Bertoleransi Menyambut Beda Ramadan
Umat Islam dipastikan berbeda hari dalam menyambut Ramadan 1433
Hijriyah, 20 dan 21 Juli 2012. Perbedaan ini dikarenakan hilal sebagai
penanda kedatangan bulan baru berstatus “kritis” dengan posisi kurang
dari dua derajat. Bagi yang berpegang pada wujudul hilal, kondisi ini tidak mempengaruhi keyakinan akan kedatangan bulan baru. Sebaliknya, kalangan rukyat dan imkanurukyat, mustahil akan menerima klaim tersebut karena syarat ilmu pengetahuan yang menandai “keterlihatan” hilal belum terpenuhi.
Perbedaan kriteria tentang awal bulan baru Hijriyah sebenarnya bukan
sesuatu yang baru, bahkan jarang menimbulkan “kegaduhan”. Baru dalam
satu tahun terakhir, terutama setelah geger sidang isbat (penetapan)
Idul Fitri 2011, penghormatan atas perbedaan itu mulai luntur dengan
tameng persatuan umat. Sama halnya menjelang penetapan awal Ramadan
2012, sikap non-tasamuh (toleransi) itu juga mulai terlontar ke publik dengan cara mengecam pihak yang berbeda dengan mainstream.
Upaya “mempersatukan” umat Islam dalam menyambut festival keagamaan
seperti Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha, memang patut dihargai. Namun,
apresiasi ini tentu bukan legitimasi untuk pemaksaan pemahaman, apalagi
menyeret institusi negara diikutsertakan sebagai institusi keagamaan.
Sebab, masing-masing kalangan yang berbeda itu memiliki dalil dan dalih
yang bisa dipertanggungjawabkan.
Merujuk pada sumber primer Islam, kata (imkanur) rukyat maupun hisab,
sebenarnya tidak tersurat dalam Alquran. Perintah berpuasa maupun
berhari raya tercantum dalam kalimat faman syahida minkum al-syahra falyashumh (QS al-Baqarah: 185). Kata kunci yang digunakan adalah bulan baru (new month), bukan cara “melihat atau mengetahui” hilal, yang kemudian hari berkembang pada metode hisab, rukyat dan imkanurrukyat.
Berangkat dari diktum ini, kalangan (imkanur) rukyat memaknai syahida sebagai melihat dengan mata kepala (bi al-‘ain) –juga teropong–, maupun dengan kriteria tertentu yang mempersyaratkan hilal kemungkinan bisa terlihat. Sementara bagi yang berpegang hisab, kata syahida tidak bisa dipersempit hanya melihat dengan mata kepala tetapi juga dengan penalaran ilmiah (bil ‘aqli wa al-ma’rifatih). Sebab, meminjam istilah al-Ashfahani dalam al-Mufradat fiy Gharib al-Quran, syahida ternyata bisa berarti melihat dengan al-bashar (mata) dan al-bashirah (penalaran ilmu).
Jika dalil pokoknya telah melahirkan perbedaan, perbedaan lebih banyak juga muncul dari bayan ayat puasa (hadis) yang berbicara rukyat. Perbedaan
ini adalah lumrah mengingat Alquran sendiri memberi ruang terjadinya
multitafsir. Dalam penelitian T Saksono (2001), rukyat (ra’a) dengan
segala variannya disebut Alquran sebanyak 297 kali: 75,08 persen
bermakna melihat secara kognitif, dan 24,92 persen yang bermakna melihat
secara visual.
Secara doktrin maupun sosiologis, sikap terbaik untuk menyikapi
perbedaan melihat hilal adalah saling mengapresiasi. Selama kedua metode
yang sama-sama punya dalil naqli dan aqli itu belum
bersepakat maka yang perlu dikembangkan adalah sikap saling menghormati
dalam suasana kesatuan dan persatuan (bukan sekadar bersama-sama) serta
saling membantu, meskipun berbeda hari. Merujuk QS al-Hujurat: 10,
sepanjang iman masih dalam dada maka seberapa besar perbedaan di antara
paham dalam Islam pasti dapat dipersaudarakan.
Selain itu, argumentasi sosiologis bahwa perbedaan penentuan awal
bulan menimbulkan disharmoni di kalangan umat Islam, juga pantas
dipertanyakan. Sebab, perbedaan dalam menjalankan ibadah bukanlah
sesuatu yang baru di negeri ini. Selain pengalaman perbedaan Idul Fitri
dan Idul Adha yang sudah berulang kali, juga ada perbedaan jumlah rakaat
Salat Tarawih, kunut dalam Salat Subuh dan masih banyak lagi. Nyatanya,
perbedaan itu berjalan biasa bahkan hampir tidak menimbulkan gejolak
berarti.
Ketidakmasalahan atas perbedaan di tingkat awam ini karena mereka
cukup dewasa dalam memahami ijtihad penentuan awal bulan Hijriyah.
Perbedaan justru mencuat menjadi penyebab perseteruan kalau
dibesar-besarkan oleh para elite yang seperti tidak bisa menerima
perbedaan. Seperti yang terjadi dalam penentuan Idul Fitri 1432 H,
“gejolak” hanya terjadi di sekian elite yang saling tidak bisa menjaga
etika berbeda pendapat. Mereka sering kali berkoar atas nama keresahan
umat meski kenyataan lapangan justru memperlihatkan realitas sebaliknya.
Jika alasannya adalah menimbulkan gejolak di internal komunitasnya,
masalah ini justru tantangan bagi mereka untuk memberi pencerahan dan
pencerdasan. Sebab, keberadaan mereka sangat mempengaruhi untuk
membangun kerukunan di masyarakat serta mempererat jalinan interaksi dan
komunikasi antar warga. Sehingga, kalangan umat yang tidak bisa
menerima perbedaan seharusnya disadarkan bahwa masalah itu masih dalam
koridor Islam, yang tentunya harus dihormati.
Yang jelas, keyakinan kedatangan hilal yang terkait erat dengan pelaksanaan ibadah mahdlah
seperti puasa Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha, tentu tidak bisa
diberangus demi “kebersamaan” waktu. Sebab, tidak mungkin seseorang yang
meyakini hari tertentu sudah bertanggal 1 Ramadan, harus menunda puasa.
Karena, dalam dirinya sudah tertanam keyakinan bahwa hukum berpuasa 1
Ramadan adalah wajib. Begitu juga sebaliknya, tidak mungkin seseorang
dipaksa berpuasa jika dirinya masih berkeyakinan bahwa hari itu belum
masuk Ramadan.
Karena perbedaan hisab dan rukyat tersangkut dengan keyakinan
keagamaan, siapa pun boleh setuju atau tidak setuju. Sebab, keyakinan
itu terkait dengan kesadaran Ilahiah yang autentik dan tidak bisa
dibatasi oleh rumus-rumus legal dan formal. Keinginan membangun ukhuwah
tentu tidak dimaksudkan untuk menyamakan semua masalah dalam Islam yang
sejatinya memang memiliki perbedaan.
Sementara pemerintah harus bertindak adil dan bijaksana dalam
memberikan kemudahan, perlindungan dan pengamanan yang sama kepada
masyarakat yang berbeda pendapat dalam penentuan awal bulan qamariyah.
Sebab, institusi negara bukanlah aktor keagamaan yang memihak,
melainkan birokrat yang tidak bertugas mengurusi praktik keagamaan. Jika
memang ada prinsip yang belum bisa dipersatukan, yang harus dilakukan
adalah menjamin kebebasan beragama/kepercayaan warga negaranya secara
adil. Allah a’lam bi al-shawab.
No comments:
Post a Comment