Thursday, December 13, 2012

PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

Pendidikan Muhammadiyah
Oleh: Rio Alvin


Pengkajian dan penelitian tentrang Muhammadiyah tidak ada habis-habisnya. Muhammadiyah ibarat sebuah rumah besar yang bisa dilihat dari berbagai sudut, sehingga memunculkan banyak objek penelitian yang sangat penting untuk di teliti. Apalagi Muhammadiyah itu bukan hanya menggarap bidang dakwah (Islam) semata, melainkan suatu gerakan praksis yang membumikan ajaran Islam dalam realitas sosial yang nyata (Drs. Haedar nasir, Msi).

Pernyataan haedar nasir diatas yang juga salah seorang pimpinan pusat Muhammadiyah bukanlah sebuah kata-kata isapan jempol belaka. Karena dari pernyataan “Rumah besar yang dapat diteliti dari berbagai sudut” memunculkan keunikan tersendiri bagi Muhammadiyah. Bagaimana tidak bahkan Nurcholis Madjid (Alm) sendiri pernah memuji gerakan Muhammadiyah sebagai “cerita sukses umat Islam khususnya dalam bidang pendidikan dan merupakan kesuksesan terbesar dalam gerakan praksis sosial yang telah melahirkan ribuan amal usaha (lembaga pendidikan) yang tersebar di seluruh penjuru tanah air.
Berdasarkan data terbaru (Profil Muhammadiyah) amal usaha Muhammadiyah si bidang pendidikan berjumlah 5.797 buah, merupakan angka yang cukup fantastis untuk sebuah lembaga pendidikan yang dinaungi dalam satu payung organisasi dengan rincian ; 1132 Sekolah Dasar ; 1769 Madrasah Ibtidaiyah ; 1184 Sekolah Menengah Pertama; 534 Madrasah Tsanawiyah ; 511 Sekolah Menengah Atas ; 263 Sekolah Menengah Kejuruan ; 172 Madrasah Aliyah ; 67 Pondok Pesantren ; 55 Akademi ; 4 Politeknik ; 70 Sekolah Tinggi dan 36 Universitas yang tersebar di seluruh Indonesia.
Total jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah sebanyak itu merupakan bilangan yang cukup fantastis bagi sebuah organisasi sosial keagamaan dimanapun. Apalagi keberadaan lembaga pendidikan tersebut merupakan pengejawantahan dari model pemahaman keagamaan (keIslaman) di Muhammadiyah. Inilah yang kemudian menjadi sebuah pertanyaan, pemahaman atau idiologi apa yang diterapkan oleh Muhammadiyah dalam mengurusi lembaga pendidikan yang sebesar itu. Mungkin langsung timbul sebuah jawaban dari pertanyaan tersebut “tentu saja idiologi Islam yang di gunakan” karena Muhammadiyah berasaskan Islam (AD/ART Muhammadiyah).
Namun muncul kemudian pertanyaan “mengapa Muhammadiyah dengan idiologi Islam dalam mengurusi lembaga pendidikanya dan organisasinya yang mendekati umur seabad mengalami stagnasi dalam kegiatan tjdid dan tanzihnya. Padahal dengan semngat tajdid dan tanzih lah Muhammadiyah tersebut dilahirkan. Maka pada akhirnya bermunculanlah kritikan bahwa Muhammadiyah telah mengingkari (disorientasi) cita-citanya sebagai gerakan tajdid dan tanzih dengan semangat pembaharuan menjadi “kemapanan”  (established) yang pada akhir kritik menyebutkan bahwa Muhammadiyah ibarat “seekor gajah bengkak”. Maka mendaratlah semua kritikan kepada lembaga pendidikan. Karena pada dasarnya lembaga pendidikanlah yang menentukan masa depan sebuah gerakan, organisiasi, bahkan bangsa sekalipun ditentukan oleh pendidikan bagi masa depannya. Untuk itu pengkajian dan penelitian lebih intensif perlu dilakukan pada lembaga pendidikan Muhammadiyah demi keberlangsungan gerakan Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan dakwah Islam yang notabenenya lembaga pendidikan Muhammadiyah merupakan pencetak kader gerakan Muhammadiyah.
Maka perlu dikaji lebih dalam lagi seperti apa lembaga pendidikan Muhammadiyah mulai dari sejarah berdirinya sampai dengan sistem atau idiologi apa yang sebenarnya digunakan oleh Muhammadiyah untuk mengelola lembaga pendidikannya sekarang sadar ataupun tidak sehingga muncul kritikan “gajah bengkak “ pada Muhammadiyah.

