Refleksi Perkaderan Persyarikatan Muhammadiyah
Oleh : Tarqum Aziz, SHI.,
M.Pd
Pegawai PPM MBS Bumiayu
Brebes Jawa Tengah
Pengantar
Muhammadiyah
telah memasuki usianya yang ke seratus satu. Selama itu, Muhammadiyah
telah mematerikan namanya sebagai gerakan Islam modernis yang dikenal luas,
baik pada tingkat nasional mapun global, tak kenal lelah dalam berkhidmat
menjalankan misi dakwah dan tajdid untuk kemajuan umat, bangsa dan kemanusiaan.
Kita boleh bergembira dan sudah sepantasnya kita bersyukur ke hadirat Allah
atas karunia dan nikmatNya, karena dengan usia itu, Persyarikatan Muhammadiyah
telah berhasil menabur amal salih di berbagai bidang kehidupan, baik itu dalam
hal dakwah Islam, sosial, kesehatan, pendidikan, ekonomi, maupun kebudayaan.
Hal di atas
ini sering membuat orang (luar) menganggap Persyarikatan Muhammadiyah bagaikan
bangunan yang kokoh kuat; tak lapuk kena hujan tak lekang kena panas.
Muhammadiyah sendiri menapaki abad keduanya dengan optimisme dan percaya diri:
melintasi zaman, dakwah dan tajdid menuju peradaban utama. Tak ada yang
salah dengan optimisme tersebut, namun semua itu tidak boleh membuat warga
Persyarikatan, terutama kader dan pimpinannya menjadi lupa diri, terbuai
kekuatan yang dimiliki, melupakan kelemahan yang ada dan ancaman yang mengintai
setiap saat.
Di tengah
perkembangan yang menjajikan di bidang organisasi dan amal usahanya,
ternyata Muhammadiyah tak dapat mengimbanginya dengan pasokan jumlah dan
mutu kader yang dihasilkannya. Penanganan amal usaha yang menuntut keahlian
profesional dan pragmatisme gerakan, sering menggiring Muhammadiyah untuk
menengok kepada ”tenaga profesional” dan mengesampingkan kader-kader yang
dihasilkan oleh sistemnya sendiri. Disamping itu budaya global yang membawa
virus materialisme, hedonisme dan pragmatisme telah menggerus nilai keihlasan
sehingga mengubah perilaku warga Muhammadiyah yang pada gilirannya bermuara
pada konflik internal berkepanjangan yang amat melelahkan.
Banyak pemikiran,
kaya ide dan suka beramal itulah Muhammadiyah. Tetapi menurut hemat kami,
sekarang ini Muhammadiyah miskin dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang
akan mengartikulasikan pemikiran dan gagasan tadi. Bagaimana jadinya bila
sebuah cita-cita yang sarat dengan nilai dan ide diartikulasikan oleh orang
yang tidak memahaminya? Maka menjadi tidak mengherankan manakala didapati
praktek- amaliah ”warga” Muhammadiyah yang jauh dari ruh dakwah dan tajdid.
Disinilah pentingnya peran kader yang diharapkan dapat berfungsi menjaga eksistensi
organisasi, menjaga kemurnian ide dan berusaha menghindarkan Muhammadiyah dari
distorsi ideologi dan jebakan pragmatisme. Dengan kata lain kader Muhammadiyah
bukanlah cuma sebatas calon pemimpin. Kader adalah tulang punggung organisasi,
pewaris keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah sebagai pelopor, pelangsung
dan penyempurna amal usahanya di tengah-tengah arus perubahan zaman.
Optimisme vs Pesimisme
Dalam
melihat Muhammadiyah setidaknya ada dua sudut pandang yang dapat dikedepankan.
