Tuesday, December 4, 2012

KH AHMAD DAHLAN, SEBUAH BIOGRAFI PEMIKIRAN

KH AHMAD DAHLAN, SEBUAH BIOGRAFI PEMIKIRAN


Oleh : Fafa Firdausi

Ketokohan KH Ahmad Dahlan (selanjutnya disebut Kyai Dahlan) bagi Muhammadiyah bisa kita bandingkan layaknya KH Hasyim Asy’ari bagi Nahdlatul Ulama atau Taqiyuddin An-Nabhani bagi Hizbut Tahrir. Kyai Dahlan adalah sosok penting yang meletakkan dasar-dasar pergerakan organisasi Muhammadiyah. Selain itu, dalam konteks yang lebih luas, beliau adalah pembaru Islam di Indonesia. Rekam jejaknya secara nyata dapat kita lihat dari Muhammadiyah di masa kini. Seperti kita sama ketahui, kini Muhammadiyah mengelola ribuan institusi pendidikan sejak jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Tak hanya itu, Muhammadiyah juga masih mengelola ratusan rumah sakit, poliklinik, apotek, panti asuhan bahkan pusat pengembangan masyarakat. Semua itu bukanlah pencapaian yang biasa saja dan lebih penting lagi, semua itu bermula dari Kyai Dahlan.
Sungguh sangat relevan bagi kita di masa kini untuk kembali mempelajari gagasan-gagasan dan aksi nyata yang dilakukan oleh Kyai Dahlan. Namun, sayangnya agak sulit bagi generasi sekarang untuk mempelajari pemikiran Kyai Dahlan secara terstruktur. Hal ini mengingat Kyai Dahlan sendiri bukanlah seorang cendekiawan penulis. Sejauh yang dapat dilacak hanya ada dua  peninggalan tertulis dari Kyai Dahlan. Itupun bukanlah sebuah buku yang disusun khusus oleh beliau. Manuskrip tersebut adalah transkrip dari pidato yang pernah beliau sampaikan kepada khalayak Muhammadiyin dan sebuah brosur.
Tahun 1922, Schrieke menyinggung sebuah brosur yang ditulis oleh Kyai Dahlan dan diterjemahkan dalam bahasa Belanda oleh R. Kamil. Brosur tersebut berjudul “Het Bindmiddle der Menschen” (Kesatuan Hidup Manusia). Sayangnya brosur tersebut hingga kini diketahui lagi keberadaannya. Lalu satu lagi dokumen transkrip pidato Kyai Dahlan yang diberi judul “Tali Pengikat Hidup”. Pidato ini disampaikan oleh Kyai Dahlan dalam Kongres Muhammadiyah tahun 1922. Transkrip pidato yang amat penting ini diterbitkan oleh HB Muhammadiyah Majelis Pustaka setahun kemudian.  
Dari itu dapatlah kita pahami bahwa Kyai Dahlan adalah seorang ‘ulama amaliyah’. Ulama yang mencerahkan bukan dengan tulisan ilmiah yang rigid, tapi melalui amaliyah yang langsung memberikan dampak nyata di masyarakat. Meski tak tercatat secara literal, namun kita masih bisa menelaah gagasan pembaruan Kyai Dahlan melalui tindakan-tindakan nyata beliau di ranah keagamaan, sosial, dan pendidikan. Hingga sekarang pembacaan dan penafsiran terhadap laku Kyai Dahlan masih terus digiatkan oleh cendekiawan-cendekiawan Muhammadiyah sesudahnya. Dan melalui para cendekiawan tersebutlah penyusun menggali pokok-pokok pemikiran pembaruan Kyai Dahlan.
Dalam kajian mengenai tokoh yang dikalungi gelar ‘pembaru’, rasanya perlu diperjelas dahulu konsepsi tentang terminologi ‘pembaru’ itu sendiri. Istilah pembaru sendiri kerap disamakan dengan istilah intelektual atau kaum modernis yang secara substansial memiliki kedekatan tujuan. Beberapa cendekiawan dalam sejumlah publikasinya telah memeberikan kepada kita semacam konsep tentang siapa yang layak disebut sebagai pembaru. Penyusun tidak hendak mencari satu pengertian yang definitif. Dari konsep-konsep tersebut penyusun melihat benang merah yang juga terkait dengan sikap intelektual dan amaliyah tokoh yang kita bahas, Kyai Dahlan. Perlunya adalah untuk memberikan telaah yang kritis terhadap sosok pendiri Muhammadiyah itu.
