ZAKAT
SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN DAKWAH ISLAM
Oleh: Tarqum Aziz,
S.H.I
(Ketua Umum IPM
Cabang Purwokerto Periode 1998-2000)
Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT untuk
mengatur hidup dan kehidupan manusia. Islam adalah agama yang mempunyai ruang
lingkup yang amat luas mencakup segenap aspek, baik aspek keagamaan maupun
aspek keduniaan. Aspek-aspek tersebut dalam dunia fiqih terkenal dengan ibadah
dan muamalah. Dengan kata lain,
Islam adalah konsep yang memadukan antara keduanya.
Islam
adalah suatu sistem aturan ilahi yang bulat dan utuh, antara bagian yang satu
dengan bagian yang lainnya mempunyai relasi yang erat dan akrab. Oleh karena
itu dalam aktualisasi dan implementasinya tidak boleh dipisah-pisahkan. Islam
harus diterapkan dan diamalkan secara bulat dan utuh. Hal ini dikarenakan
tujuan Islam untuk membangun kebahagiaan dunia dan akhirat tidak akan terwujud
manakala dicampuradukkan dengan sistem lainnya.
Salah satu
aktivitas yang diwajibkan bagi setiap muslim untuk mensosialisasikan ajaran
Islam adalah dakwah. Aktivitas dakwah bukanlah suatu beban yang memberatkan
setiap muslim, kewajiban ini justru akan dapat meringankan beban-beban yang
harus dipikul dan akan mengembalikan izzah
Islam dimata umat manusia. Dengan kata lain dakwah merupakan proses
transformasi ajaran-ajaran Islam terhadap umat
ijabah maupun umat dakwah. Tanpa
dakwah, aktivitas amar ma’ruf nahi munkar
tidak akan berjalan.
Islam
merupakan satu-satunya konsep hidup yang bernilai suci dan universal, dimensinya
mencakup segala aspek hidup dan kehidupan. Universalisasi inilah yang
menjadikan Islam memberi kebebasan kepada setiap individu muslim untuk memilih
proses yang sesuai dengan bakat, skill, kemampuan, atau keahliannya yang dapat
memberikan suatu penghasilan secara sah dan halal. Penghasilan yang bersih yang
telah mencapai nishab wajib dizakati sesuai ketentuan syari’at Islam.
Zakat yang merupakan
simbol dari fiscal policy dalam Islam merupakan sarana pertumbuhan
ekonomi sekaligus mekanisme yang bersifat built in untuk tujuan
pemerataan penghasilan dan kekayaan.[1] Dengan
demikian, melalui lembaga zakat akan
terjadi konsep keadilan mengenai distribusi yang adil sehingga yang kuat
mengangkat yang lemah. Zakat adalah tanggungjawab setiap individu sebagai
jaminan sosial dalam masyarakat Muslim.[2] Dengan kata lain, zakat merupakan bentuk
peribadatan dan terima kasih Muslim kepada Allah untuk membantu kebutuhan
masyarakat yang kurang mampu sebagai purifikasi atau penyucian. Menurut Masjfuk
Zuhdi bahwa tujuan utama diwajibkan zakat atas umat Islam adalah untuk
memecahkan problem kemiskinan, memeratakan pendapatan, dan meningkatkan
kesejahteraan umat dan negara.[3] Ali Yafie bahkan mengkonstantir bahwa
zakat berpotensi ikut membentuk proses keadilan sosial dalam bentuk pengentasan
kemiskinan manakala digali secara sungguh-sungguh, dikembangkan, dan ditata
dengan sebaik-baiknya.[4]
Kohesif
dengan hal di atas, Abdul Mughni menyatakan bahwa kepedulian sosial yang
diberikan kepada manusia mengarah pada tiga hal pokok. Pertama, lahirnya individu-individu bersih yang merupakan modal
dasar bagi terciptanya masyarakat yang berkualitas. Kedua, tegaknya keadilan sosial. Ketiga, meratanya kemaslahatan pada setiap segi kehidupan.[5] Oleh karena itu, pembinaan dan kajian
hukum-hukum Islam, terutama zakat sangat signifikan eksistensinya. Pembinaan
kesadaran zakat yang intensif akan membantu terciptanya suatu bangsa yang utuh
bersatu sehingga kesenjangan sosial yang saat ini menganga tidak akan tercipta.