Pertama, melihat Muhammmadiyah dalam perspektif organisasi. Muhammadiyah adalah
gerakan Islam yang khas dengan kepribadian, kerangka ideologis, dan
pedoman-pedoman organisasi sebagai landasan gerak. Kedua, melihat Muhammadiyah
sebagai cara berpikir atau state of mind. Keterikatan seseorang terhadap
Muhammadiyah diukur dari seberapa jauh cara berpikir seorang tersebut relatif
sejalan dengan alam pemikiran Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, baik akidah,
ibadah dan muamalahnya. Kedua sudut pandang ini tidak boleh diinterpretasikan
secara sempit, kaku, apriori bahkan dikotomis. Namun dengan memadukan ke dua
cara pandang ini, yakni melihat Muhammadiyah sebagi organisasi sekaligus
sebagai alam pemikiran, memungkinkan kita dapat melihat, menyikapi dan
memperlakukan Muhammadiyah secara tepat dengan mengedepankan kuwajiban dirinya
apakah ia sebagai kader, pemimpin organisasi ataukah sebagai simpatisan. Dengan
panduan dan perpaduan ke dua cara pandang ini juga kita dapat memilah ”warga ”
Muhammadiyah menjadi kader, pemimpin organisasi dan simpatisan dengan kriteria
daya dukung dan loyalitasnya pada Persyarikatan.
Sebagai
sebuah gerakan Islam yang sudah berusia satu abad tentu Muhammadiyah mengandung
potensi-potensi dinamis yang merupakan daya dorong untuk maju kedepan
mengarungi ombak tantangan zaman dan peradaban, namun diakui didalamnya juga
mulai mengidap berbagai ”penyakit” yang berpotensi menggerogoti keperkasaannya.
Hal ini kalau tidak diwaspadai dapat melemahkan atau bahkan dapat membunuhnya.
Bagi yang optimistik, percaya pada masa depan Muhammadiyah, maka mereka percaya
akan reputasi Muhammadiyah dengan menyodorkan fakta-fakta bagaimana
perkembangan kuantitatif Persyarikatan. Pertumbuhan pesat jumlah Cabang dan
Ranting, pertambahan amal usaha yang bermunculan setiap saat terutama bidang
kesehatan (meskipun ada pula yang redup dan mati), serta mulai berkembangnya
AUM di bidang ekonomi-perbankan. Semua itu pastilah merupakan aset sumber
daya yang sangat berharga bagi Persyarikatan.
Kepercayaan
masyarakat yang merupakan modal sosial dan modal moral muncul dalam bentuk
wakaf tanah untuk masjid, rumah sakit, sekolah. Kepercayaan ini pada dasarnya
adalah muara dari simpati masyarakat karena sifat moderasi Muhammadiyah dan
ketinggian ahlak kadernya sehingga menyebabkan mereka tertarik masuk menjadi
warga Muhammadiyah dan berjuang di dalamnya. Di samping itu juga banyak
kalangan berharap dengan statemen optimistik bahwa Muhammadiyah dapat mengatasi
masalah kemerosotan moral masyarakat. Bagi yang bersikap pesimistik maka mereka
melihat Muhammadiyah sudah tidak punya harapan kedepan karena kronisnya
kelemahan-kelemahan yang diidapnya. Mereka menyodorkan fakta bahwa sebagai
organisasi, Muhammadiyah telah berubah menjadi birokratis, lamban dalam
merespon perkembangan dan dinamika masyarakat, konservatif dalam pemikiran dan
kehilangan elan vitalnya sebagai organisasi tajdid. Banyak warga bahkan
”kader” Muhammadiyah yang lari akibat kekecewaan mereka terhadap Muhammadiyah,
merasa terdholimi ketika bergumul di dalamnya. Tidak kurang pula jumlahnya
mereka yang berada dalam Muhammadiyah kurang merasa nyaman karena suasana
spiritual yang dianggap gersang. Iklim organisasi yang kering akibat dominasi
”fikir” dan ”perbuatan” dalam gerakan Muhammadiyah dianggap tidak memberi
suasana keteduhan jiwa dalam olah spiritual. Di samping itu juga ada
kader-kader Muhammadiyah tidak nyaman di Muhammadiyah karena menganggap
Muhammadiyah terlalu liberal, ataupun kurang radikal sehingga mereka bergabung
atau mendirikan organisasi lain yang dapat menyalurkan selera dakwahnya.