Dr. Taufik Abdullah dalam sebuah tulisannya yang dimuat di Panji Masyarakat No. 33 tahun 1981 berjudul Misi Intelektual, penyuratkan pengertiannya terhadap kriteria seorang pembaru. Menurutnya, seorang pembaru bukanlah sebuah kedudukan dan juga bukan berdasarkan pemilihan orang banyak. Pembaru pemikiran, adalah bagaimana seseorang mengasosiasikan dirinya dengan cita-cita dan nilai. Karena itu, pembaru pemikiran itu dibimbing oleh suatu misi tertentu. Seorang pembaru dituntut untuk mampu menganalisis permasalahan masyarakat secara jujur dan objektif. Dari situ lalu diharapkan lahir analisis-analisis yang bermanfaat bagi masyarakatnya.
Ada pula pendapat dari Ziauddin Sardar. Sardar menilai bahwa seorang modernis atau pembaru adalah golongan muslim berpendidikan yang memiliki kelebihan istimewa menyangkut nilai-nilai budaya dan karenanya dapat dijadikan pemimpin. Artinya orang berpendidikan saja tidak lantas masuk kategori sebagai pembaru. Secara intelektual mereka memang mampu namun jika tidak ditunjang dengan pemahaman nilai-nilai budaya, mereka hanya menjadi orang pintar saja. Pemikiran seorang pembaru bukanlah terbatas pada keilmuan atau teologi saja melainkan juga ideologi. Ideologi mereka, dalam hal ini Islam, merupakan representasi dari pandangan dunia dan nilai-nilai budaya mereka.
Yang terakhir adalah pandangan dari Ahmad Watik Pratiknya. Pratiknya berpendapat bahwa seorang pembaru dapat dilihat dari sifat kecendekiawanannya yang tercermin dari responnya terhadap lingkungan yang kritis, kreatif, objektif, analitis, dan bertanggungjawab. Jadi bukan hanya dibatasi oleh keterdidikan seseorang secara formal atau informal. Ditambah lagi, ia punya komitmen kuat pada Islam sebagai pandangan hidupnya.
Dari ketiga pandangan tentang kriteria seorang pembaru tersebut di atas, dapat kita ambil suatu benang merah pendekatan mereka. Seorang pembaru tidak dinilai hanya dari keterdidikannya saja, melainkan orang-orang yang kritis merespon keadaan lingkungannya dan karena itu mampu menghadirkan sesuatu yang solutif dan kaya nilai, baik itu secara budaya maupun secara religi. Terutama pembaru Islam jelas ia harus punya komitmen kuat terhadap Islam sebagai pandangan hidupnya. Dari perspektif inilah penyusun ‘membaca’ sosok dan laku seorang Kyai Dahlan.
Selayang Pandang Riwayat KH Ahmad Dahlan
Sebelum lebih jauh menelaah pemikiran KH Ahmad Dahlan, perlu sekali kita mengetahui sekilas riwayat perjalanan hidup beliau. Beliau terlahir di kampung Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1869 dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya adalah KH Abu Bakar, seorang Imam Ratib di Masjid Gede Yogyakarta. Sedangkan Ibunya bernama Siti Aminah. Beliau adalah putra keempat dari tujuh bersaudara.
Muhammad Darwis lahir dalam keluarga abdi dalem kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang khusus mengurusi bidang keagamaan disebut ‘abdi dalem pamethakan’. Secara nasab pun beliau memang mewarisi ‘darah biru’ dari ulama-ulama tanah Jawa. Jika dirunut ke belakang, Muhammad Darwis adalah generasi ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang walisanga yang mendakwahkan Islam di daerah Gresik. Silsilahnya adalah sebagai berikut: Maulana Malik Ibrahim, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah, Maulana Sulaiman (Ki Ageng Gribig), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadha, Kyai Muhammad Sulaiman, Kyai Abu Bakar, dan Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan).
Pendidikan Muhammad Darwis bermula dari pelajaran agama Islam yang diberikan langsung oleh sang ayah. Selain dari KH Abu Bakar sendir, Muhammad Darwis juga menuntut ilmu secara khusus kepada KH Muhammad Shaleh di bidang fiqih dan kepada KH Muhsin di bidang ilmu nahwu. Selain itu belajar juga dari KH Muhammad Noor, seorang kepala penghulu hakim kota Yogyakarta, dan KH Abdul Hamid di kampung Lempuyangan Wangi.
