Sikapi Perbedaan 1 Ramadan Secara Dewasa
INILAH.COM, Jakarta - Wasekjen Majelis Ulama Indonesia Pusat,
Zainut Tauhid mengatakan perbedaan dalam penentuan puasa bulan Ramadan
memang masih akan ada di setiap tahunnya. Namun, perbedaan itu perlu
disikapi secara dewasa.
"Saya kira perbedaan itu disikapi secara dewasa, saling pengertian dengan keyakinan masing-masing, baik yang berpuasa terlebih dulu maupun yang belakangan. Jangan sampai dijadikan sebagai upaya memecahbelah, saling mengejek, tapi tetap jaga dan bangun ukhuwwah Islamiyahnya," ujar Zainut saat dihubungi INILAH.COM, Jakarta, Jum'at, (20/7/2012).
Menurutnya, upaya untuk mempersatukan sudah sering dilakukan baik dengan cara diskusi atau kajian ilmiah, musyawarah dan lainnya. Namun memang, sampai saat ini belum ada titik temu karena adanya metode masing-masing dalam mengambil keputusan. "Jadi, sepanjang hal itu tidak ada titik temu selama itu juga akan ada perbedaan terkait wujudul hilal," terangnya.
Menurutnya, metode yang dilakukan ada dua pendekatan yaitu wujudul hilal dan intanur rukyat. Wujudul hilal itu bagaimana hitungan dari hilal muncul, persatuan pertemuan antara matahari dengan bulan hingga bergeser 1 derajat dan ijtima' itu terwujud.
"Saya kira perbedaan itu disikapi secara dewasa, saling pengertian dengan keyakinan masing-masing, baik yang berpuasa terlebih dulu maupun yang belakangan. Jangan sampai dijadikan sebagai upaya memecahbelah, saling mengejek, tapi tetap jaga dan bangun ukhuwwah Islamiyahnya," ujar Zainut saat dihubungi INILAH.COM, Jakarta, Jum'at, (20/7/2012).
Menurutnya, upaya untuk mempersatukan sudah sering dilakukan baik dengan cara diskusi atau kajian ilmiah, musyawarah dan lainnya. Namun memang, sampai saat ini belum ada titik temu karena adanya metode masing-masing dalam mengambil keputusan. "Jadi, sepanjang hal itu tidak ada titik temu selama itu juga akan ada perbedaan terkait wujudul hilal," terangnya.
Menurutnya, metode yang dilakukan ada dua pendekatan yaitu wujudul hilal dan intanur rukyat. Wujudul hilal itu bagaimana hitungan dari hilal muncul, persatuan pertemuan antara matahari dengan bulan hingga bergeser 1 derajat dan ijtima' itu terwujud.
Kemudian, pendekatan intanur
rukyat. Meskipun bulan sudah wujud tapi tidak bisa dilihat dengan mata
telanjang maupun dengan alat teknologi canggih, maka belum ada bulan
berarti belum terlihat pergantian bulan.
"Nah itu sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw, 'berpuasalah setelah melihat bulan dan berbukalah setelah melihat bulan'. Artinya, berpuasa Ramadhan setelah melihat bulan dan menentukan Syawal juga setelah melihat bulan," jelas Zainu.
Menurutnya, dalam rapat itsbat kemarin ada dari ahli astronomi seperti Lapan dan Boscha serta ormas-ormas Islam lainnya kecuali Muhammadiyah. "Mereka juga tidak melihat adanya bulan, padahal itu sudah menggunakan alat teknologi," kata Zainut kembali.
Menurut Zainut, ketentuan itu bagaimana bulan bisa dilihat setelah 2 derajat baik dengan mata telanjang maupun alat canggih teknologi. Sementara, wujudul hilal itu yang penting bergesernya bulan dan matahari sebelum waktu Maghrib.
"Kalau sebelum Maghrib itu sudah terlihat maka dinyatakan sudah berganti bulan, tapi kalau setelah Maghrib itu belum. Nah, menurut Muhammadiyah kemarin itu melihat hilal pukul 11.00 WIB sekitar 6 jam," paparnya.[jat]
Dikatakan oleh Zainut, penentuan derajat intanur rukyat sudah disepakati oleh ulama MUI dan se-Asean bahwa melihat atau menyaksikan bulan itu di atas 2 derajat, di bawah itu mustahil dapat dilihat.
Di samping itu, ada juga yang menentukan puasa itu dengan menggunakan perhitungan hisab, tapi bisa dengan pendekatan hisab konjungsi ijma 2 derajat dengan bulan. "Jadi, hisab mutlak perhitungan semata dan hisab melihat dengan bulan," singkatnya.