Oleh karena itu sudah barang tentu, dakwah tidak hanya dilakukan secara
individu tetapi juga dapat dilakukan secara kolektif.
Keadaan dan
kecenderungan manusia secara individual maupun kolektif menjadi pertimbangan
dasar bagi dakwah Islam sebagai proses yang paling mempengaruhi antar individu dengan
kelompok dan antar kelompok yang melibatkan aspek-aspek dinamika pemahaman dan
kesadaran.[6] Sayyid Quthub bahkan mengklaim bahwa
jama’ah diperlukan sebagai inti dinamik dalam proses peng-Islaman dan mendorong
interaksi para anggota masyarakat dalam mencari suatu kepastian hukum akan
nilai-nilai Islam.[7]
Berpijak
dari urgensi zakat, maka penulis mencoba mengangkatnya dalam sebuah judul makalah
“Zakat Sebagai Sarana Pengembangan Dakwah Islam”. Ketertarikan penulis terhadap
judul di atas disebabkan karena dua faktor. Pertama, zakat adalah sistem
Islam yang menganjurkan adanya distribusi kekayaan. Kedua, zakat
merupakan sarana untuk tolong-menolong sesama umat Islam.
Zakat secara bahasa atau etimologi berasal dari kata zakā yang berarti tumbuh, berkah, bersih, dan baik.[8] Menurut
kamus Lisān al-Arāb, arti dasar dari zakat ditinjau dari sudut bahasa
adalah suci, tumbuh, berkah, dan teruji[9],
semuanya digunakan di dalam al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan dalam kitab Kifāyatul
Akhyār, disebutkan bahwa zakat menurut bahasa artinya tumbuh, berkah, dan
banyak kebaikan.[10]
Dengan menunaikan kewajiban membayar zakat mengandung maksud membangun kembali
sebuah kesadaran umat akan kewajibannya selaku seorang muslim. Para pemberi
zakat (muzakki) juga berharap ketika menunaikan zakat mereka dikarunia
Allah sebuah keberkahan, jiwa suci, dan hartanya semakin tumbuh dan berkembang.
Harapan ini selaras dengan firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 103 yang
berbunyi:
خُذْ مِنْ أَمْوَا لِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ
وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ، إِنَّ صَلَوا تَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ،
وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui (Q.S. 9: 103).
Yanggo bahkan mengatakan
bahwa ayat di atas memiliki sembilan nilai signifikan, yaitu:
1.
Zakat
mensucikan jiwa dari sifat kikir dan bakhil.
2.
Zakat
mendidik gemar dan suka berinfak dan bershodaqah.
3.
Zakat
menjadikan sesorang bersikap dan berakhlak dengan akhlak Allah.
4.
Zakat
mengobati hati dari cinta dunia.
5.
Zakat
adalah sarana manifestasi rasa syukur atas nikmat Allah.
6.
Zakat
mengembangkan kekayaan batin.
7.
Zakat
mensucikan harta.
8.
Zakat
menarik simpati dan menumbuhkan rasa cinta
9. Zakat mendorong untuk bekerja keras,
kreatif, dan proaktif dalam usaha serta efisien dalam waktu.[11]
Zakat adalah piranti untuk membersihkan harta dan
mensucikan diri orang kaya dari sifat bakhil, dengki dan dendam. Zakat juga
dapat mengembangkan dan menjauhkan harta yang telah diambil zakatnya dari
bahaya. Dengan demikian, hati dan harta orang yang membayar zakat tersebut
menjadi suci dan bersih serta berkembang secara maknawi. Sedangkan secara
terminologi (istilah) syari’at, zakat itu maksudnya mengeluarkan sebagian
harta, diberikan kepada yang berhak menerimanya, supaya harta yang tinggal
menjadi bersih dari orang-orang yang memperoleh harta menjadi suci jiwa dan
tingkah lakunya.[12] Sedangkan Hammuddah Abdalati menyatakan: The
tehnical meaning of the word designates the annual amount in kind or coint
which a Muslim with means must distribut among the rightfull beneficiaries (Pengertian
zakat secara tehnis adalah kewajiban seorang muslim menditribusikan secara
benar dan bermanfaat, sejumlah uang atau barang).[13]
Seseorang yang mengeluarkan zakat, berarti dia telah membersihkan diri,
jiwa dan hartanya. Dia telah membersihkan jiwanya dari penyakit kikir (bakhil)
dan membersihkan hartanya dari orang lain yang ada dalam hartanya itu. Orang
yang berhak menerimanya pun akan bersih jiwanya dari penyakit dengki, iri hati terhadap
orang mempunyai harta. Dilihat dari satu segi, bila seseorang mengeluarkan
zakat, berarti hartanya berkurang. Tetapi dilihat dari sudut pandang Islam,
pahala bertambah dan harta yang masih juga membawa berkah. Di samping pahala
bertambah, juga harta berkembang karena mendapat ridha dari Allah dan berkat
panjatan doa dari fakir miskin, anak-anak yatim dan para mustahiq lainnya yang
merasa disantuni dari zakat itu.