Tahun 1890, Muhammad Darwis pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus memperdalam belajarnya. Muhammad Darwis menetap selama setahun di Mekah. Dalam masa itulah ia berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib, seorang ulama besar asal Minangkabau yang menetap di Mekah. Kemudian pada tahun 1903, ia kembali berhaji dan memperdalam pengetahuan Islamnya selama dua tahun. Sepulang dari haji dan belajarnya inilah kemudian Muhammad Darwis mengubah namanya menjadi Ahmad Dahlan. Sepulang dari Mekah itulah beliau mulai mengajar ilmu-ilmu agama di kampung halamannya.
Sebelum keberangkatannya yang pertama ke Mekah, Muhammad Darwis menikah dengan sepupunya bernama Siti Walidah. Ketika itu Muhammad Darwis berumur 18 tahun. Siti Walidah sendiri merupakan putri KH Muhammad Fadlil, seorang hoofd penghulu hakim di Yogyakarta. Pernikahan itu terjadi pada tahun 1889 atau setahun sebelum hajinya yang pertama.
Pada tahun 1896, KH Abu Bakar, ayah KH Ahmad Dahlan, meninggal dunia dan dimakamkan di Pemakaman Nitikan, Yogyakarta. Sesuai dengan tradisi kraton Yogyakarta, KH Ahmad Dahlan sebagai putra tertua mendapat kehormatan menggantikan posisi ayahandanya sebagai khatib amin. Selain aktif bergiat di bidang keagamaan di kedinasan kraton Yogyakarta, KH Ahmad Dahlan juga meluaskan wawasan organisasinya dengan masuk Budi Utomo. KH Ahmad Dahlan masuk BU berkat perkenalannya dengan Mas Joyosumarto, seorang pembantu bidang kesehatan yang dekat dengan Dr. Wahidin Sudiro Husodo. Diajaklah Kyai Dahlan ke rapat-rapat pengurus BU Yogyakarta dan berkenalan dengan tokoh-tokoh BU. Tahun 1909, Kyai Dahlan resmi menjadi anggota pengurus BU. Beliau sering memberikan ceramah agama dalam rapat-rapat BU dan mendapat apresiasi dari pengurus BU yang lain. Dengan bantuan pengurus BU yang kebanyakan adalah guru di sekolah-sekolah kolonial, Kyai Dahlan kemudian turut memberikan pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah itu.
Banyak teman-teman pengurus BU yang terkesan dengan metode dakwah dan pengajaran ala Kyai Dahlan. Kemudian mereka menyarankan agar Kyai Dahlan agar mendirikan sekolahnya sendiri. Sekolah itu nantinya bernaung dalam sebuah organisasi yang permanen agar tetap bisa bertahan, tidak seperti umumnya pesantren yang harus tutup karena kyai pendirinya meninggal dunia. Atas saran itulah kemudian Kyai Dahlan membangun sebuah sekolah yang dinamai Sekolah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Dibantu pula oleh teman-temannya di BU (diantaranya Mas Budiharjo dan Raden Dwijosewoyo) Kyai Dahlan mendirikan organisasi yang diberi nama Persyarikatan Muhammadiyah pada 18 November 1912. Setelah melalui alur yang alot akhirnya Persyarikatan Muhammadiyah mendapatkan izin pendirian dari pemerintah Hindia Belanda. Persyarikatan Muhammadiyah memproklamirkan diri dan mengadakan rapat pengurus pertamanya di Loodge Gebouw Malioboro pada akhir Desember 1912.
Sejak tahun 1922 Kyai Dahlan sudah mulai mengalami gangguan kesehatan. Mobilitasnya yang tinggi semakin menurunkan kondisi tubuhnya. Pada 1923 dengan saran dokter Kyai Dahlan mengambil kesempatan untuk beristirahat di Gunung Tretes, Malang, Jawa Timur. Kyai Dahlan baru kembali ke Yogyakarta mendekati berlangsungnya rapat tahunan Muhammadiyah. Dalam keadaan kesehatannya yang sebenarnya tidak memungkinkan, Kyai Dahlan menyempatkan diri memberikan sambutan dalam pembukaan rapat tahunan itu. Kian hari kesehatan Kyai Dahlan kian menurun. Akhirnya memang pada tahun itulah Kyai Dahlan menghembuskan nafas terakhirnya. Jenazahnya lalu dikebumikan di pemakaman Karangkajen, Yogyakarta.

