang ubudiyah sesuai dengan contoh yang telah diberikan Rasulullah saw.
• Memberi pedoman dalam penentuan ibadah puasa dan hari raya dengan
jalan perhitungan “hisab” atau “astronomi” sesuai dengan jalan perkembangan ilmu pengetahuan modern.
• Mendirikan mushalla khusus wanita, dan juga meluruskan arah kiblat yang ada pada masjid-masjid dan mushalla-mushalla sesuai dengan arah yang benar menurut perhitungan garis lintang.
• Melaksanakan dan menyeponsori pengeluaran zakat pertanian, perikanan, peternakan, dan hasil perkebunan, serta amengatur pengumpulan dan pembagian zakat fitrah.
• Memberi fatwa dan tuntunan dalam bidang keluarga sejahtera dan keluarga berencana.
• Terbentuknya Departemen Agama Republik Indonesia juga termasuk peran dari kepeloporan pemimpin Muhammadiyah.
• Tersusunnya rumusan “Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah”, yaitu suatu rumusan pokok-pokok agama Islam secara sederhana, tetapi menyeluruh.
Dalam bidang pendidikan, usaha yang ditempuh Muhammadiyah meliputi:
• mendirikan sekolah-sekolah umum dengan memasukkan ke dalamnya ilmu-ilmu keagamaan, dan
• mendirikan madrasah-madrasah yang juga diberi pendidikan pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan umum.
Dengan usaha perpaduan tersebut, tidak ada lagi pembedaan mana ilmu agama
dan ilmu umum. Semuanya adalah perintah dan dalam naungan agama.
Dalam bidang kemasyarakatan, usaha-usaha yang telah dilakukan Muhammadiyah meliputi:
• Mendirikan rumah-rumah sakit modern, lengkap dengan segala peralatan, membangun balai-balai pengobatan, rumah bersalin, apotek, dan sebagainya.
• Mendirikan panti-panti asuhan anak yatim, baik putra maupun putri untuk
menyantuni mereka.
• Mendirikan perusahaan percetakan, penerbitan, dan toko buku yang banyak memublikasikan majalah-majalah, brosur dan buku-buku yang sangat membantu penyebarluasan paham-paham keagamaan, ilmu, dan kebudayaan Islam.
• Pengusahaan dana bantuan hari tua, yaitu dana yang diberikan pada saat seseorang tidak lagi bisa abekerja karena usia telah tua atau cacat jasmani.
• Memberikan bimbingan dan penyuluhan keluarga mengenai hidup
sepanjang tuntunan Ilahi.
Dalam bidang politik, usaha-usaha Muhammadiyah meliputi:
• Menentang pemerintah Hindia Belanda yang mewajibkan pajak atas i
badah kurban. Hal ini berhasil dibebaskan.
• Pengadilan agama di zaman kolonial berada dalam kekuasaan penjajah yang tentu saja beragama Kristen. Agar urusan agama di Indonesia, yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, juga dipegang oleh orang
Islam, Muhammadiyah berjuang ke arah cita-cita itu.
• Ikut memelopori berdirinya Partai Islam Indonesia. Pada tahun 1945 termasuk menjadi pendukung utama berdirinya partai Islam Masyumi dengan gedung Madrasah Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta sebagai tempat kelahirannya.
• Ikut menanamkan rasa nasionalisme dan cinta tanah air Indonesia di
kalangan umat Islam Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia dalam tablig-tablighnya, dalam khotbah ataupun tulisan-tulisannya.
• Pada waktu Jepang berkuasa di Indonesia, pernah seluruh bangsa Indonesia diperintahkan untuk menyembah dewa matahari, tuhan bangsa Jepang. Muhammadiyah pun diperintah untuk melakukan Sei-kerei, membungkuk sebagai tanda hormat kepada Tenno Heika,
tiap-tiap pagi sesaat matahari sedang terbit. Muhammadiyah menolak perintah itu.
• Ikut aktif dalam keanggotaan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) dan menyokong sepenuhnya tuntutan Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
agar Indonesia mempunyai parlemen di zaman penjajahan. Begitu juga pada kegiatan-kegiatan Islam Internasional, seperti Konferensi Islam Asia Afrika, Muktamar Masjid se-Dunia, dan sebagainya, Muhammadiyah ikut aktif di dalamnya.
• Pada saat partai politik yang bisa amenyalurkan cita-cita perjuangan Muhammadiyah tidak ada, Muhammadiyah tampil sebagai gerakan dakwah Islam yang sekaligus mempunyai fungsi politik riil. Pada saat itu,
tahun 1966/1967, Muhammadiyah dikenal sebagai ormaspol, yaitu organisasi kemasyarakatan yang juga berfungsi sebagai partai politik.
Dengan semakin luasnya usaha-usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah, dibentuklah kesatuan-kesatuan kerja yang berkedudukan sebagai badan pembantu pemimpin persyarikatan. Kesatuan-kesatuan kerja tersebut berupa majelis-majelis dan badan-
badan. Selain majelis dan lembaga, terdapat organisasi otonom, yaitu organisasi yang bernaung di bawah organisasi induk, dengan amasih tetap memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam persyarikatan Muhammadiyah, organisasi otonom (Ortom) ini ada
beberapa buah, yaitu:
• ‘Aisyiyah
• Nasyiatul ‘Aisyiyah
• Pemuda Muhammadiyah
• Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM)
• Ikatan Mahasiswa Muhamadiyyah (IMM)
• Tapak Suci Putra Muhamadiyah
• Gerakan Kepanduan Hizbul-Wathan
Organisasi-organisasi otonom tersebut termasuk kelompok Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM). Keenam organisasi otonom ini berkewajiban mengemban fungsi sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah.
Periode Kepemimpinan Muhammadiyah
• K.H. Ahmad Dahlan (1912–1923)
• K.H. Ibrahim (1923–1932)
• K.H. Hisyam (1932–1936)
• K.H. Mas Mansur (1936–1942)
• Ki Bagus Hadikusumo (1942–1953)
• A.R. Sutan Mansyur (1952–1959)
• H.M. Yunus Anis (1959–1968)
• K.H. Ahmad Badawi (1962–1968)
• K.H. Fakih Usman/H.A.R. Fakhrudin (1968–1971)
• K.H. Abdur Razak Fakhruddin (1971–1990)
• K.H. A. Azhar Basyir, M.A. (1990–1995)
• Prof. Dr. H.M. Amien Rais/Prof. Dr. H.A. Syafii Maarif (1995–2000)
• Prof. Dr. H.A. Syafii Maarif (2000–2005)
Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah
(Keputusan Tanwir Tahun 1969 di Ponorogo)
1. Muhammadiyah adalah gerakan berasas Islam, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah
di muka bumi.
2. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad saw., sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi.
3. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan:
a. Alquran: kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw.
b. Sunnah Rasul: penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Alquran yang d
iberikan oleh Nabi Muhammad saw. dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
4. Muhammadiyah bekerja untuk teraksananya ajaran-ajaran Islam yang meliuti bidang-bidang:
a. Akidah
b. Akhlak
c. Ibadah
d. Muamalah Duniawiyah
A. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya akidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah, dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.
B. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah Rasul,
tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia.
C. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah Saw. tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.
D. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya muamalat duniawiyat (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT.
5. Muhammadiyah mengajak segenap lap
isan
bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berfilsafat Pancasila, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil, makmur dan diridhai Allah SWT. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
(Catatan: Rumusan keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah tersebut telah mendapat perubahan dan perbaikan oleh PP
Muhammadiyah atas kuasa Tanwir tahun 1970 di Yogyakarta).
Sumber: Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dalam Perspektif Historis dan Idiologis, Drs. H. Musthafa Kamal Pasha, B.Ed dan Drs. H. Ahmad Adaby Darban, S.U.