What next ?
Dengan
mencermati kecenderungan tersebut, maka tidak berlebihan bila kita nyatakan
bahwa titik lemah yang ada dalam Muhammadiyah terletak pada sistem
perkaderannya. Hal ini dapat kita lihat berdasarkan tolok ukur dari kinerja
sistem perkaderan yang ada dalam Muhammmadiyah:
PENGAJIAN
Tolok ukur
pertama dalam melihat perkaderan di Muhammadiyah adalah subur atau gersangnya
pengajian-pengajian Muhammadiyah. Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah secara embrional
berasal dari pengajian Fathul Asrar Miftahus Sa’adah yang dipimpin
sendiri oleh K.H. Ahmad Dahlan. Dalam perkembangannya kemudian banyak kelompok
pengajian yang bergabung dalam Persyarikatan Muhammmadiyah seperti Ihwanul
Muslimin, Ta’awanu ’alal Birri, Priyo Utomo dan Hayatul Qulub
di Yogyakarta, Siddiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) di Solo, Jami’atul
Rahmah di Kisaran, Muhibbul Islam di Bengkulu, Nurul Islam di
Pekalongan dan sebagainya. Dengan melihat sejarah perkembangan itu, wajarlah
kalau tolok ukur yang kita pakai untuk melihat keberhasilan sistem perkaderan
dalam Muhammadiyah adalah kesuburan pengajiannnya. Jika pengajian-pengajian
tumbuh subur ngrembaka di Ranting dan Cabang serta Amal Usaha
Muhammadiyah (AUM), kita boleh bernafas lega. Akan tetapi bila yang terjadi
sebaliknya, kita harus prihatin dan gelisah. Di samping itu, terkait erat
dengan pengajian tersebut adalah menyangkut mubaligh Muhammadiyah. Apakah
jumlah dan kualitas mereka bertambah? Apakah mereka mengadakan kajian rutin
keagamaan atau munadharah yang akan membekali mereka dalam bertabligh?
Apakah Persyarikatan memiliki cukup perpustakaan tempat para mubaligh
Muhamadiyah dapat menambah wawasannya? Apakah Muhammadiyah menyediakan hotspot
area untuk mengakses berbagai informasi mutakhir bagi para mubalighnya?
Melihat
pengajian dan tabligh Muhammadiyah sekarang ini, kita sadar bahwa era informasi
dengan perkembangan teknologinya telah mengubah banyak hal yang menyangkut
modus tabligh dan pilihan media. Muhammadiyah tengah berhadapan dengan raksasa
media massa yang mengusung nilai-nilai yang sering berlawanan dengan
nilai-nilai Islam. Di media cetak kita tidak punya penerbit yang berwibawa
untuk menerbitkan buku-buku Islam dalam paradigma Muhammadiyah. Kita memang tak
pernah serius menggarap lahan ini, sehingga kita menjadi konsumen yang tak bisa
memilih buku ataupun terbitan yang ada. Bahkan kita kalah dengan para
”mubaligh” pendatang baru dengan buku, majalah ataupun koran yang dapat diramu
menurut pilihan strategi dakwahnya. Belum lagi menyangkut penguasaan media
elektronik seperti radio, TV ataupun internet. Sebagai organisasi dakwah modern
dengan cap ”pembaharu” maka penguasaan media massa atau paling tidak
memanfaatkan teknologi informasi untuk kegiatan tabligh merupakan keniscayaan
yang harus kita upayakan. Jika kuantitas Mubaligh yang berwibawa menurun,
profesionalismenya tidak meningkat serta piliham modus dan media pengajian
Muhammadiyah sama dengan situasi 50 tahun yang lalu, sesungguhnya lampu merah,
setidak-tidaknya lampu kuning telah menyala bagi Muhammadiyah.
