STRATEGI DAKWAH
KULTURAL MUHAMMADIYAH
Oleh: Tarqum Aziz, SHI
(Anggota PDPM Banyumas)
Islam adalah agama
dakwah yaitu agama yang mengajak dan memerintahkan umatnya untuk selalu
menyebarkan dan menyiarkan ajaran Islam kepada seluruh umat manusia. Oleh
karena itu, dakwah, baik sebagai konsep maupun sebagai aktivitas, telah memasuki
seluruh wilayah dan ruang lingkup kehidupan manusia. Seluruh aspek kehidupan
manusia tidak dapat dilepaskan dari sudut pandang dakwah.
Dakwah, baik sebagai gagasan maupun
sebagai kegiatan, sangat terkait dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar
(menyuruh untuk mengerjakan kebaikan dan kebajikan dan melarang atau mencegah
untuk melakukan keburukan atau kemungkaran). Kebaikan dan keburukan selalu ada
dalam kehidupan kita dan tampil sebagai suatu keadaan atau kekuatan yang
berlawanan.
Dakwah merupakan salah satu tugas dan
kewajiban yang harus dilakukan oleh umat Islam, sebagaimana perintah Allah
dalam surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi:
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$#
tbrããBù'tur
Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã
Ìs3YßJø9$# 4
y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd
cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyuruh kepada kebajikan dan mengajak kepada yang ma'ruf
dan mencegah dari yang munkar dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Ayat ini mengandung makna agar setiap
muslim berusaha menyatukan diri dalam gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar
untuk membebaskan diri dari kebodohan, kesengsaraan dan kemelaratan. Atas dasar
seruan ayat tersebut, K.H. Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk mendirikan
sebuah persyarikatan Muhammadiyah dengan tugas khidmat melaksanakan misi dakwah
amar makruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat luas.
Muhammadiyah adalah organisasi yang
lahir sebagai alternatif berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam Indonesia
sekitar akhir abad 19 dan awal abad 20. Muhammadiyah merupakan konsekwensi
logis munculnya pertanyaan-pertanyaan sederhana seorang muslim kepada diri dan masyarakatnya
tentang bagaimana memahami dan mengamalkan kebenaran Islam yang telah diimani
sehingga pesan global Islam yaitu rahmatan lil alamin atau kesejahteraan
bagi seluruh kehidupan dapat mewujud dalam kehidupan objektif umat manusia.
Sejak kehadirannya di tengah-tengah
panggung sejarah, Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang nyata bagi
kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia. Peran dan
partisipasi Muhammadiyah disebut dengan amal usaha Muhammadiyah memang
merupakan hal yang fundamental bagi gerakan tersebut apalagi jika ditinjau dari
latar belakang kehadirannya. Partisipasi itu dijalankan dengan berbagai cara
dan bentuk, sejak gerakan itu lahir dan berlangsung hingga kini, memang diakui
oleh banyak pihak.
Dakwah Rasulullah Muhammad menggunakan
strategi; pendekatan personal, pendekatan pendidikan, pendekatan penawaran,
pendekatan missi, pendekatan korespondensi, dan pendekatan diskusi. Strategi
dakwah Rasulullah tersebut ternyata telah menunjukkan keberhasilan, salah satu
indikasinya adalah dalam masa tugas kerasulan yang kurang dari dua puluh tiga
tahun, orang yang masuk Islam tidak kurang dari 114.000 orang.
Sekurang-kurangnya ada dua faktor yang sangat menentukan dalam dakwah beliau;
pertama, adanya konsistensi Nabi dengan kode etika dakwah, yang antara lain;
tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan, tidak mencerca sesembahan lawan,
tidak melakukan kompromi dalam hal agama, dan tidak meminta imbalan. Kedua,
adanya keteladanan yang beliau berikan pada para sahabat (Ali Mustafa Yaqub,
2000: 94-95). Demikian juga dalam strategi dakwah, ada dua macam strategi; bi-alqaul
(bi-al-ihsan) dan bi-al-af’al, (termasuk bi al-khitabah
atau bi-al-a’mal).