Konteks
Dalam membicarakan perkembangan pemikiran pembaruan Islam Kyai Dahlan, tidak bisa kita lepaskan dari konteks zaman dan konteks sosial di mana Kyai Dahlan tumbuh berkembang. Kyai Dahlan menghabiskan masa mudanya di Yogyakarta di bawah arahan sang ayah, KH Abu Bakar. Yogyakarta dalam kurun itu masih sangat kental dengan tradisi-tradisi Islam yang banyak bersinggungan dengan budaya dan mistis kejawen. Kemudian juga perlu kita ketahui perkembangan pemikiran Islam di dunia internasional pada masa itu. Apalagi Kyai Dahlan semasa mudanya pernah berhaji dan memperdalam agama Islam di Timur Tengah. Pada paruh akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dunia Islam sedang menggelora semangat pembaruan Islam dan ide pan-Islamisme. Kyai Dahlan yang sedang menimba ilmu di Mekah pun turut mengukuti perkembangan ide-ide pembaruan Islam waktu itu. Karena itulah di bawah ini kami jelaskan tentang hal-hal tersebut di atas.
  • Konteks Yogyakarta
Sebagaimana kita semua mafhum, Islam masuk ke Nusantara, khususnya Jawa melalui jalan damai dengan metode akulturasi budaya. Islam datang tidak dengan menghapuskan tradisi dan kearifan lokal masyarakat pribumi yang kala itu talah memeluk agama Hindu dan Buddha. Para Wali Sanga, yaitu para pendakwah Islam yang mula-mula, dalam dakwahnya lebih menekankan cara-cara ‘kompromistis’ agar Islam dapat diterima dengan baik dan penuh kesadaran. Karena itulah, jalan utama yang digunakan adalah melalui akulturasi kebudayaan. Dalam masyarakat Islam Jawa khususnya, tradisi-tradisi daur hidup dan pranata kejawen masih tetap hidup dengan ‘rasa’ yang lebih Islami.
Namun, dinamika yang damai itu terhenti dan justru mengalami kemunduran menjelang akhir abad ke-19. Umat Islam terjebak dalam arus formalitas agama yang miskin penghayatan dan kasadaran dalam ber-Islam. Sepintas lalu, spiritualitas dipandang cukup dengan dilaksanakannya ritual-ritual dan upacara-upacara ibadah saja. Menurut pendapat yang lebih ekstrem, praktik keber-Islaman di Jawa telah banyak terintrodusir oleh bid’ah dan khurafat.
Potret Masjid Gede Kauman, Yogyakarta, tempat Kyai Dahlan mengabdi sebagai khatib amin. Diabadikan pada 1925.
Dalam lingkungan seperti itulah Kyai Dahlan tumbuh berkembang. Nyatanya Kyai Dahlan berada dalam pusaran utama pergumulan antara Islam dan tradisi Jawa karena beliau adalah putra dari abdi dalem Kraton Yogyakarta yang mengurusi bidang keagamaan. Di tambah lagi dengan iklim makro Hindia Belanda yang kala itu gegap gempita oleh politik etis. Muncul dualisme antara politik dan agama yang berangkat dari tesis Prof. Snouck Hurgronje. Menurut Prof. Snouck Hurgronje, musuh kekuasaan kolonial sebenarnya bukanlah Islam sebagai agama, tapi Islam sebagai politik. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa masyarakat perlu direkayasa agar semakin berjarak dengan Islam. Dengan begitu, lanjut Prof. Snouck Hurgronje, kekuatan Islam dapat direduksi menjadi hanya sebuah agama ritual yang terlepas dari aspek sosial dan politik. Inilah salah satu sebab kemunduran Islam yang telah direkayasa oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk semakin memperkuat hegemoninya.
  • Konteks Mekah (Timur Tengah)
Konteks sejarah Timur Tengah penyusun pandang penting dalam studi pemikiran Kyai Dahlan tak lepas dari kenyataan bahwa beliau di masa mudanya pernah menimba ilmu di sana, khususnya Mekah. Sementara itu, membahas Mekah semasa Kyai Dahlan menimba Ilmu di sana tidak bisa kita lepaskan pula dari dinamika politik dan pemikiran yang berkembang di sana pada paruh terakhir abad ke-19. Kala itu kita semua mafhum akan adanya gerakan kaum Wahabi yang mendengungkan purifikasi Islam dari segala hal yang dianggap bid’ah dan khurafat. Meskipun pada tataran politik Timur Tengah secara luas gerakan ini masih dapat ditekan dan dikontrol oleh Kekhalifahan Turki Usmani, namun gerakan ini masih memiliki pendukung di tingkat akar rumput.
Di tingkat yang lebih global, dunia Islam ketika itu juga sedang gegap gempita oleh meluasnya ide besar  pembaruan dan cita-cita Pan Islamisme. Gagasan besar tersebut berhulu dari Al-Azhar. Dua orang tokoh pembaruan dan modernisasi Islam yang sangat masyur perannya adalah Sayyid Jamaluddin Al-Afghani dan Muahammad Abduh. Kedua merupakan sosok guru-murid yang bersinergi memajukan gagasan-gagasan pembaruan Islam yang kemudian menyebar hingga ke seluruh dunia Islam.
Keduanya berupaya untuk melepaskan keterkungkungan masyarakat muslim dari pengaruh tradisi yang banyak mengandung unsur bid’ah, khurafat, dan cenderung tertutup. Gagasan besar Jamaluddin Al-Afghani yang terutama adalah Pan Islamisme. Sebuah gagasan politik yang mencanangkan unifikasi pemerintahan Islam dalam satu pimpinan utama. Gerakan sebenarnya tumbuh dari gelora Pan Arab yang telah berkembang sebelumnya. Sementara Muhammad Abduh banyak bergiat pada tataran intelektual dengan menawarkan reformasi keberagamaan dalam Islam. Keduanya punya andil besar dalam memecahkan kebekuan skolastik yang mengungkung Islam sejak abad pertengahan.
Potret Muhamad Abduh, tokoh pembaru Islam dari Mesir. Ide-ide pembaruan Kyai Dahlan diperkirakan banyak terpengaruh oleh pemikirannya.
Dari ruang-ruang perkuliahan Universitas Al-Azhar, gagasan dua tokoh pembaru ini tersebar ke seluruh dunia Islam melalui murid-muridnya dan publikasi-publikasi umum seperti majalah Al-Urwatul Wutsqa yang sangat terkenal. Kemungkinan besar Kyai Dahlan juga banyak mendapat masukan intelektual dari perkembangan pemikiran dan modernisasi Islam di Timur Tengah ini.