Yūsuf Qardhāwī sebagaimana dikutip oleh Didin
Hafiduddin (2003: 179) bahkan mengkonstatir bahwa zakat adalah ibadah māliyah
ijtimā’iyyah yang memiliki posisi sangat penting, strategis, baik dari sisi
ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat.[14] Zakat merupakan salah satu rukun
Islam yang lima, yaitu rukun Islam yang ke-3 sehingga ia adalah salah satu
unsur pokok bagi tegaknya syari’at Islam. Menurut Ali Yafie bahwa eksistensi
zakat dianggap sebagai ma’lūm min ad-dīn bi adh-dharūrah atau
diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari ke-Islaman
seseorang.[15]
Kesediaan berzakat dipandang sebagai indikator
utama ketundukkan seseorang terhadap ajaran Islam sebagaimana terilustrasikan
pada surat at-Taubah ayat 11.
فَإِنْ
تَبُواْ وَأَقَامُواالصَّلوةَ وَأَتَوُاازَّكَوةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِى الدِّيْنِ،
وَنُفَصِّلُ اْلأَيتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُوْنَ
Jika mereka
bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama. dan kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang
Mengetahui (Q.S. 9: 11).
Indikator lainnya adalah
menjadikan seseorang berkeinginan untuk selalu membersihkan diri dan jiwanya
dari berbagai sifat buruk seperti bakhil, egois, dan tamak sekaligus
berkeinginan untuk selalu membersihkan, mensucikan, dan mengembangkan harta
yang dimilikinya (Q.S. Ar-Rūm ayat 39).
وَمَآ اَتَيْتُمْ مِّنْ رِّبًالِّيَبُوَاْ فِيْ أَمْوَالِ
النَّاسِ فَلاَ يَرْ بُواْ عِنْدَ اللهِ، وَمَآ اتَيْتُمْ مِّنْ زَكوةٍ تُرِيْدُوْنَ وَجْهَ اللهِ فَأُوْلَئِكَ
هُمُ امُضْعِفُوْنَ
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang
berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya) (Q.S.
30: 39).
Muhammad Sayyid Tanthāwī
bahkan mengkonstatir bahwa menunaikan zakat dapat mensucikan jiwa mereka dari
penyakit kikir, rakus, dan tamak serta membersihkan hati mereka dari kekerasan,
dan sebagai pengembangan harta.[16] Dengan membayar zakat justeru harta akan
tumbuh dan berkembang serta melipatkan pahala di hari depan kelak.
Membayar zakat menurut,
Syafi’i Ma’arif (mantan ketua umum PP Muhammadiyah) merupakan manifestasi
pengamalan Islam yang mampu mengangkat derajat seseorang dan masyarakat
sekitarnya. Umat Islam yang bersedia membayar zakat jumlahnya besar. Namun
demikian, masih banyak yang belum sadar zakat. Hal ini menurutnya disebabkan
masih ada asumsi pada sebagian masyarakat yang menilai pengelolanya kurang
amanah.[17] Faktor inilah yang menyebabkan lahirnya
lembaga zakat, seperti LAZIS, BAZIS dan lain sebagainya. Hal senada diungkapkan
oleh Merza Gamal seorang praktisi perbankan Syari’ah yang menyatakan bahwa
zakat merupakan manifestasi dari kegotongroyongan antara si kaya dan fakir
miskin. Perberdayaan zakat merupakan perlindungan bagi masyarakat dari bencana
kemasyarakatan, yaitu kemiskinan, kelemahan baik fisik maupun mental. Oleh
karena itu, menurutnya lembaga zakat merupakan sarana distribusi kekayaan di
dalam ajaran Islam yang merupakan kewajiban kolektif perekonomian umat Islam.[18] Dengan kata lain, zakat
merupakan komitmen seorang muslim dalam bidang sosial ekonomi yang tidak
terhindarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi semua orang. Fenomena inilah yang sebenarnya memerankan
zakat sebagai pelipur lara bagi orang miskin yang amat membutuhkan uluran
tangan.