Penjabaran dari kedua kegiatan itu
melahirkan empat ragam kegiatan dakwah, yakni; pertama, tabligh dan ta’lim;
kedua, irsyad; ketiga, tathwir, dan keempat tadbir. Tabligh dan
ta’lim dilakukan dalam pencerdasan dan pencerahan masyarakat melalui kegiatan
pokok; sosialisasi, internalisasi, dan eksternalisasi nilai ajaran Islam,
dengan menggunakan sarana mimbar, media massa cetak dan audia visual. Irsyad,
dilakukan dalam rangka pemecahan masalah psikologis, melalui kegiatan pokok;
bimbingan penyuluhan pribadi dan bimbingan penyuluhan keluarga, baik secara
prefentif maupun kuratif. Tadbir (manajemen pembangunan masyarakat),
dilakukan dalam rangka perekayasaan dan pemberdayaan masyarakat dalam kehidupan
yang lebih baik, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pranata sosial
keagamaan, serta menumbuhkan serta mengembangkan perekonomian dan kesejahteraan
masyarakat. Tathwir (pengembangan masyarakat), dilakukan dalam rangka
meningkatkan sosial budaya masyarakat, yang dilakukan dengan kegiatan pokok;
pentransformasian dan pelembagaan nilai-nilai ajaran Islam dalam realitas
kehidupan umat, yang menyangkut kemanusiaan, seni budaya, dan kehidupan
bermasyarakat. Dengan kata lain, tathwir berkaitan dengan kegiatan
dakwah melalui strategi sosial budaya, atau dakwah kultural (Asep Muhyiddin,
2002: 34-35).
Atas dasar ini dapat difahami, kalau
apa yang semula merupakan gagasan dan pokok-pokok pikiran pribadi K.H. Ahmad
Dahlan itu kemudian diintegrasikan menjadi gagasan dan pokok-pokok pikiran
Muhammadiyah. Tidak dapat disangkal, Muhammadiyah sebagai ormas ke-Islaman, telah
banyak memberi sumbangan nyata kepada umat. Tugas dakwah yang dilakukan
Muhammadiyah, mulai dari lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, dan
lain-lain, yang dapat dirasakan betul manfaatnya oleh masyarakat. Terutama
dalam bidang pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa,
Muhammadiyah mempunyai andil yang cukup besar. Komitmen Muhammadiyah kepada
kaum lemah, anak yatim dan fakir miskin juga tidak pernah luntur, ini bisa
dilihat dengan adanya rumah sakit dan panti asuhan yang dikelola oleh
Muhammadiyah.
Peran Muhammadiyah yang didirikan K.H
Ahmad Dahlan dalam dakwah Islam menggunakan strategi yang berpusat pada
pembaharuan (tajdid) serta menjaga kemurnian Islam (purifikasi). Dalam rangka
kegiatan pembaharuan dan pemurnian itu, selain dengan pemasyarakatan tajdid
(dengan menggerakkan telaah ulang atas sistim mazhab dan taklid buta),
Muhammadiyah juga mengadakan gerakan pemberantasan TBC (takhyul, bid’ah, dan
churafat). Untuk itu, dakwah Muhammadiyah banyak diarahkan untuk memberantas
segala hal yang berbau TBC (Weinata Sairin, 2005: 48-50).
Ada dua prinsip dasar yang menjadi
acuan dakwah yang dikembangkan pendiri Muhammadiyah, K.H Ahmad Dahlan; pertama,
adalah pembebasan, yakni membebaskan manusia dari belenggu kebodohan, dan yang
kedua, adalah penghargaan atas harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam upaya
untuk membebaskan masyarakat dari kolonialisme asing yang membodohkan, K.H
Ahmad Dahlan melakukan lompatan kultural dengan mengadopsi aspek-aspek positif
dari budaya asing, seperti mendirikan lembaga pendidikan, panti asuhan, dan balai
pengobatan. Sementara itu, untuk membebaskan manusia dari belenggu budaya dan
kepercayaan, K.H Ahmad Dahlan mengembangkan pendidikan yang berbasis pada
pengembangan akal dan rasionalitas. Sebagai implikasi dari lompatan dakwah yang
berbasis pengembangan akal dan rasionalitas itulah K.H Ahmad Dahlan sering dipersepsikan
anti budaya lokal (Abdurrahim Ghazali, 2003: 9-11). Dengan dikenalkan dakwah
kultural di lingkungan Muhammadiyah mengindikasikan adanya aktualisasi
penyikapan atas segala budaya lokal di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah. Organisasi
ini semakin menyadari tentang pentingnya budaya local sebagai media dakwah,
walaupun mungkin sekarang masih dalam proses memilih, dan memilah dengan
’hati-hati’ berbagai macam budaya lokal agar tidak bertabrakan dengan
doktrin-doktrin yang sudah mapan di Muhammadiyah.