SEJARAH BERDIRINYA LEMBAGA PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

Sebenarnya jika dikaji lebih dalam, berdirinya Muhammadiyah juga didasari oleh faktor pendidikan. Sutarmo, Mag dalam bukunya Muhammadiyah, Gerakan Sosisal, Keagamaan Modernis mengatakan bahwa Muhammadiyah didirikan oleh KHA. Dahlan didasari oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berkaitan dengan ajaran Islam itu sendiri secara menyeluruh dan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada di luar Islam. Maka pendidikan Muhammadiyah adalah salah satu faktor internal yang mendasari Muhammadiyah didirikan. Kita ketahui bahwa pada masa awal berdirinya Muhammadiyah, lembaga-lembaga pendidikan yang ada dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar sistem pendidikan. Dua sistem pendidikan yang berkembang saat itu, pertama adalah sistem pendidikan tradisional pribumi yang diselenggarakan dalam pondok-pondok pesantren dengan Kurikulum seadanya. Pada umumnya seluruh pelajaran di pondok-pondok adalah pelajaran agama. Proses penanaman pendidikan pada sistem ini pada umumnya masih diselenggarakan secara tradisional, dan secara pribadi oleh para guru atau kyai dengan menggunakan metode srogan (murid secara individual menghadap kyai satu persatu dengan membawa kitab yang akan dibacanya, kyai membacakan pelajaran, kemudian menerjemahkan dan menerangkan maksudnya) dan weton (metode pengajaran secara berkelompok dengan murid duduk bersimpuh mengelilingi kyai juga duduk bersimpuh dan sang kyai menerangkan pelajaran dan murid menyimak pada buku masing-masing atau dalam bahasa Arab disebut metode Halaqah) dalam pengajarannya. Dengan metode ini aktivitas belajar hanya bersifat pasif,  membuat catatan tanpa pertanyaan, dan membantah terhadap penjelasan sang kyai adalah hal yang tabu. Selain itu metode ini hanya mementingkan kemampuan daya hafal dan membaca tanpa pengertian dan memperhitungkan daya nalar. Kedua adalah pendidikan sekuler yang sepenuhnya dikelola oleh pemerintah kolonial dan pelajaran agama tidak diberikan.
Bila dilihat dari cara pengelolaan dan metode pengajaran dari kedua sistem pendidikan tersebut, maka perbedaannya jauh sekali. Tipe pendidikan pertama menghasilkan pelajar yang minder dan terisolasi dari kehidupan modern, akan tetapi taat dalam menjalankan perintah agama, seangkan tipe kedua menghasilkan para pelajar yang dinamis dan kreatif srta penuh percaya diri, akan tetapi tidak tahu tentang agama, bahkan berpandangan negatif terhadap agama.
Maka atas dasar dua sistem pendidikan di atas KHA. Dahlan kemudian dalam mendirikan lembaga pendidikan Muhammadiyah coba menggabungkan hal-hal yang posistif dari dua sistem pendidikan tersebut. KHA. Dahlan kemudian coba menggabungkan dua aspek yaitu, aspek yang berkenaan secara idiologis dan praktis. Aspek idiologisnya yaitu mengacu kepada tujuan pendidikan Muhammadiyah, yaitu utnuk membentuk manusia yang berakhlak mulia, pengetahuan yang komprihensif, baik umum maupun agama, dan memiliki keasadaran yang tinggi untuk bekerja membangun masyrakat (perkembangan filsafat dalam pendidikan Muhmmadiyah, syhyan rasyidi). Sedangkan aspek praktisnya adalah mengacu kepada metode belajar, organisasi sekolah mata pelajaran dan kurikulum yang disesuaikan dengan teori modern. Maka inilah sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah yang jika disimpulkan ihwal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah untuk mencetak ulama atau pemikir yang mengedepnkan tajdid atau tanzih dalam setiap pemikiran dan gerakannya bukan ulama atau pemikir yang say yespada kemapanan yang sudah ada (established) karena KHA. Dahlan dalam memadukan dua sistem tersebut coba untuk menciptakan ulama/pelajar yang dinamis dan kreatif serta penuh percaya diri dan taat dalam menjalankan perintah agama.