Zakat dalam ajaran Islam
memiliki dua makna, teologis-individual dan sosial. Pertama, menyucikan
harta dan jiwa. Penyucian harta dan jiwa bermakna teologis-individual bagi
seseorang yang menunaikan zakat untuk mereka yang berhak. Jika makna ini
dipedomani, ibadah zakat hanya berdampak individual, yakni hubungan vertikal
antara seorang hamba dengan Tuhannya. Makna pertama lebih berdimensi
individual, menyucikan harta dan jiwa untuk mendapat keberkahan. Kedua, memiliki dimensi sosial, ikut mengentaskan
kemiskinan, kefakiran, dan ketidakadilan ekonomi demi keadilan sosial. Karena
dengan membayar zakat terjadi sirkulasi kekayaan di masyarakat, yang tidak
hanya dinikmati oleh orang kaya, tetapi juga orang miskin.
Konteks itulah yang akan menyebabkan zakat bisa menjadi institusi
strategis bagi pembebasan orang miskin yang dimiskinkan penguasa dan pemodal.
Inilah yang harus dilihat, penunaian zakat bukan hanya dilakukan secara
karikatif sebagai ekspresi keagamaan instan. Islam dengan ajaran zakatnya mengajak
adanya perubahan dalam sistem dan perputaran kekayaan yang ada di masyarakat. Inilah
tantangan kita agar zakat menjadi institusi strategis bagi penciptaan sistem
ekonomi yang adil dan bertanggung jawab, bukan sekadar pemberian untuk
menghibur. Dengan demikian, zakat berfungsi lebih luas, bukan sekadar
menyucikan harta, jiwa, atau menghibur orang miskin, tetapi mendorong
pertumbuhan ekonomi masyarakat berbasis keadilan.
Keadilan sosial ekonomi menekankan adanya keseimbangan dalam ekonomi
dan terbebasnya dari berbagai bentuk kepincangan sosial yang berpangkal dari
kepincangan ekonomi. Oleh karena
itu, penggunaan harta harus mempertimbangkan aspek-aspek keadilan sosial dan
tidak menimbulkan kerugian bagi sesamanya. Penunaian zakat adalah contoh
konkrit atas rasa keadilan sosial. Hal ini dikarenakan pembayaran zakat berupa
pemberian sejumlah harta benda yang sangat dicintai secara cuma-cuma yang
berhak menerimanya.
Zakat dalam konteks
kesejahteraan sosial mengharuskan keseimbangan antara konsumsi, produksi, dan
distribusi di dalam sistem ekonomi. Kesejahteraan sosial dalam Islam merupakan
pemurnian dan realitas ajaran agama. Ia adalah hak yang suci yang harus
dilaksanakan oleh seluruh masyarakat muslim. Menurut Abdurrahman Qadir, pengaruh
sosial dari zakat akan tampak dari dua sisi. Pertama dari sisi orang
kaya, para wajib zakat melalui penunaian
zakatnya otomatis membersihkan jiwa mereka dari sifat-sifat asosial seperti
bakhil, kikir, egoistis, dan rakus sekaligus mendorong mereka bersikap sosial,
suka berkorban, dan menolong kaum dhu’afa. Kedua dari pihak orang
miskin, penerimaan zakat berupa harta yang sangat dibutuhkan secara otomatis
akan menghilangkan sifat-sifat buruk yang mungkin terpendam dalam hatinya
seperti dengki, iri, benci atau rencana jahat terhadap orang kaya yang kikir.[19] Dengan demikian, maka terciptalah
hubungan harmonis antara kaya dan miskin.