Pokok-pokok & Aktualisasi Pemikiran KH Ahmad Dahlan

Telah penyusun jelaskan di atas bahwa Kyai Dahlan selama di Mekah dalam hajinya yang pertama dan kedua banyak berguru demi memperdalam wawasan ke-Islamannya. Telah kita sama-sama ketahui pula seperti apa keadaan Timur Tengah semasa beliau belajar di sana. Dari kedua premis ini dapat kita ambil benang merah terkait perkembangan pemikiran Kyai Dahlan sepulang dari Mekah. Ketika pemahamannya akan keberagamaan kian matang ia pulang dan berhadapan dengan kenyataan-kenyataan sosial masyarakatnya yang terkadang tidak sejalan dengan pengetahuan yang beliau terima di Mekah.
Kyai Dahlan tentulah pernah bersentuhan dengan gagasan pembaruan Islam yang diusung oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani. Lagipula beliau juga belajar di Mekah yang merupakan bagian dari tanah Arab yang ketika itu diwarnai dengan gerakan-gerakan purifikasi Islam ala Wahabi. Persentuhan intelektual ini jelas meninggalkan bekas mendalam bagi Kyai Dahlan. Bertolak dari situlah Kyai Dahlan mulai menghayati perlunya suatu gerakan pembaruan Islam di kampung halamannya. Ketika Islam telah tercampur aduk dengan tradisi dan umat muslim kian terjebak dalam formalitas agama jelas harus ada yang ‘meluruskannya’ kembali. Inilah peran besar yang diambil oleh Kyai Dahlan dengan penuh keinsyafan.
Penyusun berpendapat bahwa pemikiran pembaruan dan pemurnian Islam Kyai Dahlan merupakan sebuah sintesis pemikiran. Kyai Dahlan sampai pada cita-citanya setelah ‘terlibat’ dialog intelektual dari pembacaannya terhadap gagasan-gagasan serupa di Timur Tengah dan kegelisahannya menghadapi kenyataan sosio-kultural masyarakat muslim Jawa yang terjebak formalitas keagamaan. Yang otentik dari Kyai Dahlan Adalah model gerakannya yang mengakar. Tajdid aatau pembaruan dihayati sebagi sebuah gerakan sosial yang tidak hanya mandeg di tataran ide, tapi juga tindakan nyata yang menyentuh langsung kehidupan umat muslim. Dalam bahasa Mohammad Damami, MA, dalam karyanya Akar Gerakan Muhammadiyah, bergama harus menyapa kehidupan. Untuk lebih jelasnya tentang pokok-pokok pemikiran Kyai Dahlan dan aktualisasinya akan penyusun uraikan di bawah ini.
  • Pembaruan & Pemurnian Islam 
Formalitas beragama adalah fokus utama yang ingin didekonstruksi oleh Kyai Dahlan. Ide pembaharuannya menyangkut akidah dan syariat, misalnya tentang upacara ritual kematian, upacara perkawinan, kehamilan, sunatan, berziarah ke kuburan keramat, memberikan sesajen kepada hal yang dianggap keramat dan sebagainya. Menurut Kyai Dahlan, hal-hal tersebut bertentangan dengan Islam dan dapat menimbulkan perbuatan syirik dan musyrik. Kyai Dahlan juga berupaya menegakkan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist, berusaha mengedepankan ijtihad jika ada hal yang tidak dapat dalam Al-Qur’an maupun Hadist serta berusaha menghilangkan taqlid (pendapat ulama terdahulu tanpa ada dasarnya) dalam fiqih dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Di sinilah sintesis intelektual yang penyusun sebut di atas muncul. Upaya Kyai Dahlan ini memiliki kemiripan jika kita bandingkan dengan pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani, bahkan dengan gerakan Wahabi di Arab Saudi. Namun kita harus menarik garis batas yang tegas ketika kemiripan gagasan ini sampai pada aktualisasinya. Tidak seperti gagasan reformis Timur Tengah yang cenderung frontal dan banyak menimbulkan ekses-ekses negatif, aktualisasi yang dilakukan Kyai Dahlan justru berlaku sebaliknya. Kuntowijoyo dalam kata pengantarnya untuk buku Islam Murni dalam Masyarakat Petani menegaskan bahwa Kyai Dahlan sangatlah toleran dengan praktik keagamaan di zamannya dan memiliki hubungan interpersonal yang baik dengan berbagai golongan. Seperti yang kita tahu bersama, Kyai Dahlan adalah juga anggota BU dan sering memberikan ceramah-ceramah di berbagai daerah. Itulah bukti kecil yang menandaskan bahwa gagasan-gagasan Kyai Dahlan diterima dengan baik.
  • Gerakan Sosial & Pendidikan
Sebelum sampai pada gagasan pembaruannya, Kyai Dahlan terlebih dahulu mengawali cita-citanya melalui gerakan sosial dan pendidikan. Kyai Dahlan pernah memobilisasi kawan-kawannya di daerah Kauman untuk memperbaiki kondisi higienis daerahnya dengan memperbaiki dan membersihkan jalan-jalan dan parit-parit. Pekerjaan ini ia lakukan secara sukarela. Suatu contoh kecil bahwa keikhlasan menjadi dasar yang penting bagi gerakan sosial ala Kyai Dahlan.
Sebuah adegan dalam film 'Sang Pencerah' yang menggambarkan aktivitas sosial Kyai Dahlan.