Ekspansi Keanggotaan dan Orientasi Amal-usaha Muhammadiyah Oleh: Muhadjir Effendy

Ekspansi Keanggotaan dan Orientasi Amal-usaha Muhammadiyah
Oleh: Muhadjir Effendy

I

Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan pemabaharuan di awal paruh abad dua puluh telah menunjukkan eksistensinya sebagai organisasi dinamis, cerdas dan kreatif dalam melihat tanda-tanda jaman. Sosok Kyai Dahlan mewakili kecerdasan itu. Beliau tampil elegan dengan gaya pemikiran bebas, kreatif sekaligus arif. Pada dirinya tampil kesempurnaan pemikir pembaharu yang utuh. Meski kemudian melahirkan berbagai kontrofersi dan kecemasan di kalangan tua. Ia tetap tegar dan tampil penuh percaya diri. Muhammadiyah terus melangkah dengan segudang prestasi.
Tampil sebagai gerakan pembaharu, Muhammadiyah mendapatkan pengikut yang kebanyakan kaum muda yang menginginkan perubahan dari kekolotan faham agama yang jumud lagi mandeg. Percampuran faham agama dengan dogma takhayul, bid’ah dan khurafat yang melekat saat itu adalah pekerjaan besar yang dihadapi Muhammadiyah. Proses revitalisasi dengan jargon kembali kepada Quran dan Sunnah menjadi alat yang ampuh untuk membangunkan kembali umat Islam dari tidur panjangnya. Lagi-lagi Kyai Dahlan dengan semangat tajdidnya mengagetkan banyak ulama saat itu, ia dicaci sebagai kyai gila atau entah apalagi.
Masa keemasan itu kini telah hilang. Muhammadiyah kini terlihat bagai gajah gemuk, berjalan lamban dan acap tertinggal. Kelincahan dan kecepatan yang diperlihatkan kini berubah, tak ada lagi keragaman pendapat, apalagi produk tajdid, yang ada adalah keseragaman berpikir dan bertindak, mudah memaki dan menghakimi sesama dengan justifikasi agama.
Kerinduan terhadap pembaharuan yang pernah dilakukan Muhammadiyah era Kyai Dahlan kini muncul kembali seiring dengan berubahnya kondisi sosial, politik, budaya dan pendidikan. Perubahan yang terus bergulir menagih jamaah Muhammadiyah untuk berpikir cepat dalam menyikapi berbagai perubahan, baik sosial, politik, budaya, ekonomi dan pendidikan, terutama paham-paham keberagamaan jamaah. Rantai panjang birokrasi paham keagamaan kini harus direkonstruksi kembali.
Pemahaman terhadap konsep keanggotaan dalam Muhammadiyah menjadi sangat penting dan krusial ketika etika dan pranata organisasi modern juga berubah. Keanggotaan konvesional  sebuah oragnisasi yang dicirikan dengan berbagai atribut (jaket, nomor baku ) dan simbol-simbol lain  perlu ditata ulang. Karena pada kenyataanya tak sanggup menggambarkan keadaan anggota pada lapis bawah.