Untuk menciptakan relasi
yang harmonis antara yang kaya dan miskin, maka zakat adalah sarana yang jitu
untuk pengembangan dakwah Islam. Engineer bahkan menyatakan bahwa al-Qur’an
sangat menekankan keadilan distributif. Zakat adalah konsep keadilan
distributif itu, Asghar Ali Engineer menyatakan:
The Qur’an
lays great emphasis on distributive justice. It is totally against accumulation
and hoarding of wealth. It condemns accumulated wealth as strongly as possible.
It also exhorts the people to spend in order to take care of orphans, widows,
the needy and the poor.[20]
“Al-Qur’an sangat menekankan keadilan distributif. Keadilan ini 100%
berseberangan dengan penumpukkan dan penimbunan harta kekayaan. Al-Qur’an
sejauh mungkin mengecam penumpukkan harta. Al-Qur’an juga menganjurkan agar
orang-orang kaya mendermakan hartanya untuk anak yatim, janda-janda, fakir dan
miskin”.[21]
Beredarnya harta kepada para
mustahik memberikan beberapa manfaat yang akan diraih, yaitu: Pertama,
pemenuhan kebutuhan pokok mustahik. Melalui zakat para fakir miskin akan
beroleh haknya. Kesulitan pemenuhan kebutuhan pokok segera terpenuhi. Fisik
akan makin kuat. Pikiran pun bakal terbuka. Melalui zakat diharapkan etos kerja
mustahik jadi tergugah. Sehingga mereka diharapkan mampu bangkit untuk hidup
mandiri. Syukur-syukur dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama akan mampu
menjadi muzakki sehingga dapat membantu mustahik lainnya. Kedua, menggerakkan
roda perekonomian. Salah satu faktor bergeraknya roda perekonomian adalah
seberapa besar dana yang berputar. Dana yang tersedia ini akan menimbulkan
permintaan barang. Ketiga, daya beli masyarakat akan makin meningkat.
Produk-produk banyak yang dibutuhkan sehingga lapangan pekerjaan pun main
terbuka. Pengangguran pun makin terberdayakan. Keempat,
memupuk empati dan kepedulian sosial.
Ber-zakat tidak hanya
sekadar melunasi kewajiban. Lebih dari itu, zakat adalah salah satu upaya
menggugah empati dan kepedulian bahwa muzakki sudah bekerja keras untuk
mendapat harta benar. Tetapi berempati dan peduli kepada saudara yang belum
beruntung merupakan sebuah ibadah berdimensi sosial. Dengan empati dan peduli
berarti kita sudah turut di dalam menyelamatkan peradaban manusia. Peradaban
yang menjunjung tinggi persaudaraan. Sesama saudara saling menanggung beban.
Sebuah peradaban begitu mulia. Dengan demikian, bagi orang-orang beriman harta
bukanlah segala-galanya. Jadi membersihkan harta dengan berzakat adalah
segala-galanya. Dengan berzakat harta akan termulia kedudukannya, sementara mustahik
pun terberdayakan.
Ibrāhīm Muhammad Al-Jāmal menegaskan:
وَمِنْ ذ لِكَ أَمْرُ اْلإِ سْلاَمِ لِلإِ
نْسَانِ الْمُسْلِمِ بِالْبَذْلِ
وِالْعَطَاءِ فِىْ سَبِيْلِ اللهِ، بِطَرِيْقَةٍ تَثِيْرُفِيْهَا مَعَانِى
الْخَيْرَ وَالْبِرِّ وَاْلإِحْسَانِ، وَالرَّأْ فَةِ عَلَى الْفُقَرَاءِ
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِيْنِ، فَيُصْبِحُ بِذلِكَ جَوَادًاكَرِيْمًا فَيُفِيْضُ
الْمُجْتَمَعُ بِالْحُبِّ وَالتَآلُّفِ، وَالرَّحْمَةِ الْمُتَبَادِلَةِ بَيْنَ
أَفْرَادِهِ، وَالنَّظْرَةِ مِنَ الْفَقِيْرِ إِلىَ أَخِيْهِ الْغَنِى
بِالرِّضَاعَنْهُ وَالدُّعَاءِ لَهُ بِالتَّوْفِيْقِ وَالْبَرَكَةِ[22]
“ Islam menyuruh manusia muslim berkorban dengan memberi untuk membela
agama Allah dengan cara yang menimbulkan makna-makna kebaikan, kebajikan dan
belas kasih kepada fakir miskin dan anak-anak yatim. Dengan pendekatan Islam
manusia menjadi seorang yang dermawan dan pemurah sehingga masyarakat terpenuhi
dengan kecintaan dan kerukunan serta kasih saying timbal balik antara
individu-individunya di samping orang fakir ridha kepada saudaranya yang kaya
dan mendoakannya agar menadapat taufik dan berkah”.[23]
Zakat merupakan refleksi tekad untuk mensucikan masyarakat
dari penyakit kemiskinan, harta benda orang kaya, dan pelanggaran terhadap
ajaran-ajaran Islam yang terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan pokok bagi
setiap orang tanpa membedakan suku, ras, dan kelompok. Zakat merupakan komitmen
seorang Muslim dalam bidang sosio-ekonomi yang tidak terhindarkan untuk
memenuhi kebutuhan pokok bagi semua orang, tanpa harus meletakkan beban pada
kas negara semata, seperti yang dilakukan oleh sistem sosialisme dan negara
kesejahteraan modern.