Dengan demikian, karena ini menyangkut keyakinan dalam menentukan kapan puasa, maka tidak perlu ada aturan khusus UU. "Jadi tidak perlu ada UU, yang terpenting tetap menjaga kesatuan dan persatuan umat, saling toleransi. Semoga kalau semangatnya ukhuwah Islamiyah, sebentar lagi juga akan satu persepsi," imbuhnya.
Hal senada dilontarkan oleh Pimpinan Pondok Pesantren Darul Qur'an Nusantara dan Indonesia, Yusuf Mansur bahwa tidak perlu ada pengaturan khusus terkait perbedaan puasa Ramadhan yang kerap terulang setiap tahunnya. "Tidak perlu dibuat aturan, tidak ketemu juga tidak apa-apa kan. Jadi kalem saja," singkatnya.
Yusuf mengatakan bahwa perbedaan seperti ini memang setiap tahunnya terjadi, karena ya memang sudah modelnya seperti itu berbeda metode dalam melakukan hisab dan hilal.
"Ini kan setiap tahun sudah biasa ya, modelnya gini. Dari situ indahnya Islam untuk tingkatkan toleransi, yang puasa duluan dihormati dan yang belum puasa bisa membantu menyuguhkan yang berpuasa. Yang penting fokus pada ibadahnya bukan pada perbedaannya," tukasnya.
"Nah itu sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw, 'berpuasalah setelah melihat bulan dan berbukalah setelah melihat bulan'. Artinya, berpuasa Ramadhan setelah melihat bulan dan menentukan Syawal juga setelah melihat bulan," jelas Zainu.
Menurutnya, dalam rapat itsbat kemarin ada dari ahli astronomi seperti Lapan dan Boscha serta ormas-ormas Islam lainnya kecuali Muhammadiyah. "Mereka juga tidak melihat adanya bulan, padahal itu sudah menggunakan alat teknologi," kata Zainut kembali.
Menurut Zainut, ketentuan itu bagaimana bulan bisa dilihat setelah 2 derajat baik dengan mata telanjang maupun alat canggih teknologi. Sementara, wujudul hilal itu yang penting bergesernya bulan dan matahari sebelum waktu Maghrib.
"Kalau sebelum Maghrib itu sudah terlihat maka dinyatakan sudah berganti bulan, tapi kalau setelah Maghrib itu belum. Nah, menurut Muhammadiyah kemarin itu melihat hilal pukul 11.00 WIB sekitar 6 jam," paparnya.[jat]
Dikatakan oleh Zainut, penentuan derajat intanur rukyat sudah disepakati oleh ulama MUI dan se-Asean bahwa melihat atau menyaksikan bulan itu di atas 2 derajat, di bawah itu mustahil dapat dilihat.
Di samping itu, ada juga yang menentukan puasa itu dengan menggunakan perhitungan hisab, tapi bisa dengan pendekatan hisab konjungsi ijma 2 derajat dengan bulan. "Jadi, hisab mutlak perhitungan semata dan hisab melihat dengan bulan," singkatnya.
Dengan demikian, karena ini menyangkut keyakinan dalam menentukan kapan puasa, maka tidak perlu ada aturan khusus UU. "Jadi tidak perlu ada UU, yang terpenting tetap menjaga kesatuan dan persatuan umat, saling toleransi. Semoga kalau semangatnya ukhuwah Islamiyah, sebentar lagi juga akan satu persepsi," imbuhnya.
Hal senada dilontarkan oleh Pimpinan Pondok Pesantren Darul Qur'an Nusantara dan Indonesia, Yusuf Mansur bahwa tidak perlu ada pengaturan khusus terkait perbedaan puasa Ramadhan yang kerap terulang setiap tahunnya. "Tidak perlu dibuat aturan, tidak ketemu juga tidak apa-apa kan. Jadi kalem saja," singkatnya.
Yusuf mengatakan bahwa perbedaan seperti ini memang setiap tahunnya terjadi, karena ya memang sudah modelnya seperti itu berbeda metode dalam melakukan hisab dan hilal.
"Ini kan setiap tahun sudah biasa ya, modelnya gini. Dari situ indahnya Islam untuk tingkatkan toleransi, yang puasa duluan dihormati dan yang belum puasa bisa membantu menyuguhkan yang berpuasa. Yang penting fokus pada ibadahnya bukan pada perbedaannya," tukasnya.
No comments:
Post a Comment