A. Strategi Dakwah Kultural Muhammadiyah
Dakwah kultural
adalah; upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan
dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya
secara luas, dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Ciri-ciri dakwah cultural adalah dinamis, kreatif dan inovatif (Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, 2004: 26).
Muhammadiyah yang
didirikan KH Ahmad Dahlan, strategi dakwahnya berpusat pada pembaharuan
(tajdid) serta menjaga kemurnian Islam (purifikasi). Dalam rangka kegiatan
pembaharuan dan pemurnian itu, selain dengan pemasyarakatan tajdid (dengan
menggerakkan telaah ulang atas sistim mazhab dan taklid buta), Muhammadiyah
juga mengadakan gerakan pemberantasan TBC (takhyul, bid’ah, dan churafat).
Untuk itu, dakwah Muhammadiyah banyak diarahkan untuk memberantas segala hal
yang berbau TBC.
Dengan datangnya
‘pembaharuan’ dan ‘purifikasi’ yang dibawa Muhammadiyah sudah barang tentu
berbenturan dengan faham keagamaan yang sudah lama berkembang di masyarakat
yang notabene dalam ‘beberapa amaliah’ sudah mendapatkan pembenaran dari ulama
tradisionil. Oleh karena itu, dalam sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar,
Bali, tahun 2002, memberikan PR besar bagi warga Muhamamdiyah untuk menerobos
wacana baru, yaitu “dakwah kultural”. Wacana ini memang sangat kontraversial di
kalangan Muhammadiyah. Namun melalui pengkajian secara intensif oleh beberapa
tokoh di kalangan Muhamamdiyah, akhirnya dicapai kata sepakat untuk
mengagendakan dakwah kultural ke depan. Pada sidang tanwir Muhammadiyah di
Makassar, tahun 2003, telah direkomendasikan dakwah kultural sebagai pendekatan
sekaligus metode dalam berdakwah di Muhammadiyah (Mu’arif, 2005: 164-165).
Tegasnya gerakan
dakwah kultural ini cenderung mempertanyakan kebenaran statement yang
mengatakan bahwa gerakan dakwah dipandang belum sungguh-sungguh memperjuangkan
Islam, ketika belum secara terus-menerus memperjuangkan negara berdasarkan
syariat Islam. Dakwah kultural mempertanyakan validitas tesis tersebut, apakah
benar dakwah umat yang berada di luar kekuasaaan, adalah dakwah yang tidak
lengkap, dan sempurna.
Sebagai ormas
Islam, Muhammadiyah sangat kental dengan predikat ‘pemurnian’, sehingga
kesannya angker, sebab banyak dari warga pedesaan khususnya, merasa segala
aktifitas berkesenian dilarang. Muhammadiyah dianggap anti kesenian. Padahal
tidak semua kesenian bertentangan dengan ajaran Islam. Menurut Ahmadun Y
Herfanda (budayawan dan wartawan), melihat fenomena kebudayaan sekarang ini,
Muhammadiyah sebaiknya memiliki strategi yang jitu untuk mengakomodir berbagai
budaya yang berkembang dalam masyarakat, sekaligus menyaring seni dan budaya yang
sesuai dengan kepribadian dalam Muhammadiyah (Suara Muhammadiyah, 2006: 6-9).