Membayar zakat berarti memperluas peredaran harta
benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka perputarannya akan
meluas dan lebih banyak pihak yang mengambil manfaat. Pendistribusian zakat
bukan hanya memenuhi kebutuhan konsumtif saja, tetapi ia harus dikelola secara
produktif. Pengelolaan secara produktif inilah yang diharapkan dapat membantu
mengentaskan kemiskinan. Oleh karena itu, menurut Qardhāwī setiap orang yang bekerja dalam lembaga zakat
harus memperhitungkan bahwa dirinya sedang beribadah kepada Allah. Ia harus
bersikap adil, amanah dan jujur.[24] Namun demikian, pendayagunaan zakat akan dapat
secara tepat dan efektif apabila ada tanggungjawab sosial secara keseluruhan.
Hal ini dapat dilakukan jika diri kita masuk pada posisi muzakki dan
pengelola zakat dapat melaksanakan manajemen secara terencana sehingga dapat
mengembangkan mustahiq secara menyeluruh.[25]
Di satu sisi, tujuan pengumpulan zakat agar terakumulasi dalam jumlah besar, tentu
merupakan sebuah keinginan yang perlu didukung. Hal ini penting, karena
pemberdayaan masyarakat miskin tidak dapat ditanggulangi dengan dana kecil dan
sporadis. Namun, penanganan kemiskinan harus direncanakan, diorganisir dan
dilakukan secara strategis dan berjangka panjang. Di sisi lain, pengumpulan
yang tidak sesuai dengan aspirasi publik, dianggap tidak adil karena memotong
gaji mereka yang sudah berpenghasilan kecil dan pas-pasan pada saat kondisi
ekonomi demikian sulit, menjadikan tujuan strategis tersebut kontra-produktif.
Terlebih lagi, ketidakpercayaan publik terhadap lembaga pemerintah masih
kental. Jika dana zakat tersebut terkumpul, pertanyaannya, dapatkah masyarakat
yakin bahwa pengelolaan dan pemanfaatan dana tersebut dilakukan secara
transparan dan akuntabel.
Zakat akan menjadi sebuah
kebijakan publik manakala dilakukan dengan cara-cara persuasif dan memenuhi
rasa keadilan publik, bukan sebaliknya, dianggap sebagai bentuk ketidakadilan.
Kasus zakat adalah pembelajaran bagi kita sehingga ke depan, baik elit agamawan
maupun pemerintah hendaknya melibatkan masyarakat dalam setiap pengambilan
keputusan dan pembuatan kebijakan mereka.
Berpijak dari urgensi nilai
zakat, maka dapat dikatakan bahwa zakat adalah refleksi dan realisasi dari rasa
keadilan yang bersumber dari akal seserang, di mana ia menyadari bahwa sebagai
makhluk sosial, manusia memiliki rasa kemanusiaan, belas kasihan, dan
tolong-menolong. Akal yang sehat jelas akan menolak sikap dan perilaku individualistik,
egoistis, dan serakah. Oleh karena itu, hukum zakat adalah wajib atas setiap
muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Urgensi
eksistensi zakat harus disampaikannya kepada para jama’ah hingga kesadaran
berzakatnya dapat tumbuh berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, semua harus
bergerak mengembangkan zakat, baik masyarakatnya maupun pemerintahnya. Dorongan
dan perintah untuk selalu berzakat, haruslah dipahami pula sebagai sebuah upaya
untuk menumbuhkan kecintaan bekerja dan beramal mencari rezeki yang halal.