Warga Muhammadiyin tentu tidak asing dengan cerita tentang ‘pengajian Al-Ma’un’ oleh Kyai Dahlan. Bagi Kyai Dahlan, surat Al-Ma’un bukanlah hanya sekadar surat yang hanya dibaca dan dihafal. Banyak umat muslim yang hafal surat ini namun masih miskin penghayatannya. Kyai Dahlan menekankan pentingnya pengejawantahan pemahaman dalam aksi yang nyata. Dalam setiap ceramahnya, Kyai Dahlan secara istiqamah menyerukan bagi setiap orang yang mampu untuk memenuhi hak dan berlaku adil terhadap orang-orang miskin, yatim piatu, dan mereka-mereka yangterlantar. Dari seruan itu lahirlah lembaga pengelola zakat. Dari pemikiran itulah lalu lahirlah rumah sakit dan panti asuhan yang bernaung di bawah panji organisasi Muhammadiyah.
Yang tak kalah penting dalam pembicaraan kita tentang Kyai Dahlan adalah semangatnya sebagai seorang pendidik. Beliau begitu intens mengkritik dualisme pendidikan pada masanya. Pandangan muslim tradisional terhadap pendidikan terlalu menitikberatkan pada aspek spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat dari lembaga pendidikannya yaitu pesantren. Pesantren lebih mengembangkan ilmu agama dibanding ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan kemunduran pada dunia Islam karena umat Islam hanya memikirkan masalah akhirat dan menimbulkan sikap pasrah.
Begitu pun dengan sistem pendidikan kolonial. Dilihat dari metode pengajaran dan alat-alat pendidikannya, memang terbilang banyak sekali manfaat dan kemajuan yang bisa diraih siswa dari pendidikan kolonial ini. hanya saja, dalam sekolah kolonial tidak terdapat pelajaran tentang agama, khususnya Islam. Hal ini menyebabkan siswa cakap secara intelektual namun lemah karakter dan moralitasnya. Karena itulah Kyai Dahlan memandang penting persoalan sinergi antara ilmu umum dan agama. Karena itulah institusi pendidikan Muhammadiyah tidak memberlakukan pemisahan antara ilmu umum dan agama.
Sekolah Muhammadiyah yang pertama telah berdiri satu tahun sebelum Muhammadiyah sebagai organisasi berdiri. Pada tahun 1911 Kyai Dahlan mendirikan sebuah madrasah di rumahnya yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslim terhadap pendidikan agama dan pada saat yang sama memberikan mata pelajaran umum. Di sekolah itu, pendidikan agama diberikan oleh Kyai Dahlan sendiri dan pelajaran umum diajarkan oleh seorang anggota Budi Utomo yang juga guru di sekolah pemerintah.
Ketika sekolah ini dibuka hanya ada 9 murid yang mendaftar. Hal itu membuktikan bahwa umat Islam belum memandang pentingnya ilmu pengetahuan umum dan agama. Respon tersebut tidak mematahkan semangat Kyai Dahlan. Ia tidak segan-segan mendatangi anak-anak sampai ke rumahnya untuk mengajak mereka masuk sekolah. Kyai Dahlan juga memberikan perhatian khusus pada pendidikan anak-anak perempuan. Karena bila anak laki-laki maju, anak perempuan terbelakang maka terjadi kepincangan. Pada tahun 1918 didirikan sekolah Aisyiyah. Suatu pertanda bahwa pemikiran emansipasi pendidikan juga menjadi perhatian Kyai Dahlan.
Sinergi antara ilmu umum dan agama juga merupakan tanda bahwa Kyai Dahlan sangat menyadari pentingnya pembangunan kepribadian sebagai salah satu tujuan pendidikan. Entah disadari atau tidak, upaya Kyai Dahlan menyinergikan antara ilmu umum dan agama ini merupakan sebuah antitesis terhadap Prof. Snouck Hurgronje. Inilah sebab mengapa pemikiran Kyai Dahlan di bidang pendidikan merupakan sebuah terobosan yang membawa dampak besar bagi umat. Lebih jauh kedepan, dapat kita lihat hasilnya dengan munculnya kader-kader Muhammadiyah yang turut mewarnai dunia politik dengan membawa identitas ke-Islamannya.
  • Etos Guru-Murid
Satu buah pikir Kyai Dahlan yang tidak banyak diketahui adalah konsepsinya tentang apa yang di sebut oleh Abdul Munir Mulkhan sebagai Etos Guru-Murid. Etos guru-murid dapat dikembangkan sebagai etika dasar dari sebuah masyarakat demokratis dan etika dasar dari sebuah masyarakat pembelajar atau learning society di negeri yang sedang ‘belajar’ berdemokrasi ini. Etos guru adalah kesediaan setiap warga untuk memberikan ilmu dan teladan yang baik. Etos murid ialah kesediaan warga untuk selalu terbuka agar bisa mengakui dan belajar pada kebaikan orang lain.
Bagi Kyai Dahlan, setiap umat muslim dan umat beragama yang lainnya harus membangun di dalam dirinya etos kehidupan dan etos sosial sebagai seorang guru sekaligus sebagai murid. Inilah inti dari gerakan sosial yang dilakukan oleh Kyai Dahlan dan pada perkembangan selanjutnya menjadi nilai penting dalam Muhammadiyah. Etos guru-murid ini mencegah masyarakat terseret pada kebekuan ritual keagamaan dan gerakan yang terkadang tidak mengakar. Sehingga gerakan yang dilakukan mempunyai fungsi pragmatis pemecahan problem sosial.
Nilai penting dari etos guru-murid ini adalah sifatnya yang non-elitis. Rakyat dan orang awam tidaklah selamanya menjadi ‘murid’ yang turut saja pada kata-kata pemerintah. Karena itulah etos guru-murid ini sangat pas dengan demokrasi di Indonesia dan sebuah bentuk perlawanan terhadap hegemoni sosial-politik kaum elit.