Hal itu juga sesuai dengan gagasan ‘dakwah kultural’. Kalau selama ini dakwah
Muhamamdiyah terkonsentrasi pada kalangan abangan dan masyarakat perkotaan
semata, maka dengan adanya perubahan dan gerak zaman yang begitu cepat, perlu
adanya rumusan yang jelas menyangkut segmen pedesaan untuk menjadi sasaran
dakwah Muhammadiyah ke depan (Din Syamsuddin, 2005: v).
Untuk mengatasi problematika umat tersebut, maka
aktivitas dakwah Muhammadiyah harus difokuskan pada beberapa hal. Pertama, pengentasan kemiskinan. Kedua, persiapan suplai elit muslim ke
berbagai jalur kepemimpinan bangsa sesuai dengan skillnya masing-masing. Ketiga, mapping sosial umat sebagai langkah pengembangan dakwah. Keempat, pengintegrasian wawasan etika,
estetika, logika, dan budaya dalam berbagai planning
dakwah, Kelima, pendirian pusat-pusat
studi dan informasi umat secara profesional yang berorientasi pada dinamisasi
iptek. Keenam, menjadikan masjid
sebagai pusat aktivitas ekonomi, kesehatan, dan syia’ar Islam. Ketujuh, menjadikan Islam sebagai
pelopor yang profetis, humanis, dan transformatif (Usman Jasad, 2004: 38-39). Dengan bahasa lain, dakwah Islam tidak boleh
dijadikan obyek dan alat legitimasi bagi pembangunan yang semata-mata bersifat
ekonomis-pragmatis (Muhammad Azhar, 2003:
12-13). Langkah-langkah tersebutlah yang akan membawa Islam menjadi
sebuah gerakan dakwah yang progresif dan inklusif.
Efektifitas dakwah
mempunyai dua strategi yang saling mempengaruhi keberhasilannya. Pertama,
peningkatan kualitas keberagamaan dengan berbagai cakupannya seperti di atas,
dan kedua, mampu mendorong perubahan sosial. Ini berarti memerlukan pendekatan
partisipatif di samping pendekatan kebutuhan. Dakwah bukan lagi menggunakan
pendekatan yang hanya direncanakan sepihak oleh pelaku dakwah dan bukan pula
hanya pendekatan tradisional, mengutamakan besarnya massa.
Suasana seperti
itulah yang membuat dai dan mad’u terlibat diskusi secara dialogis tentang
dakwah Islam itu sendiri. Dengan demikian pola pikir antar keduanya dapat disatukan dan dimodifikasikan untuk
menjadi pola pikir dan aksi secara konsisten. Pandangan seperti ini sejalan
dengan statemen Benedict dalam Theories
of Man and Culture (Elvin
Hatch, 1973: 29), di mana ia
menyatakan:
All thought a
culture is the chance accumulation of so many disparate elements for tuitously assembled from all direction
by diffusion, the constituent elements a remodified to form a more or less
consistent pattern of thought and action. “Semua pikiran adalah suatu kultur akumulasi
yang memberi kesempatan sangat banyak bagi unsur-unsur
yang berlainan untuk dirakit dari semua arah difusi, unsur-unsur yang
konstituen dapat dimodifikasi kembali untuk membentuk suatu contoh pola aksi
dan pikiran konsisten yang lebih besar”.
Pada dasarnya
semua manusia yang sudah baligh, laki-laki maupun perempuan diperintahkan oleh
Allah untuk saling menopang demi terlaksana dan tegaknya amar ma’ruf dan
nahi munkar. Penegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar akan menjadi
parameter kualitas khaira ummah. Menurut Ibnu Katsir Umat yang terbaik
adalah umat yang terbaik bagi manusia dari sisi kemanfaatan mereka (Aunur Rahim
Faqih, 2006: 52). Dengan kata lain, kebaikan umat itu hanya ada pada
implementasi dakwah yang berwujud amar ma’ruf dan nahi munkar secara
konsisten dan berkesinambungan.