Dengan demikian wajah dakwah Islam akan menampakkan wajah humanistik dan
egalitarianisme.
Berangkat dari paradigma zakat bagi pengembangan dakwah,
maka zakat sebgaai salah satu dari rukun Islam akan menghantarkan
seorang hamba kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat, dan merupakan
sarana bagi hamba untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabbnya, akan
menambah keimanan karena keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan.
Oleh karena itu, pembayar zakat akan mendapatkan pahala besar yang berlipat
ganda (Q.S. al-Baqarah: 276), dan sarana penghapus dosa.
Zakat dapat
menjadi media untuk menanamkan
sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar
zakat. Oleh karena itu, pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah
(belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya. Dengan demikian
akan lahir adagium bahwa menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa
harta maupun raga bagi kaum muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa.
Sebab sudah pasti ia kan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai
tingkat pengorbanannya, sehingga sikap akhlakul karimah.
Zakat
merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin
yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia. Memberikan
support kekuatan bagi kaum muslimin dan mengangkat eksistensi mereka.Ini bisa
dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah Mujahiddīn fī Sabilillāh. Zakat bisa
mengurangi kecemburuan sosisal, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada
fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang
berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak
bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang
demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan
terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin. Zakat akan
memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdalati, Hammudah. 1980. Islam
in Focus, Indiana: American Trust Publication.
Abdul Mughni, Masruri. “ZIS Sebagai Sarana Penanggulangan Kemiskinan”,
dalam Majalah Rindang.
No. 2. TH. XXVI. September 2000. Semarang: Kanwil Depag Jawa Tengah.
Abū Bakar al-Husaini, Imām Taqiyyuddīn. t.t. Kifāyatul Akhyār,
Juz I, Semarang: Usaha
Keluarga.
Al-Jāmal, Ibrāhīm Muhammad. 1986. Fiqh al-Mar'ah al-Muslimah. Jedah: Dar al-Riyadh.
________________________. 1999. Fiqh Muslimah. Alih Bahasa Al-Hamid
al-Husaini, Jakarta: Pustaka
Amani.
Anis, Ibrāhīm. 1972. Mu’jām al-Wāsith, Juz I, Kairo: Dār al-Ma’ārif.
Engineer, Asghar Ali. 1990. Islam and Liberation Theology: Essays on
Liberative Elements in Islam. New Delhi: Sterling Publisher Private Limited.
________________. 1999. Islam dan
Teologi Pembebasan. Alih
Bahasa Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Esposito, John L. 2005. Islam Aktual.
Depok: Inisiasi Press.
Gamal, Merza. 2007 “Zakat Versus
Riba”, dalam http://ayah-tercinta.blogspot.com/2007_04_01_archive.html.
donwload pada tanggal 19 Juni 2007 jam 12.30 WIB.
Hafiduddin, Didin. 2007. “Zakat Sebagai Implementasi Syari’ah”, dalam http://www.pkpu.or.id.
Donwload pada tanggal 19 Juli 2007 jam 01.30 WIB.
Harahap, Syahrin. 1999. Islam, Konsep
dan Implementasi Pemberdayaan, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Ibn Mundzir, Abī al-Fādhil Jāmal ad-Dīn Muhammad ibn Mukrim. t.t. Lisān
al-Arāb, Juz
I, Beirut: Dār Shādar.
Ma’arif, Syafi’i. 2002. “Berzakat
Merupakan Wujud Ketaatan pada Allah”. dalam Harian Republika, Rabu 18 September
2002.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2004. Dakwah
Kultural Muhammadiyah. Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah.
Qadir, Abdurrachman. 1998. Zakat
dalam Dimensi Mahdah dan Sosial. Jakarta: Srigunting.
Qardhāwī, Yūsuf. 2004. Manajemen
Zakat Profesional. Alih
Bahasa Jasiman, dan Fauzan, Solo: Media Insani Press.