PELATIHAN
Tolok ukur
kedua adalah pelatihan. Berbeda dengan pengajian yang sifatnya elastis dan
luwes, pelatihan di Muhammadiyah memang telah memiliki pedoman baku yang berisi
kurikulum, silabi dan materi. Disamping itu pedoman perkaderan dirancang
berjenjang – berkelanjutan. Yang belum jelas benar ialah kepada siapa sebuah
pelatihan seperti Darul Arqam diberlakukan dan diperuntukkan. Sosialisasi yang
kurang, ketidakpedulian pimpinan Persyarikatan di berbagai level, tiadanya
instruktur sebagai operator perkaderan dan ketiadaan dana menimbulkan kesan
bahwa perkaderan yang ada selama ini ya suka-suka. Artinya Darul
Arqam tidak mengikat kepada siapapun dan lembaga apapun di Muhammadiyah ini. Ke
depan, ketidakjelasan seperti ini harus diakhiri. Darul Arqam tidak lagi
bersifat optional tetapi bersifat compulsory, wajib diikuti oleh
Pimpinan Persyarikatan dan AUM setiap pergantian periode. Kemudian setiap
semester atau tahun diselenggarakan refreshing Pimpinan agar spirit
bermuhammadiyah tetap segar dan terjaga. Ada baiknya ditekankan kepada setiap
AUM untuk mengalokasikan anggaran untuk pelatihan dalam menyusun APB-AUM
tahunan. Dengan demikian tidak ada lagi alasan (yang dicari-cari) untuk tidak
melaksanakan pelatihan seperti Darul Arqam, Baitul Arqam ataupun bentuk-bentuk
pelatihan Fungsional yang lain.
KADERISASI ORTOM
Tolok ukur
ketiga, ialah kaderisasi lewat Ortom. Perkaderan di Ortom Muhammadiyah dapat
dikatakan berjalan relatif efektif walaupun seringkali terkendala dana.
Meskipun perkaderan antar Ortom, dan Ortom dengan Persyarikatan belum sonkron
dan sinergis, pasokan kader Ortom ke Persyarikatan cukup besar sehingga sedikit
melegakan. Banyak pimpinan Persyarikatan yang berasal dari IPM, IMM, NA dan
Pemuda Muhammadiyah. Namun banyak pula mantan aktivis Ortom yang tidak terlibat
dalam Muhammadiyah. Banyaknya kader muda yang berasal dari Ortom dan tidak
masuk dalam struktur Muhammadiyah disebabkan oleh banyak hal. Di antaranya
adalah pandangan bahwa perkaderan dalam tubuh AMM lebih merupakan fungsi dan
tugas pokoknya. Atau dengan kata lain merupakan kuajiban institusional bagi AMM
untuk mendidik dan mengembangkan diri dari pada hak untuk mendapatkan porsi
dalam Persyarikatan. Padahal perkaderan dalam Ortom ini ini memiliki keunggulan
dalam hal ideologi dan beragamnya potensi profesionalismenya dilihat dari latar
belakang pendidikannya. Hal ini sebetulnya dapat dimanfaatkan untuk mengisi
kekuarangan kader di AUM dan Majelis-majelis di Persyartikatan. Karena tidak
dapat masuk struktur Persyarikatan, mereka aktif di organisasi, pergerakan atau
korporasi lain yang dapat menyalurkan potensi atau menggajinya lebih tinggi di
banding dengan Muhammmadiyah. Banyak kalangan menyayangkan kasus semacam ini
karena Persyarikatan kehilangan kader potensial. Oleh sebab itu, maka siapapun
yang akan dan siap menjadi pimpinan persyarikatan harus melalui jalur ortom
mulai IPM-IMM-Pemuda/NA/TS/HW baru masuk Muhammadiyah/Aisyiyah dengan
konsekuensi seluruh jenjang perkaderan ortom-ortom tersebut dilalui secara
berurutan. Dengan begitu, Insya Allah akan lahir kader unggul dan kokoh yang
digandrungi masyarakat persyarikatan tercinta.