REALITA SISTEM PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH JELANG SATU ABAD

Sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah diatas telah menunjukkan  kepada kita bahwa pada awalnya lembaga pendidikan Muhmmadiyah itu didasari atas realita pendidikan dengan kedua sistem tersebut tidak mampu mencapai tujuan pendidikan Muhmmadiyah untuk mencetak manusia yang mampu mengusung tajdid dan tnajih gerakan bahkan pula tidak mampu mencapai tujuan pendidikan dalam arti khusu yaitu khusus yaitu pendidikan sebagai proses pembentukan dan pengembangan jiwa. Model pendidikan seperti itu hanya menempatkan objek didik sebagai gudang kosong atau murid dianggap berada dalam kebodohan absolut (basolute ignorance). Menyadari dua sistem tersebut tidak akan mampu mencapai tujuan pendidikan Muhmmadiyah maka KHA. Dahlan merumuskan sebuah sistem baru model pendidikan dengan menggabungkan sistem posistif dari dua sistem tersebut demi mencetak manusia yang mempunyai landasan gerakan tjdid dan tanzih dalam koridor Islam, dan mengesampingkan status sosial maupun fasilitas yamg ada.
Tetapi apa yang dapat kita lihat saat ini sungguh merupakan kebalikan dari sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhmmadiyah. Lembaga pendidikan Muhmmadiyah yang ada saat ini ternyata lebih mementingkan sarana fasilitas yang akan membawa nama besar sekolah untuk menggapai yang namanya prestise dan untuk menarik banyak orang masuk ke lembaga pendidikan tersebut dan mengesampingkan seperti apa manusia yang akan dihasilkan dikemudian kelak. Sepeti yang disampaiakan oleh Prof. Azyumardi Azra dalam bukunya Pendidikan Islam, Tradisidan Modernisasi , Menuju Mellinium Baru mengatakan bahwa “ di Indonesia belajar pada sebuah lembaga pendidikan ibarat memilih sebuah hotel untuk menginap. Semakin mewah hotel yang dipilih maka semakin tinggi prestise yang didapat padahal esensi dari semua hotel adalah sama hanya sebagai tempat menginap”.  Di tambahkannya lagi bahwa diIndonesia belajar ke sebuah perguruan pendidikan pertama-tama adalah untuk mengejar status dan selembar ijazah, bukan keahlian, keterampilan dan profesionalisme. Tidak bisa kita nafikan bahwa fakta yang ada dilapangan khusunya di beberapa perguruan Muhammadiyah sendiri lebih mengedepankan status kemewahan fasilitas dan berapa jumlah siswa yang mendaftar ke sekolah tersebut sampai dengan lulus dalam sastu tahun pengajaran tanpa melihat sudah sejauh mana manusia-manusia lulusan itu mampu berkompetisi di dunia luar. Maka mahfumlah kita apabila kader-kader gerakan semakin hari semakin sulit didapatkan khususnya kader tajdid dan tanzih.
Belum lagi kita menjumpai bahwa di beberapa perguruan Muhammadiyah masih sering menggunakan metode sorogan dan wton tetapi dengan gaya baru. Tidak lagi duduk bersimpuh sudah duduk dikursi empuk, tidak lagi menggunakan kitab tetapi menggunakan alat-alat canggih yang semakin membuat si guru semakin nyaman duduk di kursi empuknya dan hanya menerangkan pelejaran dari kursinya tersebut. Peserta didik yang ada hanya menjadi subjek didik yang pasif tanpa adanya proses dialogis dalam teknik pengajaran. Disinilah terjadinya stagnasi terhadap pencetakan kader tadi.  Para subjek didik terus dianggap sebagai seorang yang memiliki kebodohan absolut. Meminjam istilah yang diperkenalkan paulo fereire, sistem yang banyak digunakan oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah adalah “Banking Concept of Education”(konsep pendidikan Bank)”, yang akan mematikan potensi kreatifitas berpikir subjek didik, dan posisi subjek didik hanya sebagai gudang penyimpanan (Banking Concept) yang tidak tahu untuk apa barang yang disimpan digudang otak mereka.
            Maka pertanyaan “apa sebenarnya sistem yang digunakan oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah sudah dapat terjawab. Jika kita lihat sistem pendidikan Muhmmadiyah yang ada sekarang lebih condong kepada sistem Liberal di satu sisi dan disisi lain sistem konservatif.  Sistem liberal dalam pengelolaan sekolah dan sistem konservatif dalam sistem pengajaran. Seperti yang kita ketahui bahwa sistem pendidikan liberal lebih memecahkan masalah pendidikan dengan usaha “Reformasi Kosmetik” (Pendidikan Popular) yang lebih menekankan fasilitas baru, memodernkan peralatan sekolah serta berbagai usaha untuk meningkatkan rasio murid-guru. Sedangkan sistem pendidikan konservatif adalah sebuah sistem pendidikan yang seperti dikatakan diatas (sorogan dan weton) menempatkan murid berada dlam kebodohan absolut dan guru dalam kebenaran absolut sehingga murid tidak di perkenankan untuk berpikir, hanya menerima pelajaran dari si guru dan ini merupakan sebuah kemapanan yang harus di prtahankan.
Jelas sudah terjawab, mengapa kader tajdid dan tanzih serta produk tajdid Muhammadiyah mengalami kemunduran, karena sistem pendidikan yang digunakan saat ini adalah sistem yang mendukung untuk mematikan kreatifitas berfikir. Maka kritikan yang mengatakan bahwa Muhammadiyah seperti “Gajah Bengkak”  tidak salah diberikan, karena dengan fasilitas pendidikan yang cukup fantastis dan luar biasa banyak ternyata tidak mapu untuk melakukan gerak dinamis.