Hujatan & Pembelaan
Layakkah kita menyebut seorang Kyai Dahlan sebagai seorang pembaru? Maka kita harus memandangnya secara objektif dengan menimbang berdasarkan pendekatan yang telah disepakati di bagian pengantar makalah ini. Dalam konteks global dunia Islam, jelas Kyai Dahlan tidak serta merta dapat kita golongkan sebagai seorang pembaru. Harus kita akui, sebagaimana telah disinggung di bagian terdahulu, bahwa apa yang beliau bawa merupakan sintesis dari pemikiran-pemikiran tokoh pembaru dunia Islam seperti Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.
Namun, jika kita tarik dalam konteks Indonesia, peran Kyai Dahlan tidaklah sederhana dan sepintas lalu dalam memecah kebekuan formalitas beragama masyarakat saat itu. Ketika Islam, seperti tesis Prof. Snouck Hurgronje, terpisahkan dari ranah sosial dan politik, Kyai Dahlan muncul dengan ide sinergi pendidikan yang membawa perubahan besar di dunia pendidikan. Ketika Islam menjadi terbatas pada laku individu, Kyai Dahlan dengan spirit Al-Ma’un-nya datang membawa gerakan-gerakan sosial untuk melepaskan masyarakat muslim dari keterpurukan. Dan yang terpenting dari semua itu adalah bahwa otentisitas metode gerakannya, jika kita bandingkan dengan tokoh-tokoh yang dianggap pembaru.
Meski begitu, tidak serta merta kemudian Kyai Dahlan lepas dari tantangan-tantangan. Bahkan sejak awal beliau memulai merintis gerakannya pihak Abdi Dalem Pemethakan, dinas di mana beliau mengabdi, telah bersikap frontal terhadap ide-idenya. Simaklah bagaimana Kyai Khalil Kamaludiningrat, penghulu Masjid Gede, sangat menentang Kyai Dahlan. Sarannya ‘mengubah’ arah kiblat ditentang dan mushola tempat Kyai Dahlan mendidik santri-santrinya dirobohkan. Juga anggapan-anggapan miring yang menyamakannya dengan gerakan Wahabisme Arab.
Kuntowijoyo menjelaskan bahwa dalam dakwahnya Kyai Dahlan mengahadapi tiga front, yaitu kaum modernis, tradisionalis, dan Jawais. Pendirian sekolah Muhammadiyah dan lembaga-lembaga sosial di bawah naungan Muhammadiyah merupakan jawaban kongkretnya terhadap gempuran Barat yang tak sedikit membawa pengaruh negatif terhadap Islam. Kemudian dalammenghadapi kaum tradisionalis yang cenderung elitis, Kyai Dahlan menerapkan metode tabligh dengan langsung mendatangi umat. Tradisi tabligh sebenarnya telah ada sejak lama, namun metode Kyai Dahlan ini terbilang baru dan malah dianggap ‘aib’. Anggapan sementara orang yang memegang tradisi bahwa muridlah yang seharusnya mendatangi guru, bukana guru yang mendatangi murid. Apalagi mengingat kedudukan Kyai Dahlan sebagai ketua Muhammadiyah dan khatib amin Masjid Gede Yogyakarta. Hal itu tidak lazim bagi kalangan tradisionalis yang masih kuat kefeodalistikannya.
Metode tabligh Kyai Dahlan ini menurut penjelasan Kuntowijoyo membawa dua implikasi. Pertama, perlawanan tak langsung terhadap idolatri (pengultusan tokoh) dan perlawan tak langsung terhadap mistifikasi agama. Pada masa itu, kedudukan seorang ulama di tengah-tengah masyarakat sangat tinggi. Menjadi ulama berarti juga menjadi seorang golongan elit, seorang suci yang menjadi mediator antara Tuhan dan makhluk. Di sinilah metode tabligh ala Kyai Dahlan menunjukkan perlawanannya. Ulama, dengan mendatangi muridnya yang secara tradisional dipandang lebih rendah derajatnya merupakan perbuatan di luar kelaziman. Dengan begitu, dalam anggapan kaum tradisionalis, maka posisi ulama menjadi kehilangan kesakralannya. Inilah sifat Kyai Dahlan yang egaliter dan menunjukkan sisi tolerannya.
Lalu tabligh juga dipandang sebagai perlawanan terhadap mistifikasi agama. Ilmu agama dianggap sebagai ilmu tinggi yang tidak sembarang orang boleh mengajarkannya. Hal inilah yang menyebabkan agama menjadi monopoli kaum elit keagamaan. Dengan tabligh-nya, Kyai Dahlan membongkar tradisi agama yang misterius menjadi sederhana dan aksesibel bagi setiap orang. Namun, bukan berarti bahwa nilai ilmu agama itu menjadi rendah.
Terakhir, terhadap kaum Jawaisme yang masih kuat dengan tradisi kejawennya, Kyai Dahlan menggunakan metode positive action dalam bahasa Kuntowijoyo. Kyai Dahlan mengedepankanamar ma’ruf dan tidak secara frontal menyerang. Disebutkan dalam Suara Muhammadiyah Tahun I, Nomor 2, 1915 ada artkel yang menjelaskan tentang macam-macam salat sunnah. Kyai Dahlan menyebutkan bahwa keberuntungan itu semata-mata karena Allah dan salat sunnah adalah salah satu jalan meraihnya. Tidak secara eksplisit Kyai Dahlan melarang adanya pesugihan atau perbuatan tahayul semacamnya. Kyai Dahlan sadar bahwa gagasan-gagasan kemajuan sedang tumbuh di masyarakat, sehingga dengan sendirinya nanti masyarakat akan sadar akan demitologisasi dan mengedepankan rasionalisasi. Jadi tidak diperlukan suatu larangan frontal yang sebenarnya malah menjauhkan cita-cita modernisasi dari tradisi.