SEKOLAH KADER
Tolok ukur
ke empat adalah keberhasilan kaderisasi yang berasal dari sekolah kader yang
dimilikinya. Di level Sekolah Menengah ada Muallimin Muhammadiyah Yogya masih
menjadi tumpuan di samping Pondok Pesantren Darul Arqam Garut, Pesantren Karangasem
Lamongan Jawa Timur, Pesantren Muhammadiyah Boarding School (MBS Yogyakarta,
MBS Klaten, MBS Purworejo, MIBS Kebumen, MBS Bumiayu, MBS Ungaran Semarang, MBS
Kampung Sawah Bekasi, MBS Jombang, MBS, MBS Bojonegoro, MBS Hamka dan lainnya.
Sedangkan di tingkat Perguruan Tinggi ada PUTM di Yogya, Pondok Nuriyah Shobron
di Surakarta, PTUM Unismuh Makassar dan lain-lain. Sekolah Kader Muhammadiyah
pada umumnya berkutat pada ”ilmu agama” sehingga tidak akan memproduksi ahli
bidang lain seperti teknik, kedokteran, fisika, farmasi atau ekonomi. Namun
perkaderan ini sangat berguna untuk memasok kelangkaan ulama yang sering
disebut-sebut dalam Muhammadiyah. Kenyataan di lapangan sekolah-sekolah kader
ini semakin berkurang peminatnya karena didera masalah manajemen dan harapan
masa depan dalam memperoleh pekerjaan. Oleh karena itu, sudah saat setiap
pimpinan persyarikatan sudah seyogyanya menitipkan kader-kader terbaiknya di
Pondok-pondok pesantren Muhammadiyah yang jumlahnya + 192 pesantren di
seluruh nusantara biar mentari tetap bersinar cemerlang secerah pagi menyambut
generasi unggul.
PERKADERAN di AUM
Tolok ukur
ke lima menyangkut perkaderan di Amal Usaha Muhammadiyah. Telah menjadi rahasia
umum bahwa karena potensi ekonominya maka karyawan-karyawan di amal usaha lebih
beragam ideologinya dibanding fungsionaris pada struktur Persyarikatan. Kita
bisa menemukan karyawan yang hanya sekedar mencari nafkah, abangan, sekular,
liberalis sampai radikal fundamentalis. Bila dilacak lebih lanjut persoalan ini
berasal dari proses rekrutmen awal yang didasarkan pada kepentingan sesaat dan
pragmatisme semata. Dalam perkembangan berikutnya ada amal usaha Muhammadiyah
namun dikuasai oleh orang-orang non Muhammmadiyah sehingga menjadi benih
konflik dengan kader-kader Muhammadiyah yang dibesarkan oleh Persyarikatan
sejak awal. Bagaimanapun menjadi kuwajiban Muhammadiyah untuk dapat ”menguasai”
kembali amal usaha tersebut dan menjadikannnya sebagai lahan dan media dakwah
bagi Persyarikatan. Perkaderan di amal usaha semacam ini memang membutuhkan
penanganan yang lebih cerdas, tidak cukup dengan melaksanakan sistem perkaderan
yang ada, meliputi Perkaderan Utama (Darul Arqam dan Baitul Arqam) maupun
perkaderan Fungsional. Pelaksanaan perkaderan yang lebih bersifat compulsory
dan syarat-syarat yang lebih ketat berkenaan dengan rekrutmen Pimpinan adalah
opsi yang barangkali patut diperhatikan Namun hal semacam itu mungkin tidak
dapat dilaksanakan pada amal usaha yang masih lemah dan berskala kecil karena
keketatan semacam itu justru akan membunuh amal usaha tersebut.
