Ekspansi Keanggotaan dan Orientasi
Amal-usaha Muhammadiyah
Oleh:
Muhadjir Effendy
I
Muhammadiyah sebagai
sebuah gerakan pemabaharuan di awal paruh abad dua puluh telah menunjukkan
eksistensinya sebagai organisasi dinamis, cerdas dan kreatif dalam melihat
tanda-tanda jaman. Sosok Kyai Dahlan mewakili kecerdasan itu. Beliau tampil
elegan dengan gaya pemikiran bebas, kreatif sekaligus arif. Pada dirinya tampil
kesempurnaan pemikir pembaharu yang utuh. Meski kemudian melahirkan berbagai
kontrofersi dan kecemasan di kalangan tua. Ia tetap tegar dan tampil penuh
percaya diri. Muhammadiyah terus melangkah dengan segudang prestasi.
Tampil sebagai gerakan pembaharu,
Muhammadiyah mendapatkan pengikut yang kebanyakan kaum muda yang menginginkan
perubahan dari kekolotan faham agama yang jumud lagi mandeg. Percampuran faham
agama dengan dogma takhayul, bid’ah dan khurafat yang melekat saat itu adalah
pekerjaan besar yang dihadapi Muhammadiyah. Proses revitalisasi dengan jargon
kembali kepada Quran dan Sunnah menjadi alat yang ampuh untuk membangunkan
kembali umat Islam dari tidur panjangnya. Lagi-lagi Kyai Dahlan dengan semangat
tajdidnya mengagetkan banyak ulama saat itu, ia dicaci sebagai kyai gila atau
entah apalagi.
Masa keemasan itu kini telah hilang.
Muhammadiyah kini terlihat bagai gajah gemuk, berjalan lamban dan acap
tertinggal. Kelincahan dan kecepatan yang diperlihatkan kini berubah, tak ada
lagi keragaman pendapat, apalagi produk tajdid, yang ada adalah keseragaman
berpikir dan bertindak, mudah memaki dan menghakimi sesama dengan justifikasi
agama.
Kerinduan terhadap pembaharuan yang pernah
dilakukan Muhammadiyah era Kyai Dahlan kini muncul kembali seiring dengan
berubahnya kondisi sosial, politik, budaya dan pendidikan. Perubahan yang terus
bergulir menagih jamaah Muhammadiyah untuk berpikir cepat dalam menyikapi
berbagai perubahan, baik sosial, politik, budaya, ekonomi dan pendidikan,
terutama paham-paham keberagamaan jamaah. Rantai panjang birokrasi paham
keagamaan kini harus direkonstruksi kembali.
Pemahaman terhadap konsep keanggotaan dalam
Muhammadiyah menjadi sangat penting dan krusial ketika etika dan pranata
organisasi modern juga berubah. Keanggotaan konvesional sebuah oragnisasi yang dicirikan dengan
berbagai atribut (jaket, nomor baku ) dan simbol-simbol lain perlu ditata ulang. Karena pada kenyataanya
tak sanggup menggambarkan keadaan anggota pada lapis bawah.
II
Sebagai gerakan pemikiran (State of Mind) Muhammadiyah tak perlu anggota, jaket,
tertib adminsitrasi, apalagi nomor baku. Sebaliknya gerakan pemikiran ini
layaknya virus terus menular dan hinggap di setiap kepala yang concern terhadap
perubahan. Tak mengenal ruang dan waktu. Virus
tajdid yang ditularkan Kyai Dahlan ini telah menyemangati hampir setiap
gerakan Islam yang muncul belakangan. Tidak aneh jika kemudian Carl Whiteringthon menyebut Kyai Dahlan
sebagai pragmatikus agama, bukan
sebagai ulama. Tak bisa dibayangkan, sebagai gerakan pemikiran, Muhammadiyah
telah meluas pada wilayah yang terpemanai.
Demikianpun, seorang pemikir pembaharu
pastilah bukan seorang yang mengerjakan dan menawarkan konsep-konsep. Sebuah
sajak, bukanlah sebuah bangun pikiran, tetapi lebih mirip kesaksian tentang
pengalaman penyair. Kesaksian itu pada gilirannya memiliki berbagai sifat:
refelektif, imajinatif atau juga barangkali naratif tetapi tetap dengan satu
muatan yang sama: makna yang dipetik dari pohon kehidupan. Pemikir pembaharu
seperti Kyai Dahlan, bukanlah seorang pengamat kehidupan, melainkan seorang
yang berhadapan dengannya, menerima atau menolaknya. Kehidupan bukanlah sebuah gegenstand atau obyek tetapi sesuatu gegenueber, suatu alter ego.
Pada sisi lain Muhammadiyah juga tumbuh
sebagai organisasi, keharusan sebuah
organisasi adalah ketertiban dan segala sesuatu yang berbau regulasi. Karenanya
sebagai organisasi, Muhammadiyah perlu anggota, ketua , pengurus, kantor,
jaket, nomor baku tentu saja bendera. Berbagai usaha dilakukan. Muktamar
diadakan. Berbenah menjadi organisasi profesional menjadi harapan. Termasuk
mendirikan berbagai amal usaha sebagai alat merealisasikan cita-cita
organisasi. Segala kelengkapan dan atribut dibutuhkan, termasuk jargon dan
slogan.
Salah satu sumber kekuasaan adalah
organisasi. Begitulah Galbraith menyimpulkan. Kesimpulan itu terutama berlaku
di jaman ini. Kekuasaan tak lagi berasal dari kehebatan pribadi seorang tokoh.
Bukan pula karena harta kekayaan. Kapitalisme modern tak ditandai oleh
kekuasaan para pemegang saham, melainkan berada pada genggaman para manejer.
Dominasi orang-orang yang terorganisasi itu semakin terasa, ketika urusan jadi
kian majemuk. Urusan pendidikan, kesejahteraan, dakwah, kaderisasi, dan segala
piranti layanan umat dan entah apalagi yang pada gilirannya hanya dapat
diselesaikan oleh pelbagai orang dari pelbagai jurusan yang bergabung dalam sebentuk
organisasi. Tak seorang pemimpin tunggalpun yang sanggup sendirian. Mengelola
sebuah amal usaha dibutuhkan intergritas , kreasi dan kecerdasan lokal para ketua amal usaha Muhammadiyah.
Wajah Muhammadiyah sebagai gerakan pemikiran,
oraganisasi dan amal usaha berkelindan dalam sebuah harmoni yang kukuh lagi
serasi dalam orkestra pembaharuan dan purivikasi sebagai watak dasar.
Demikianlah presiden dipilih dan diganti, ketua
PP datang dan pergi: masing-masing akhirnya tergantung pada roda arloji organisasi
yang tak terlihat itu.
No comments:
Post a Comment