Imam Abdullah
an-Nasafi (2001: 194) dalam
kitabnya Tafsir an-Nasafi menjelaskan mengenai amar ma’ruf dan nahi
munkar sebagai berikut:
اَلْمَعْرُوْفُ مَااسْتَحْسَنَ الشَّرْعُ
وَالْعَقْلُ وَالْمُنْكَرُ مَااسْتَقْجَهُ الشَّرْعُ وَالْعَقْلُ،
أَوِالْمَعْرُوْفُ مَاوَافَقَ الْكِتَابَ وَالسُّنَةَ. وَالْمُنْكَرُمَاخَالَفَهُمَا، أَوِالْمَعْرُوْفُ الطَّاعَةُ
وَالْمُنْكَرُالْمَعَاصِيْ
“Al-Ma’ruf
adalah apa yang dinyatakan baik oleh syara’ dan akal, sedangkan al-munkar
adalah apa yang dinyatakan buruk oleh syara’ dan akal. Bisa juga, al-ma’ruf
ialah sesuatu yang bersesuain dengan al-kitab dan as-sunnah, sedangkan al-munkar
adalah yang berseberangan dengan keduanya. Atau bisa juga al-ma’ruf
adalah ketaatan kepada Allah, sementara al-munkar adalah kemaksiatan
kepada-Nya”.
Menurut
Zakiyudin Baidawy (www. Islamlib.com), tokoh muda
Muhammadiyah, berbeda dari dua model dakwah Muhammadiyah sebelumnya yang anti-
TBC, dakwah kultural Muhammadiyah adalah dakwah pro-TBC. Yakni: 1) dakwah yang
memanfaatkan dan membangkitkan kemampuan imajinatif (takhayyul) individu dan
masyarakat agar kehidupan semakin estetik (indah), holistik, simbolik (dalam
arti beradab), dan cerdas; 2) dakwah yang mendorong, memotivasi, dan
mengkondisikan individu dan masyarakat untuk mencipta (kreatif) dan menemukan
(inovatif) berbagai hal baru (bid’ah) baik dalam ide (pemikiran, wacana, teori
dalam Muhammadiyah, dan masyarakat), aktivitas (praksis, gerakan Muhammadiyah),
dan bentuk kebudayaan (amal-amal usaha Muhammadiyah); 3) serta dakwah yang
mengeksplorasi seluruh kemampuan untuk meredefinisi “mitos” (baca: cita-cita
sosial, meminjam istilah Mohammed Arkoun), mereproduksi, bahkan memproduksi
mitos baru (khurafat) untuk mambangun citra keberagamaan, keberislaman, dan
keber-muhammadiyah-an dalam rangka menuju masyarakat utama.
Untuk itu, dakwah kultural tidak hanya difokuskan pada
penyikapan atas budaya lokal, tapi perlu diarahkan pada dakwah pengembangan
masyarakat dengan harus memperhatikan beberapa prinsip dasar, yaitu; pertama,
orientasi pada kesejahteraan lahir dan batin masyarakat luas. Dakwah tidak
hanya sekedar merumuskan keinginan sebagian masyarakat saja, tapi direncanakan
sebagai usaha membenahi kehidupan sosial bersama masyarakat, agar penindasan,
ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan tidak lagi hidup di tengah-tengah
mereka. Skala makro yang menjadi sasaran dakwah bukan berarti meninggalkan
skala mikro kepentingan individu anggota masyarakat. Kedua, dakwah pengembangan
masyarakat pada dasarnya adalah upaya melakukan rekayasa sosial untuk
mendapatkan perubahan tatanan kehidupan sosial yang lebih baik.
Untuk itu, landasan berpikir pada dai dalam melihat problem
yang dihadapi masyarakat adalah sebuah permasalahan sosial, yang mestinya
pemecahannya dilaksanakan dalam skala kehidupan sosial (Abdul Halim, 2005: 15-16). Dengan dikenalkan
dakwah kultural di lingkungan Muhammadiyah mengindikasikan adanya ’aktualisasi’
penyikapan atas budaya lokal di lingkungan Muhammadiyah.Organisasi ini semakin
menyadari tentang pentingnya budaya lokal sebagai media dakwah, walaupun
mungkin sekarang masih dalam proses memilih, dan memilah dengan ’hati-hati’
berbagai macam budaya lokal agar tidak bertabrakan dengan doktrin-doktrin yang
sudah mapan di Muhammadiyah.