Selain
hal-hal di atas, perlu memperoleh catatan khusus ialah perkaderan di Amal Usaha
Muhammadiyah seperti sekolah, panti asuhan, rumah sakit, dan lainnya. Dari
sektor ini kita tidak bisa berharap banyak meskipun ada satu-dua yang kemudian
menjadi simpatisan dan aktivis Muhammadiyah. Sekolah Muhammadiyah agaknya
memang tidak dimaksudkan sebagai lembaga pendidikan kader. Hal itu dapat
dilihat dari kenyataan bahwa banyak alumni sekolah masih saja berediologi
bawaan setelah bersekolah atau kuliah di Perguruan Muhammadiyah selama
bertahun-tahun. Demikian juga mereka yang Kristen, Katolik atau Budha tetap
memeluk agama mereka. Persoalan menjadi semakin pelik, membingungkan ketika ada
seorang ”tokoh” Muhammadiyah berteriak dengan bangga ”Dakwah Muhammadiyah lewat
sekolahan memang tidak untuk mengislamkan siswanya apalagi memuhammadiyahkan
mereka”. Berbagai tanggapan muncul dan orang kemudian bertanya, benarkah
pernyataan tadi atau hanya sebuah retorika untuk menutupi sebuah
ketidakberdayaan karena sesungguhnya yang namanya dakwah Islam pastilah sebuah
kesengajaan untuk mengajak orang kepada Islam tanpa paksaan atau kekerasan.
TRANSFORMASI KADER
Transformasi
kader merupakan masalah yang sering menimbulkan ketegangan akibat rekrutmen
yang dilakukakan tidak sesuai dengan slogan bahwa Angkatan Muda Muhammadiyah
adalah pelopor, pelangsung dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah. Hal ini
disebabkan kader merasa sebagai pewaris Muhammadiyah, dilain pihak pimpinan
Persyarikatan sering mengabaikan mereka atau bahkan menoleh pada personal lain
karena pertimbangan pragmatis sesaat. Untuk itu barangkali dibutuhkan semacam
lembaga atau menambahkan tugas pada Majlis Pendidikan Kader untuk berfungsi
dalam pelaksanaan prinsip multi entry kader yang berupa inventarisasi kader, talent
scouting dan penyaluran kader pada tempat yang sesuai di Persyarikatan. Di
samping itu kebutuhan kader beragam-bidang di Muhammadiyah barangkali bisa
diatasi dengan memberikan (mencarikan) beasiswa untuk studi lanjut bagi
kader-kadernya yang berprestasi. Akan lebih afdhal lagi bila
Muhammadiyah berani memasang target. Misal Muhammadiyah akan memberikan
beasiswa S-2 sebanyak 500 orang dan S-3 sebanyak 200 orang setiap tahunnya.
Target itu perlu untuk menunjukkan kesungguhan dan sekaligus menunjukkan sebuah
perencanaan sehingga lebih mudah mengevaluasinya.
Khotimah
Bagi seorang kader Muhammadiyah yang telah mengalami proses
pendidikan dan pengemblengan dalam keluarganya sedemikian rupa sehingga
kemudian dia betul-betul mengenal Muhammadiyah, beraktivitas dalam ortom
Muhammadiyah akan menjadi mudah. Dengan demikianlah dia nanti bisa menggantikan
posisi orangtuanya yang juga adalah tokoh Muhammadiyah. Maka mulailah kader
tersebut menapaki aktivitasnya di Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul "Aisyiyah dan seterusnya
menjadi kader andalan di persyarikatan Muhammadiyah. Dalam realitasnya tentu
saja hal ini tidaklah mudah, ini memerlukan upaya yang terus menerus dari
keluarga-keluarga Muhammadiyah dan juga pengontrolan dan evaluasi terus
menerus.
Dari paparan
di atas cukup jelas sudah persoalan yang dihadapi Muhammadiyah ke depan. Jika
Muhammadiyah menginginkan kader penerus cita-cita dan perjuangannya willy-nilly
harus dimulai dengan menyemai, menanam, memupuk, menyirami sebelum memetik
hasilnya. Abai akan pentingnya kaderisasi dapat membuat kapal besar
Muhammadiyah ini berlayar seolah tanpa tujuan, terombang-ambing di tengah
samodra dengan penumpang yang tidak jelas pula karena tanpa identitas. Perilaku
mereka aneh-aneh karena mereka tidak memahami Muhammadiyah dan tidak merasa
tidak ada ikatan apapun dengannya.
Walllahu a’lam bish shawab