QUO VADIS SISTEM PENDIDIKAN MUHMMADIYAH

Solusi untuk menjawab ini semua sebenarnya sudah dijawab dan dicontohkan oleh KHA. Dahlan sendiri ketika awal mendirikan lembaga pendidikan Muhammadiyah seperti yang telah dijelaskan diatas. Qou Vadis sistem pendidikan Muhmmadiyah adalah jalan satu-satunya yang harus dilakukan. Contohnya sudah dilakukan oleh KHA.Dahlan sendiri dengan membuat sebuah terobosan baru dalam sistem pendidikan saat itu, maka Muhmmadiyah saat ini yang umurnya menjelang satu abad juga harus melakukan terobosan baru dalam sistem pendidikan yang ada (Tajdid Pendidikan), agar kader tajdid dan tanzih serta ciri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid dan tanzih tidak hilang sehingga cita-cita lembaga pendidikan Muhmmadiyah segera terwujud.

No comments:

Post a Comment

Pendaftaran Santri Baru PM Insan al-Muwahhid Purwokerto

SELAMAT DATANG SANTRI BARU TAHUN 2021/2022

 SELAMAT DATANG CALON SANTRI BARU PESANTREN INSAN AL-MUWAHHID PURWOKERTO Ayo daftar sekarang juga tinggal klik 👉 http://bit.ly/PSBAlmuwahhi...