Qutb, Sayyid. 1987. “Perumus Ideologi Kebangkitan Islam”, dalam John L. Esposito
(Ed.). Dinamika Kebangkitan Islam.
Jakarta: Rajawali Press.
____________. 2001. Islam Agama
Pembebas. Alih
Bahasa Fungky Kusnaedi Timur, Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Tanhawi, Muhammad Sayyid. 1997. “Islam dan Perekonomian”. dalam Muhammad
Tanthawi. Problematika Pemikiran Muslim,
Sebuah Analisis Syar’iyyah. Yogyakarta: Adi Wacana.
Yafie, Ali. 1994. Menggagas Fikih
Sosial. Bandung: Mizan.
_______. 1997. Teologi Sosial.
Yogyakarta: LKPSM.
Yanggo, Huzaimah Tahido. 2005. Masail Fiqhiyah, Kajian
Hukum Islam Kontemporer Bandung:
Angkasa.
Zuhdi, Masjfuk. 1997. Masail Fiqhiyah. Jakarta: Gunung
Agung.
[1]
Sayyid Qutb, Islam Agama Pembebas,
Alih Bahasa Fungky
Kusnaedi Timur, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), hal. 187.
[2]
John L Esposito, Islam Aktual, Alih Bahasa Norma Arbia Juli
Setiawan, (Depok:
Inisiasi Press, 2005), hal. 20.
[5]
Masruri Abdul Mughni, “ZIS Sebagai Sarana Penanggulangan
Kemiskinan”, Majalah Rindang,
No. 2, TH. XXVI, September 2000, (Semarang: Kanwil Depag Jawa Tengah,
2000), hal. 11.
[6]
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dakwah
Kultural Muhammadiyah, (Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah, 2004), hal. 5.
[7]
Sayyid Quthub, “Perumus Ideologi Kebangkitan Islam”, John L.
Esposito (Ed.). Dinamika Kebangkitan
Islam, (Jakarta: Rajawali
Press, 1987), hal. 98.
[9]
Abī al-Fādhil Jāmal ad-Dīn Muhammad ibn Mukrim Ibn Mundzir, Lisān al-Arāb, Juz I, (Beirut:
Dār Shādar, t.t.), hal. 90-91.
[10]
Imām Taqiyyuddīn Abū Bakar al-Husaini, Kifāyatul Akhyār, Juz I, (Semarang: Usaha Keluarga, t.t.),
hal. 172.
[11]
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah, Kajian Hukum Islam Kontemporer, (Bandung: Angkasa, 2005), hal.
224.
[14] Didin Hafiduddin, “Zakat Sebagai Implementasi Syari’ah”, http://www.pkpu.or.id,
Donwload pada tanggal 19 Juli 2007.
[16]
Muhammad Sayyid Tanthāwī, “Islam dan Perekonomian”, Muhammad Tanthāwī,
Problematika Pemikiran Muslim, Sebuah
Analisis Syar’iyyah, (Yogyakarta:
Adi Wacana, 1997), hal. 30.
[17]
Ahmad Syafi’i Ma’arif, “Berzakat Merupakan Wujud Ketaatan pada Allah”,
Republika, Rabu 18 September 2002, hal. 8.
[18] Merza Gamal, “Zakat
Versus Riba”, http://ayah-tercinta.blogspot.com, Donwload
pada tanggal 19 Juni 2007.
[19]
Abdurrahman Qadir, Zakat
dalam Dimensi Mahdah dan Sosial, (Jakarta: Srigunting, 1998), hal. 161.
[20]
Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology: Essays on
Liberative Elements in Islam, (New Delhi: Sterling Publisher Private Limited, 1990),
hal. 35.
[21]
Asghar Ali Engineer, Islam
dan Teologi Pembebasan, Alih Bahasa Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 52-53.
[23]
Ibrāhīm Muhammad Al-Jamal, Fiqh Muslimah, Alih Bahasa Zaid Husain Al-Hamid, (Jakarta:
Pustaka Amani, 1999), hal.
155.
[24]
Yūsuf Qardhāwī, Manajemen
Zakat Profesional, Alih
Bahasa Jasiman, dan Fauzan, (Solo: Media Insani Press, 2004),
hal. 58-59.
[25]
Syahrin Harahap, Islam,
Konsep dan Implementasi Pemberdayaan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hal. 102-103.
No comments:
Post a Comment