Penutup

Pengurus Muhammadiyah 1918-1921
Warisan Kyai Dahlan yang terutama, seperti juga kita semua mafhum, adalah organisasi massa Islam terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah. Di tengah kritikan dari para ‘abdi dalem’-nya sendiri dan juga tokoh dari luar, Muhammadiyah berhasil menjadi role model di mana Islam dan ide-ide kemajuan dengan gemilang disinergikan. Secara tak langsung pula, Muhammadiyah merupakan ‘anak kandung’ intelektual Kyai Dahlan. Dari kegelisahan seorang ulama muda yang mendapati umatnya terkungkung dalam formalitas dan tradisi yang feodalistis, beliau hadir membawa gerakan pembaruan yang dinamis dan membumi. Meski tak lepas dari kritik, secara objektif dapat kita katakan bahwa Kyai Dahlan dan Muhammadiyahnya adalah sebuah pencerahan sosial.

Daftar Pustaka: 

Anshoriy, Nasruddin. 2010. Matahari Pembaruan; Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher.

Damimi, Mohammad. 2000. Akar Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit Fajar Pustaka Baru.

Hitti, Philip K. 2006. History of the Arabs (terj. R. Cecep Lukman Yasin & Dedi Slamet Riyadi). Jakarta: Penerbit Serambi.

Mulkhan, Abdul Munir. 2000. Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Bentang Budaya.

Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.

Noer, Deliar. 1996. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: Penerbit Pustaka LP3ES.

Syuja’. 2009. Islam Berkemajuan; Kisah Perjuangan KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal. Tangerang: Penerbit Al-Wasath.

Taufik, Akhmad dkk. 2005. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam. Jakarta: Rajawali Press.

1 comment:

  1. Hanya dengan Rp.200rb-Rp.500rb dapatkan desain template blogspot lebih menarik dan yang pasti seo friendly (biaya tergantung kesulitan desain template).. kunjungi http://yandisangdebu.blogspot.com/

    ReplyDelete

Pendaftaran Santri Baru PM Insan al-Muwahhid Purwokerto

SELAMAT DATANG SANTRI BARU TAHUN 2021/2022

 SELAMAT DATANG CALON SANTRI BARU PESANTREN INSAN AL-MUWAHHID PURWOKERTO Ayo daftar sekarang juga tinggal klik 👉 http://bit.ly/PSBAlmuwahhi...