II


Sebagai gerakan pemikiran (State of Mind) Muhammadiyah tak perlu anggota, jaket, tertib adminsitrasi, apalagi nomor baku. Sebaliknya gerakan pemikiran ini layaknya virus terus menular dan hinggap di setiap kepala yang concern terhadap perubahan. Tak mengenal ruang dan waktu. Virus tajdid yang ditularkan Kyai Dahlan ini telah menyemangati hampir setiap gerakan Islam yang muncul belakangan. Tidak aneh jika kemudian Carl Whiteringthon menyebut Kyai Dahlan sebagai pragmatikus agama, bukan sebagai ulama. Tak bisa dibayangkan, sebagai gerakan pemikiran, Muhammadiyah telah meluas pada wilayah yang terpemanai.
Demikianpun, seorang pemikir pembaharu pastilah bukan seorang yang mengerjakan dan menawarkan konsep-konsep. Sebuah sajak, bukanlah sebuah bangun pikiran, tetapi lebih mirip kesaksian tentang pengalaman penyair. Kesaksian itu pada gilirannya memiliki berbagai sifat: refelektif, imajinatif atau juga barangkali naratif tetapi tetap dengan satu muatan yang sama: makna yang dipetik dari pohon kehidupan. Pemikir pembaharu seperti Kyai Dahlan, bukanlah seorang pengamat kehidupan, melainkan seorang yang berhadapan dengannya, menerima atau menolaknya. Kehidupan bukanlah sebuah gegenstand atau obyek tetapi sesuatu gegenueber, suatu alter ego.
Pada sisi lain Muhammadiyah juga tumbuh sebagai organisasi, keharusan sebuah organisasi adalah ketertiban dan segala sesuatu yang berbau regulasi. Karenanya sebagai organisasi, Muhammadiyah perlu anggota, ketua , pengurus, kantor, jaket, nomor baku tentu saja bendera. Berbagai usaha dilakukan. Muktamar diadakan. Berbenah menjadi organisasi profesional menjadi harapan. Termasuk mendirikan berbagai amal usaha sebagai alat merealisasikan cita-cita organisasi. Segala kelengkapan dan atribut dibutuhkan, termasuk jargon dan slogan.
Salah satu sumber kekuasaan adalah organisasi. Begitulah Galbraith menyimpulkan. Kesimpulan itu terutama berlaku di jaman ini. Kekuasaan tak lagi berasal dari kehebatan pribadi seorang tokoh. Bukan pula karena harta kekayaan. Kapitalisme modern tak ditandai oleh kekuasaan para pemegang saham, melainkan berada pada genggaman para manejer. Dominasi orang-orang yang terorganisasi itu semakin terasa, ketika urusan jadi kian majemuk. Urusan pendidikan, kesejahteraan, dakwah, kaderisasi, dan segala piranti layanan umat dan entah apalagi yang pada gilirannya hanya dapat diselesaikan oleh pelbagai orang dari pelbagai jurusan yang bergabung dalam sebentuk organisasi. Tak seorang pemimpin tunggalpun yang sanggup sendirian. Mengelola sebuah amal usaha dibutuhkan intergritas , kreasi dan kecerdasan lokal para ketua amal usaha Muhammadiyah.
Wajah Muhammadiyah sebagai gerakan pemikiran, oraganisasi dan amal usaha berkelindan dalam sebuah harmoni yang kukuh lagi serasi dalam orkestra pembaharuan dan purivikasi sebagai watak dasar.
Demikianlah presiden dipilih dan diganti, ketua PP datang dan pergi: masing-masing akhirnya tergantung pada roda arloji organisasi yang tak terlihat itu.


Pendaftaran Santri Baru PM Insan al-Muwahhid Purwokerto

SELAMAT DATANG SANTRI BARU TAHUN 2021/2022

 SELAMAT DATANG CALON SANTRI BARU PESANTREN INSAN AL-MUWAHHID PURWOKERTO Ayo daftar sekarang juga tinggal klik 👉 http://bit.ly/PSBAlmuwahhi...