B. Penutup
Munculnya
kesenjangan sosial dan keterbelakangan umat Islam dalam penguasaan ekonomi dan
tekhnologi membutuhkan gerakan dakwah yang bersifat aplikatif bukan teoritis.
Dakwah sebagai agen penyebaran dan pembangunan umat dituntut harus dapat
merespon, menjawab atau memberikan solusi atas munculnya persoalan umat.
Dakwah sebagai konsep dan gerakan yang menekankan
prinsip bi al-hikmah wa al-mau'idzatul al-khasanah dapat memasuki
wilayah spektrum kegiatan manusia yang sangat luas sehingga fungsi
penyelenggaraan dakwah harus mampu mentransformasikan ide-ide atau konsep agama
ke dalam dataran praksis. Dakwah yang menekankan adanya perubahan dan perbaikan
kehidupan masyarakat inilah yang selama ini dikenal dengan dakwah bil hal.
Era informasi sekarang ini merupakan tantangan sekaligus
peluang bagi syi’ar Islam yang harus mampu untuk melakukan dakwah melalui
tulisan di media cetak, melalui rubrik, kolom opini yang umumnya terdapat dalam
surat kabar harian tabloid mingguan, majalah atau buletin internal masjid. Penyampaian pesan dakwah
keagamaan adalah kewajiban setiap manusia untuk menuju ke arah kebenaran yang
dalam penyampaian kebenaran tersebut sangat beragam metode dan caranya, baik
melalui lisan, tauladan yang baik dan dengan melalui tulisan di media massa,
baik cetak maupun elektronik.
Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern dituntut
untuk dapat melaksanakan dakwah, baik lisan maupun tulisan ataupun perbuatan,
secara individu, kelompok atau berbentuk organisasi atau lembaga. Secara umum
adalah setiap muslimin atau muslimat yang mukallaf (dewasa) dimana bagi
mereka kewajiban dakwah adalah sesuatu yang melekat tidak terpisahkan dari
misinya sebagai penganut Islam, sesuai dengan perintah: “sampaikan walaupun
satu ayat”. Sedangkan secara khusus orang yang menjadi dai yaitu orang-orang
yang mengambil spesialisasi khusus (mutakhasis) dalam bidang agama Islam
yang dikenal dengan panggilan ulama.
Proses dakwah sangat memerlukan pendekatan atau
strategi sebagai salah satu unsur yang akan mensosialisasikan ajaran-ajaran
agama. Tanpa strategi bagaimanapun baiknya ajaran agama pasti tidak mungkin
bisa tersebar. Begitu pentingnya unsur strategi dalam dakwah, maka diperlukan
orang-orang yang bisa mengemban tugas mulia itu. Oleh karena itu untuk mendukung
proses dakwah agar dapat berjalan dengan baik, maka Muhammadiyah membekali para
dainya dengan kemampuan-kemampuan atau kompetensi-kompetensi yang menunjang
demi suksesnya kegiatan dakwah yang dilakukannya. Memang hal ini tidak mudah,
memerlukan da'i-da'i berkualitas, sebagai personifikasi sikap dan perilaku
dalam kehidupan Islami, yang mampu mengaktualisasikan dirinya di tengah-tengah
pluralitas masyarakat. Allah telah mengisyaratkan dalam surat Ali Imran ayat
110. Bahwa para da'i harus menjadi khaira ummah yang punya kemampuan
menampilkan dirinya di tengah dan untuk masyarakat (ukhrijat li al-naas).
Ini berarti pelaku dakwah, termasuk Muhammadiyah harus memiliki kemampuan
menjawab sekaligus menerapkan jawaban atas pertanyaan apa, siapa di mana dan
kapan ia berada. Kemampuan ini bisa menumbuhkan kesadaran akan potensi dirinya,
posisinya, situasi dan kondisi yang sedang dan akan dihadapinya. Hal inilah
yang mendorong Muhammadiyah menerapkan strategi dakwahnya dengan dakwah
kultural.
Inti dakwah kultural yang dikembangkan Muhammadiyah adalah
menekankan keragaman substansional, dakwah nilai-nilai Islam yang substansial
berupa; kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kerjasama, dan semangat melawan
penindasan kemanusiaan. Dalam konteks keindonesiaan dakwah pemberdayaan umat
seperti ini lebih diperlukan mengingat sebagian besar masyarakat Islam
Indonesia lemah di berbagai bidang. Untuk itu forum pertemuan kedua organisasi
itu perlu sering dilakukan, baik dalam bentuk diskusi, seminar maupun lainnya
dengan topik pembicaraaan tentang upaya memberdayakan umat secara bersama-sama.
* Tarkum S.H.I. adalah ketua PC IRM Purwokerto
(1998-2000)/Anggota PCPM Gandrungmangu Cilacap, tinggal di Kamulyan Rt 09/II
Bantarsari Cilacap bersama isteri dan dua putrinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah ibn Ahmad ibn Mahmud
An-Nasafi. 2001. Tafsir an-Nasafi Madarik at-Tanzil wa Haqa’iq at-Ta’wil. Juz I. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Abdul Halim. 2005. “Paradigma Dakwah Pengembangan Masyarakat”, dalam
Moh. Ali Aziz, Dkk (ed.), Dakwah Pemberdayaan Masyarakat Paradigma Aksi dan
Metodologis, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Abdul Rosyad Shaleh. 1987. Manajemen
Dakwah Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Abdurrahim Ghazali. 2003.
“Dari Dogmatis ke Kultural Refleksi Kritis Dakwah Muhammadiyah”. dalam Muslim
Abdurrahman (ed.). Muhammadiyah Sebagai
Tenda Kultural. Jakarta: Ma’arif Institute dan Ideo
Press.
Ali Mustafa Yaqub. 2000. Sejarah
dan Metode Dakwah Nabi., Jakarta: Pustaka Firdaus.
Asep Muhyiddin. 2002. Metode
Pengembangan Dakwah. Bandung: Pustaka Setia.
Aunur Rahim Faqih. 2006. Esensi,
Urgensi & Problem Dakwah.
Yogyakarta: LPPAI UII.
Din Syamsuddin. 2005.
“Menjadikan Dakwah Sebagai Strategi Transformasi Sosial”. (Kata Pengantar)
dalam Imam Muchlas. Landasan dakwah Kultural. Yogyakarta: Pustaka Suara
Muhammadiyah.
Elvin Hatch. 1973. Theories of Man and Culture. New York: Columbia University Press.
Faisal Ismail. 2001.
“Dakwah di Tengah Persoalan Budaya dan Politik”. Kata Pengantar. Hamdan Daulay.
Dakwah dalam Percaturan Politik.
Yogyakarta: LESFI.
Hamdan Hambali. 2008. Ideologi dan Strtaegi Muhammadiyah.
Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah.
Mu’arif. 2005. “Dakwah Kultural: Mencermati Kearifan Dakwah
Muhammadiyah” dalam Imron Nasri (ed.). Pluralisme dan Liberalisme Pergolakan Pemikiran Anak Muda Muhammadiyah.
Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri.
Muhammad Azhar, “Beberapa Catatan tentang
Problematika Dakwah”, Suara
Aisyiyah, No. 02, Th. Ke-80, Februari 2003.
Mustafa
Kemal Pasha. 2005. Muhammadiyah Sebagai
Gerakan Dakwah Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pimpinan Pusat
Muhammadiyah. 2004. Dakwah Kultural
Muhammadiyah., Yogyakarta: Pustaka Suara
Muhammadiyah.
Suara Muhammadiyah”, No. 3
th. Ke 91, 1-15 Februari 2006.
Usman Jasad, “Problematika Dakwah dan Alternatif Pemecahannya”, Muhammadiyah, No. 09. Th. Ke-89,
1-15 Mei 2004.
Weinata Sairin. 2005. Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zakiyudin Baydhawy. “Kritik atas
Paham Keagamaan Muhammadiyah Dakwah Klutural vs Imperialisme Islam Murni”, www.
Islamlib.com, 17-10-2010.
No comments:
Post a Comment